KDRT dan Perlindungan Anak (Bagian I)

Oleh Asri Wijayanti

Pengantar redaksi:
Artikel ini dimuat secara bersambung. Bagian I, edisi Senin 25 Mei 2009. Bagian II, edisi Senin 1 Juni 2009. Bagian III, edisi Senin 8 Juni 2009. Bagian IV, edisi Senin 15 Juni 2009. Bagian V, edisi Senin 22 Juni 2009. Bagian VI, edisi Senin 29 Juni 2009. Bagian VII, edisi Senin 6 Juli 2009. Bagian VIII, edisi Senin 13 Juli 2009.

 

Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT),  sejak disahkannya Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (selanjutnya disebut dengan UU PKRT) marak dibicarakan di masyarakat.  Berbicara tentang KDRT tidak dapat terlepas dari subyek hukum yang mendapat perlindungan, yaitu perempuan dan anak. Kasus KDRT yang terjadi secara umum terjadi pada istri, anak dan pembantu rumah tangga. Hanya sedikit kasus korban KDRT adalah suami. Kasus yang terjadi  di Balikpapan, kekerasan dilakukan oleh suami terhadap istri. Korban KDRT adalah istri.

Seorang istri disiksa suaminya dengan sadis hanya karena cemburu. Suami mengancam istrinya dengan golok, memasukkan benda asing ke vagina, memotong payudara istri, lalu dimakan. Hal ini hampir sama sadisnya dengan kasus Nur Aisah yang kepalanya dipukul suaminya, tangannya patah dan jari tangannya putus hanya karena menolak ajakan suami untuk berhubungan intim, padahal si istri baru melahirkan (masa nifas). [1]

Bentuk kekerasan yang dilakukan suami kepada istrinya dapat terjadi dalam bentuk yang lain, yaitu prostitusi. Di Desa Dukuh Seti, Pati, Jawa Tengah, terdapat prostitusi sebagai ‘industri keluarga’. Istri tidak hanya dibiarkan, tapi diizinkan atau disuruh. Bahkan dipaksa untuk masuk dunia prostitusi, dikomersialkan agar bisa menghasilkan uang untuk keluarga. [2]

 

Suatu keluarga minimal terdiri dari suami, istri dan anak.  Terkadang kondisi keluarga dan tidak adanya keterbukaan di dalam keluarga dapat mengakibatkan tekanan psikologis terhadap anak. Sebagai contoh dalam hal ini adalah,

 

Tomy baru berumur 14 tahun ketika memutuskan mengakhiri hidupnya sendiri. Siswa kelas 2 SMPN I Bojonegoro, Jawa Timur, ini diduga mengalami tekanan batin usai menghilangkan SIM dan STNK serta gagal masuk tim tenis untuk pekan olahraga daerah. “Keluarga, pihak sekolah dan teman-temannya tidak mengetahui bahwa Tomy benar-benar tertekan akibat masalah-masalah itu,”[3]

Korban KDRT dapat terjadi pada suami. Kasus  di Pekanbaru, pada bulan November 2005, suami menjadi korban kekerasan dari tindakan istri. Seorang istri membunuh suami dengan cara menusuk dengan pisau kepada suami karena tidak sanggup membayar tagihan listrik.[4] 

Dari contoh kasus di atas,  maka perlu diadakan perlindungan hukum bagi suami,  istri dan anak. Kemungkinan terdapat pihak yang lemah di dalam suatu keluarga. Untuk itu perlu adanya campur tangan pemerintah untuk memberikan perlindungan hukumnya. Perlindungan hukum menurut Philipus ,

 

Selalu berkaitan dengan kekuasaan. Ada dua kekuasaan yang selalu menjadi perhatian yakni kekuasaan pemerintah dan kekuasaan ekonomi. Dalam hubungan dengan kekuasaan pemerintah, permasalahan perlindungan hukum bagi rakyat (yang diperintah), terhadap pemerintah (yang memerintah).[5]

 

Perlindungan  hukum bagi istri (perempuan) dan anak sangat diperlukan mengingat kedudukannya yang lemah. Perlindungan terhadap istri mengingat hanya perempuan yang memiliki fungsi reproduksi. Perlindungan terhadap anak diberikan karena anak adalah generasi penerus bangsa yang harus diselamatkan.

