Saat Sumpah Menjadi Sampah

Oleh Sumiati Anastasia

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata sumpah bermakna “ikrar yang disampaikan dengan sungguh-sungguh. Pernyataan yang diucapkan secara resmi dengan bersaksi atas nama Tuhan.” Tentu saja sungguh agung dan mulia makna kata tersebut.

Apalagi, Sumpah Pemuda yang dikumandangkan pada 28 Oktober 1928. Itu ikrar yang luar biasa atas nama manusia dan Tuhan.

Mereka bersumpah: bertanah air, berbangsa, dan berbahasa satu, Indonesia. Adakah semangat sumpah masih menjadi inspirasi kita untuk hidup berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat hari ini?

Mari membuka kamus lagi untuk melihat arti kata sampah yang cuma berbeda satu huruf hidup dengan sumpah. Huruf u diganti a. Nyata benar bedanya. Arti kata sampah adalah “barang atau sesuatu yang tidak dipakai lagi sehingga dibuang; kotoran; keadaan hina; tercela.”

Terkait sumpah dan sampah, pada suatu acara peluncuran buku, seorang pejabat tampil sebagai keynote speaker. Dengan gaya khas, dia berbicara tentang sumpah jabatan yang selalu menjadi bagian dari seremoni saat orang dilantik.

Menurutnya, sumpah telah memudar maknanya. Maklum, di saat mengucapkan sumpah dengan salah satu tangan menyentuh Kitab Suci yang dipegang para petugas agama, mereka cuma menirukan ucapan pengambil sumpah (biasanya pejabat yang lebih tinggi kedudukannya).

Ditambah lagi ketika sampai pada kalimat “kami bersumpah” mereka sengaja sedikit mengangkat salah satu kakinya supaya tidak menginjak bumi.

Pantas saja kemudian banyak pejabat yang tak menghargai sumpah jabatan. Tepatnya mereka melupakan, mengingkari, dan mengkhianati sumpah. Tak heran bila penyalahgunaan jabatan atau kekuasaan sering terus terjadi.

Buktinya penjara penuh mantan menteri, gubernur, bupati dan pejabat lainnya. Mereka pernah mengucapkan sumpah jabatan. Mereka kini sungguh menjadi sampah bagi bangsa, meskipun tentu saja ada satu dua yang tidak demikian, khususnya korban tebang pilih pemberantasan korupsi.

Tapi bukan berarti yang di luar penjara lebih bersih. Masih banyak pejabat atau birokrat dengan sense of belonging yang kebablasan. Mereka merasa memiliki ororitas untuk ‘mengembat’ apa pun demi memperkaya diri, keluarga, kelompok, dan partainya.

Persetan jeritan 40 juta warga miskin. Jeritan meraka hanya akan didengar dan diperlukan untuk “yel-yel” mendongkrak suara saat pilkada atau pilpres.

Tidak heran banyak kaum miskin menjerit. Mereka tidak lagi merasa memiliki Indonesia. Indonesia sekarang milik yang berkuasa. Mereka lupa Sumpah Pemuda 1928.

Padahal, lewat Sumpah Pemuda, para founding fathers yang latar belakangnya sangat berbeda berkehendak untuk hidup dalam wilayah yang sama (Ernst Renan).

Kepentingan dan rasa persamaan nasib menjadi pendorong utama untuk bersatu, lepas dari segala macam pengotak-ngotakan: suku, agama, maupun etnis dalam rumah Indonesia yang diproklamasikan Bung Karno-Hatta, pada 17 Agustus 1945.

Keagungan dan keindahan sumpah telah berganti menjadi onggokan sampah membusuk yang menyeruduk kian kemari meninggalkan luka-luka membusuk pula.

Yang lebih runyam lagi, ternyata sampah yang seharusnya dibuang jauh-jauh malah dirawat sebaik-baiknya guna menumpuk harta dan kuasa. Kepandaian memelihara “sumpah yang sesungguhnya sampah” atas nama rakyat, negara, dan Tuhan makin semarak bergerak di panggung kehidupan.

Sampah sumpah itu betul-betul telah memberangus dan melumpuhkan sendi-sendi kehidupan. Solidaritas dan kohesi nasional kian memudar, karena yang penting “aku senang, aku menang. Persetan orang lain susah, karena aku” (simak lagu Bento dari Iwan Fals).

Lagi, lihat saja contoh kelakuan para kepala daerah. Mereka justru ditangkap tangan (OTT) KPK. Secara keseluruhan, sejak 2004 ada 78 kepala daerah berurusan dengan KPK.

Rinciannya, 18 gubernur dan 60 wali kota atau bupati dan wakilnya. Bukankah para kepala daerah korup itu sudah disumpah? Begitulah sumpah yang agung dan indah telah berubah menjadi sampah hina dan kotor.

Momen

Ingat tragedi Titanik yang mengarungi samudra dalam perjalanan perdana ke New York tanggal 14 April 1912? Lebih dari 2.000 penumpang menikmati kenyamanan kapal amat mewah itu.

Telepon berdering pada menit pertama, para petugas sedang asyik bersenandung menikmati kecepatan kapal pemecah rekor tersebut. Satu menit berlalu.

Menit kedua, para petugas tak mau diganggu telepon berdering karena terlalu sibuk. Menit ketiga pun tiba, dengan malas-malasan petugas menerima telepon berbunyi, “Ini tempat pengintai pada haluan kapal! Gunung es persis di depan! Putar haluan!” Sayang, sudah terlampau terlambat.

Kapal mewah itu menabrak bagian tengah gunung es dan menimbulkan gemuruh dahsyat. Tiga menit yang amat bernilai, yang sebenarnya dapat menyelamatkan 1.600 jiwa. Tak ingin tentunya Indonesia menjadi seperti Titanik.

Kondisi susah yang sedang kita rasakan akibat maraknya koruspsi bisa diubah manakala kita berani berhenti menyalahgunakan sumpah.

Kita harus serius dalam bersumpah! Kita bertanggung jawab kala bersumpah! Kita tidak akan pernah berpura-pura saat bersumpah, supaya tidak jadi sampah kotor sumpah kita! Menghargai sumpah berarti menghargai kehidupan yang terus menerus dibangun di atas penghargaan tersebut.

Bagi siapa saja yang mengubah sumpah menjadi sampah bisa berarti “mempercepat kiamat” diri karena akan ada banyak orang yang sengsara akibat sampah-sumpahnya lantas menyumpahinya (mengutukinya) sampai tujuh turunan. Inikah kehidupan yang hendak kita bangun?

Sumpah Pemuda kiranya menyadarkan untuk menjadi anak-anak bangsa ysng punya integritas tidak memberi bangsa ini sampah-sampah yang hanya memudarkan pamor dan citra Indonesia. (Sumber: Koran Jakarta, 31 Oktober 2017)

Tentang Penulis:

Sumiati Anastasia Penulis Lulusan University of Birmingham

 



ISSN 1979-9373
ISSN GagasanHukum.WordPress.Com

ARSIP

KLIK TERTINGGI

  • Tidak ada

STATISTIK PENGUNJUNG

  • 2.678.763 hits
November 2017
S S R K J S M
 12345
6789101112
13141516171819
20212223242526
27282930