Arah Baru Perlindungan Buruh Migran Indonesia

Oleh Anis Hidayah

AKHIRNYA palu itu diketukkan. Tanggal 25 Oktober lalu, dalam Sidang Paripurna Ke-10 DPR RI, menjadi momentum bersejarah dalam upaya perbaikan perlindungan buruh migran RI.

Setelah melalui proses panjang dan berliku tujuh tahun, revisi UU No 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI disahkan menjadi UU tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.

Revisi UU itu mulai didesakkan organisasi masyarakat sipil sejak 2008. Revisi itu dianggap penting karena secara substansi UU itu tidak memiliki keberpihakan pada buruh migran dan bahkan disahkan tanpa naskah akademik.

Sebaliknya, itu lebih banyak mengatur tentang bisnis penempatan buruh migran yang selama ini banyak menjerat buruh migran dan anggota keluarga mereka.

Dengan keberadaannya, perusahaan swasta memiliki legitimasi hukum mengambil keuntungan secara brutal dalam penempatan buruh migran yang lazim disebut sebagai rezim komoditisasi buruh migran.

November 2010, untuk pertama kalinya revisi UU itu menjadi agenda program legislasi nasional DPR RI.Namun, itu tidak serta-merta dibahas.

Baru dua tahun kemudian, pada 2 Agustus 2012, Presiden menerbitkan amanat presiden untuk menunjuk enam kementerian, yaitu Kemenaker, Kemenlu, Kemenkum dan HAM, Kemenpan RB, Kementerian PP&PA, serta Kemendagri dalam pembahasan revisi UU itu.

Selama dua tahun, proses revisi hanya menyepakati judul UU menjadi Perlindungan dan Penempatan TKI.

Adanya interest dan kepentingan ekonomi dan politik patut diduga kuat menjadi salah satu sebab bertele-telenya pembahasan.

Di sela waktu itu, tepatnya 12 April 2012, melalui Sidang Paripurna DPR RI pemerintah meratifikasi konvensi internasional tentang perlindungan terhadap hak-hak seluruh pekerja migran dan anggota keluarga mereka.

Ratifikasi terhadap konvensi itu juga membutuhkan waktu yang panjang, 14 tahun, setelah melalui tiga kali RAN HAM dan dua kali masuk agenda prolegnas.

Sungguh waktu yang sangat lama bagi negeri ini untuk memberikan perlindungan bagi buruh migran.

Ratifikasi terhadap konvensi itu merupakan babak baru peletakan fondasi kebijakan migrasi di RI yang berbasis pada penghormatan terhadap HAM.

Ratifikasi konvensi itu mengikat pemerintah RI menjadi negara pihak yang memiliki konsekuensi menyesuaikan kebijakan migrasi di RI dengan konvensi.

Dengan demikian, proses revisi UU No 39/ 2004 itu, yang kembali didesakkan pada masa kerja DPR RI periode 2014-2019, harus memasukkan standar HAM pascaratifikasi konvensi pekerja migran.

Sebagai catatan, 5-6 September 2017, laporan inisial (perdana) pemerintah RI atas implementasi konvensi pekerja migran sudah ditanggapi Komite Pekerja Migran PBB di Jenewa.

Salah satu dari 26 rekomendasi Komite Pekerja Migran PBB itu ialah pemerintah RI harus segera mengesahkan revisi UU No 39/2004 yang mengadopsi standar perlindungan buruh migran sesuai dengan konvensi.

Selanjutnya pada 9 Januari 2015, revisi UU buruh migran kembali ditetapkan sebagai agenda prioritas prolegnas DPR RI 2015.

Pada 10 Desember 2015, bertepatan dengan peringatan hari HAM, Presiden menerbitkan Amanat Presiden No R.72/Pres/12/2015 yang kembali menunjuk enam kementerian untuk memberikan tanggapan atas draf DPR RI.

Hingga akhir 2015, revisi UU itu belum mulai dibahas.

Pada 26 Januari 2016, RUU buruh migran kembali masuk menjadi agenda prioritas prolegnas DPR RI.

Sepanjang 26 Juli 2016-24 Juli 2017, Panja DPR RI dan pemerintah secara maraton melakukan pembahasan menyepakati judul RUU menjadi RUU Perlindungan Pekerja Migran Indonesia dan enam isu krusial.

Enam isu krusial itu ialah penguatan peran pemerintah daerah, penguatan peran atase tenaga kerja, jaminan sosial pekerja migran melalui BPJS, layanan terpadu satu atap, dan pengurangan peran perusahaan swasta pengirim tenaga kerja, serta pembiayaan pekerja migran yang tidak boleh dibebankan kepada mereka.

Sepanjang tahun proses pembahasan RUU itu memperlihatkan dinamika yang alot, baik pembahasan yang dilakukan di DPR RI maupun konsinyering (konsinyasi) yang dilakukan di luar DPR RI.

