Pajak dan Peningkatan Kemampuan Inovasi Badan Usaha

Oleh Sakti Nasution


Tidak dapat dimungkiri jika pajak merupakan sumber pendapatan utama setiap negara di dunia. Tentu keberadaan pajak sangat penting dalam pelaksanaan fungsi negara dan pemerintahan. Di negara-negara maju dan berkembang, sebagian potensi pendapatan negara melalui pajak itu sudah dimanfaatkan bagi keperluan peningkatan kemampuan inovasi dan teknologi badan usaha dan industri nasional mereka. Sebagaimana dimaklumi, pajak berfungsi dalam pembiayaan (budgeter) pembangunan, terutama untuk keperluan pengeluaran rutin seperti belanja pegawai, barang, termasuk pemeliharaannya. Dengan pajak, roda pembangunan dapat berjalan dan membuka kesempatan kerja. Dalam hal ini pajak juga berfungsi sebagai pendistribusi pendapatan masyarakat. Dengan pajak, suatu pemerintahan juga dapat menjalankan kebijakan terkait dengan stabilitasi harga sehingga tingkat inflasi dapat tetap dijaga. Stabilitasi dilakukan dengan mengatur peredaran uang, yang dilakukan melalui pemungutan pajak dan dengan pemanfaatannya secara efektif dan efisien.


Kita patut bergembira jika dalam lima tahun terakhir realisasi penerimaan pajak terus meningkat. Menurut laporan Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak, penerimaan pajak 2008 mencapai Rp494 triliun dan pada 2009 meningkat menjadi Rp515,7 triliun, naik sekitar 4,38%. Bahkan tiga tahun sebelumnya, penerimaan pajak itu meningkat rata-rata 18% tahun.


Peningkatan itu sejalan dengan tumbuhnya kesadaran masyarakat dalam membayar pajak. Berdasarkan data Ditjen Pajak, pada 2005 ada sekitar 4,35 juta wajib pajak yang terdaftar dan pada 2009 angka tersebut terus bertambah hampir empat kali lipat sehingga jumlahnya kini mencapai 15,91 juta lebih. Diperkirakan, ke depan jumlah ini akan terus meningkat seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat.


Mengingat pentingnya fungsi pajak bagi pembangunan ataupun besarnya potensi penerimaan pajak negara ini, pemerintah tentu akan berusaha keras meningkatkan jumlah penerimaan pajak ini. Namun sebagai catatan penting, sampai saat ini upaya tersebut dinilai masih belum maksimal capaiannya. Pasalnya sisi pengawasan masih lemah dan moral hazard dalam pengelolaan pajak tinggi. Berdasarkan perhitungan Martin Hutabarat, anggota Komisi III DPR, semestinya pada 2009 lalu penerimaan pajak dapat meningkat 16%. Menurutnya, akibat aksi-aksi mafia pajak itu saja, penerimaan negara diperkirakan sampai tergerus sekitar 23%, jumlah uangnya lebih dari Rp100 triliun.


Pajak kemampuan inovasi


Selain sebagai fungsi budgeter, pendistribusi pendapatan, dan stabilitasi perekonomian, pajak juga memiliki fungsi mengatur (regulation). Dengan pajak, pemerintah bisa mengatur pertumbuhan ekonomi melalui kebijaksanaan pajak. Dengan fungsi mengatur, pajak antara lain dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kemampuan inovasi badan usaha/industri nasional, sebagaimana disinggung pada awal tulisan ini.


Pemanfaatan pajak untuk peningkatan kemampuan inovasi ini sangat penting artinya bagi badan usaha/industri nasional kita, baik dalam menghadapi pasar global maupun regional seperti dalam menghadapi ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA). Melalui pemberian fasilitas keringanan insentif pajak, pemerintah bisa mendorong kemampuan riset dan teknologi industri nasional, yang hingga kini dinilai masih lemah dan kalah, termasuk di level kawasan ASEAN sekalipun.


Dengan meningkatnya partisipasi dunia usaha ke dalam kegiatan peningkatan kemampuan riset dan inovasi ini, produk-produk barang/jasa yang dihasilkan industri nasional diharapkan dapat lebih produktif, berkualitas, inovatif, dan market friendly. Dengan demikian, produk-produk Indonesia mampu bersaing dalam pasar bebas seperti ACFTA, yang saat ini kecenderungannya makin ketat.