 

Perlindungan hukum dapat terlaksana apabila peraturan perundang-undangan yang mengharuskan atau memaksa untuk bertindak benar-benar dilaksanakan semua pihak karena keberlakuan hukum tidak dapat diukur secara yuridis saja, tetapi diukur secara sosiologis dan filosofis.  Bruggink membagi keberlakuan hukum menjadi tiga, yaitu keberlakuan faktual, keberlakuan normatif dan keberlakuan evaluatif/ material.

 

Keberlakuan faktual yaitu kaidah dipatuhi oleh para warga masyarakat/ efektif kaidah diterapkan dan ditegakkan oleh pejabat hukum, keberlakuan normatif yaitu kaidah cocok dalam system hukum herarkis, keberlakuan evaluatif yaitu secara empiris kaidah tampak diterima, secara filosofis kaidah memenuhi sifat mewajibkan karena isinya.[6]

 

Perlindungan hukum pada prinsipnya mencakup dua hal yaitu adanya norma yang mengatur dan upaya hukum yang akan dilakukan apabila terdapat norma yang dilanggar.  Aturan mengenai norma haruslah benar, baik ditinjau dari segi dogmatik, teori maupun dasar filosofinya.  Peraturan perundangan yang baik supaya benar dari tiga tinjauan, dapat terlaksana apabila pada saat pembuatannya terdapat naskah akademis. Sayangnya hampir semua perundang-undangan setelah reformasi belum mempunyai naskah akademis sampai undang- undang itu disahkan. Begitu pula dengan UU PKRT, sehingga dikatakan cacat dan kenyataan di masyarakat sulit untuk diterapkan secara efektif.

 

Perumusan suatu undang-undang harus memperhatikan hakekat lapisan hukum.

Ilmu Hukum memiliki tiga lapisan yaitu filsafat hukum, teori hukum dan dogmatik hukum. Dari ketiga lapisan itu dijadikan landasan dalam melakukan praktik hukum. Praktik hukum menyangkut dua aspek utama yaitu pembentukan hukum dan penerapan hukum. Filsafat hukum menjadi meta teori bagi teori hukum dan dogmatik hukum sekaligus menjadi teori dalam hukum positif. Teori hukum dan dogmatik hukum menjadi teori dalam hukum positif. Untuk menerapkan hukum prositif dibutuhkan adanya ars. Ars yang dimaksud adalah legal reasoning atau legal argumentation, yang hakekatnya adalah giving reason[7]

 

Tentang penulis:
Asri Wijayanti SH MH, dosen Kopertis Wilayah  VII Diperbantukan (DPK) di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surabaya,  mahasiswa S-3 Ilmu Hukum Universitas  Airlangga. Email: asri1wj@yahoo.com

 

 

 


[1] Wardani, Kandidat doktor di IAIN Sunan Ampel,   Kekerasan Terhadap Istri http://www.indomedia.com/bpost/022007/21 /opini/  opini1.htm, diupdate 30 Juni 2008

 

 

[2] Wardani, op.cit.

[3] DPR dan Unicef Soroti Kekerasan terhadap Anak http://www.hukumonline.com /detail. asp?id=19255&cl=Berita, diupdate 30 Juni 2008

[4] Molly Wahyuni , Gaji-tak-cukup-suami-pun-tewas-di-tangan-istrihttp://www.silaban.net /2006/02/ 11/ gaji-tak-cukup-suami-pun-tewas-di-tangan-istri/ diupdate 30 Juni 2008

[5] Philipus M. Hadjon, Perlindungan hukum dalam negara hukum Pancasila, Makalah disampaikan pada symposium tentang politik, hak asasi dan pembangunan hukum Dalam rangka Dies Natalis XL/ Lustrum VIII, Universitas Airlangga, 3 November 1994.

 

[6] JJ. H. Bruggink alih bahasa Arief Sidarta, Refleksi tentang hukum, 1996, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 157.

 

[7] Asri Wijayanti, Argumentasi Hukum kerangka berfikir ahli hukum, 2008, h. 120.



ISSN 1979-9373
ISSN GagasanHukum.WordPress.Com

ARSIP

KLIK TERTINGGI

  • Tidak ada

STATISTIK PENGUNJUNG

  • 2.679.367 hits
Mei 2009
S S R K J S M
 123
45678910
11121314151617
18192021222324
25262728293031