Di awal proses pembahasan, masyarakat sipil mengalami keterbatasan akses karena pembahasan tertutup.

Tapi setelah ada desakan, pembahasan dilakukan terbuka.

Beberapa isu utama yang menjadi pembahasan alot antara lain pengurangan peran swasta, dewan pengawas, serta pengaturan kelembagaan.

Dewan pengawas akhirnya disepakati dihilangkan dengan memberikan kewenangan pengawasan kepada pemerintah daerah dan masyarakat.

Dalam pembahasan panja, disepakati pengurangan secara signifikan peran swasta dengan spirit menghadirkan negara dalam perlindungan buruh migran melalui peran pemerintah daerah dari desa hingga provinsi.

Mengenai kelembagaan, pembahasan alot hingga akhir jelang pengambilan keputusan di tingkat I, dengan akhirnya disepakati badan bertanggung jawab kepada presiden dengan koordinasi menteri.

Secara keseluruhan, isi revisi UU yang disepakati menunjukkan ada keberpihakan kepada buruh migran.

Beberapa hal signifikan yang akan berkontribusi pada perbaikan tata kelola migrasi ialah pengurangan peran swasta.

Hal itu sangat signifikan mengingat dominasi peran swasta selama ini yang menghantarkan buruh migran, terutama perempuan, pada situasi migrasi yang rentan terhadap pelanggaran HAM dan terjebak praktik perbudakan modern.

Dalam UU lama peran swasta sangat dominan mulai memberikan informasi, pendataan, pengurusan dokumen, menyelenggarakan pendidikan prapemberangkatan, penampungan, medical check up, memberangkatkan, sampai menyelesaikan masalah hingga kepulangan.

Dalam UU baru peran swasta hanya memberangkatkan pekerja migran yang sudah diverifikasi dan dinyatakan siap oleh lembaga terpadu satu atap (LTSA), melaporkan kepulangan dan menyelesaikan masalah.

Peran-peran lainnya dilakukan pemerintah daerah melalui LTSA dan pemerintah desa.

Bagi buruh migran, bukanlah mandatory untuk berangkat melalui swasta semata karena tersedia pilihan melalui G to G dan mandiri.

Implikasi dari pengaturan itu tidak ada biaya penempatan, meminimalkan praktik eksploitasi termasuk jeratan utang, dan meminimalkan pemalsuan dokumen.

Selain itu, pengaturan jaminan sosial, yaitu asuransi pekerja migran ke dalam skema sistem jaminan sosial nasional BPJS, merupakan langkah maju.

Selama ini asuransi oleh swasta tidak lebih dari 20% yang manfaatnya kembali kepada buruh migran, dengan 80% menjadi keuntungan swasta.

Tiga pasal yang menjadi titik lemah ialah Pasal 13 huruf g tentang perjanjian penempatan yang menjadi prasyarat pekerja migran.

Ketentuan itu secara implisit mengandung makna bahwa skema penempatan pekerja migran ke luar negeri hanya melalui swasta, padahal masih ada skema melalui badan dan mandiri.

Pasal lainnya ialah Pasal 44 ayat (3) badan nasional bertanggung jawab kepada presiden dengan koordinasi dengan menteri, pasal ini berpotensi membuka ruang konflik kewenangan antara badan dan kementerian.

Serta Pasal 63 ayat (2) pekerja migran yang berangkat secara perseorangan bertanggung jawab atas risiko ketenagakerjaan yang akan terjadi.

Pasal itu mengingkari peran negara untuk bertanggung jawab atas keselamatan dan perlindungan segenap warga negara.

Pada akhirnya, itu semua ialah perlindungan buruh migran di atas kertas.

Tidak kalah penting ialah bagaimana merevolusi mental SDM-nya yang selama ini terbiasa dengan kebijakan yang cenderung eksploitatif.

Catatan Migrant Care menunjukkan kasus-kasus buruh migran tidak banyak yang diselesaikan melalui jalur hukum.

Untuk itu, kita berharap 27 peraturan turunan (12 peraturan pemerintah, 11 peraturan menteri, 3 peraturan badan, dan 1 peraturan presiden) yang menjadi mandat untuk dirumuskan pada maksimal dua tahun ke depan selaras dengan upaya perbaikan perlindungan buruh migran Indonesia. (Sumber: Media Indonesia, 31 Oktober 2017)

 

Tentang penulis:

Anis Hidayah Ketua Pusat Studi Migrasi, Migrant Care



ISSN 1979-9373
ISSN GagasanHukum.WordPress.Com

ARSIP

KLIK TERTINGGI

  • Tidak ada

STATISTIK PENGUNJUNG

  • 2.678.763 hits
November 2017
S S R K J S M
 12345
6789101112
13141516171819
20212223242526
27282930