Saat ini pemerintah sudah menyediakan insentif pajak riset dimaksud. Dalam UU Pajak Penghasilan yang sejalan dengan PP Pengalokasian Sebagian Pendapatan Badan Usaha untuk Peningkatan Kemampuan Perekayasaan, Inovasi, dan Difusi Teknologi antara lain disebutkan bahwa pembiayaan riset perusahaan tidak dikenai pajak bisa dijadikan faktor pengurang (deduction) penghasilan bruto perusahaan. Begitu juga dalam UU Kepabeanan disebutkan bahwa segala peralatan impor keperluan riset dan pengembangan sains perusahaan dapat memperoleh fasilitas pembebasan bea. Namun, banyak kalangan usaha menilai insentif pajak untuk riset yang diberikan pemerintah itu masih belum memadai. Hal itu mengingat besarnya pembiayaan untuk suatu kegiatan riset usaha maupun tingginya risiko kegagalan yang akan dihadapi.


Dalam mengatasi kesenjangan tersebut, dan memajukan badan usaha/industri nasional, tentu pemerintah dapat melakukan intervensi dengan mengembangkan berbagai alternatif kebijakan insentif pajak riset.


Sudah saatnya Indonesia dapat mengembangkan berbagai jenis insentif pajak riset guna menarik partisipasi kalangan pengusaha. Contohnya untuk kebutuhan Indonesia, antara lain dapat dikembangkan pemberlakuan aturan depresiasi khusus untuk pabrik dan mesin yang berbasiskan teknologi dalam negeri, ataupun tax holiday untuk perusahaan riset komersial yang akan menanamkan investasinya di Indonesia. Alternatif lain, pemerintah dapat memberlakukan pengesampingan tarif cukai selama jangka waktu tertentu, terutama untuk produk yang diproduksi berdasarkan teknologi yang dikembangkan di dalam negeri. Banyak pilihan-pilihan insentif lainnya yang dapat dikaji lebih lanjut oleh para ahli ekonomi dan perpajakan kita. Contoh-contoh semacam ini sudah dipraktikkan negara-negara maju dan berkembang seperti di Jerman, Jepang, Korea Selatan, China, atau Malaysia.


Penguatan politik daya saing


Seiring dengan reformasi di Ditjen Pajak saat ini, diharapkan tidak hanya terjadi perubahan kultur maupun struktural semata, tetapi terjadi pula perubahan dalam pola pikir (mindset). Artinya, Ditjen Pajak diharapkan tidak hanya bekerja untuk mengumpulkan target uang pajak sebanyak-banyaknya, tetapi juga dapat mengedepankan pentingnya pemanfaatan pajak bagi pembangunan kemampuan daya saing industri nasional tersebut.


Sejalan dengan kuatnya tuntutan paradigma knowladge based economic saat ini, sudah tidak tepat lagi jika masih ada pemikiran atau pendapat bahwa pemberian insentif pajak riset industri ini dianggap sebagai revenue forgone. Tidak demikian kenyataannya. Riset industri adalah riset yang quick yielding, dapat dipastikan bahwa dalam kurun waktu tiga sampai lima tahun ke depan akan diperoleh produk komersial, keuntungan finansial yang lebih besar, dan keuntungan sosial lainnya.


Pada akhirnya, memang harus diakui bahwa upaya perubahan mindset tersebut akan sangat terkait dengan perubahan paradigma birokrasi secara keseluruhan. Hal itu bukanlah suatu pekerjaan yang mudah. Di samping perlu waktu dan pembelajaran, perubahan ke arah itu perlu didukung berbagai kalangan terkait. Diperlukan juga penguatan koordinasi dan kerja sama, baik di tingkat instansi pemerintah dan kalangan usaha maupun pada tingkat kelembagaan politik negara, terutama adanya dukungan dari DPR. (Sumber: Media Indonesia, 27 Juli 2010)


Tentang penulis:
Sakti Nasution, Kepala Bidang Legislasi Iptek Kementerian Riset dan Teknologi




ISSN 1979-9373
ISSN GagasanHukum.WordPress.Com

ARSIP

KLIK TERTINGGI

  • Tidak ada

STATISTIK PENGUNJUNG

  • 2.679.537 hits
Agustus 2010
S S R K J S M
 1
2345678
9101112131415
16171819202122
23242526272829
3031