Kebangsaan dan Media (A)sosial

Oleh  Asep Salahudin

NYARIS hari ini konsep diri kita baik secara personal, keumatan, atau bahkan kebangsaan didefinisikan media sosial.

Tiba-tiba Facebook, Instagram, Twitter, dan Whatsapp menjadi kebutuhan pokok dan bahan utama untuk mendapatkan informasi.

Bukan hanya kabar politik, sosial, ekonomi, keagamaan dan bahkan klenik sekalipun sudah tersedia.

Bukan hanya orang lain yang aktif menyebarkan berita, bahkan kita sendiri bisa ikut ambil bagian men-share-nya.

Tentu saja tujuan utama didirikannya media sosial ialah untuk membangun pertemanan, menyambungkan kembali perkawanan, berbagi informasi penting dan atau menyebarkan hasil refleksi pikiran-pikiran kita yang dibayangkan akan dibaca liyan dan memotivasi untuk bersama-sama mewujudkan kebaikan.

Karena itu, selalu ketika membuka Facebook misalnya, muncul pertanyaan berulang, ‘Apa yang Anda pikirkan?’.

Khitahnya seperti itu.

Persoalannya antara keharusan dan kenyataan tidak pernah tidak ada ketegangan.

Norma dan fakta selalu ada jarak yang terkadang mengalami kesulitan menyelesaikannya.

Inilah yang disebut masalah.

Di jantung masalah ini kita merasakan bagaimana media sosial bukan menambahkan perkawanan, melainkan ada juga kawan yang dihapus karena perbedaan pandangan politik.

Media sosial tak ubahnya medan laga padang kurusetra tempat umat manusia khususnya di Indonesia terbelah dalam dua kekuatan besar ‘penyuka’ (lovers) dan ‘pembenci’ (haters).

Apa pun yang dilakukan tokoh itu bagi lovers ialah kebaikan dan harus dipertahankan, sebaliknya bagi haters tokoh itu sebaik apa pun pasti salah dan harus ditemukan titik kesalahannya untuk dihancurkan sehancur-hancurnya.

Nyaris yang dirasakan terutama tiga tahun terakhir, ‘tawuran’ itu tidak menemukan titik temu ishlah (islah)-nya.

UU ITE hanya menjerat sebagian kecil dan sisanya seperti gunung es masih terhampar di lapisan bawah yang setiap saat bisa meledak.

Apabila tidak pernah ada kesadaran dalam menggunakan media sosial, tidak tertutup kemungkinan pengalaman ‘musim semi Arab’ bisa menimpa kita.

Musim semi yang sebermula dari sengketa akut di medsos yang telah merontokkan negara-negara di kawasan Timur Tengah dan untuk mengembalikannya kepada situasi normal pemerintah dan masyarakat mengalami kesulitan.

Gedung-gedung berantakan, rumah-rumah ibadah menjadi puing, situs silam tak keruan, hubungan sosial cerai berai, belum lagi trauma psikologis yang butuh waktu lama pemulihannya.

Kebencian

Ya. Media sosial yang berubah fungsi menjadi asosial. Sumbunya kebencian, defisit akal sehat, kemalasan melakukan konfirmasi dan verifikasi, fanatisme membabi buta, dan nafsu menghabisi lawan dengan mengerahkan semangat zero sum game.

Lawan wajib selalu keliru dan kawan pasti selalu benar.

Tragisnya dalam rumusan ‘salah’ dan ‘benar’ acuannya bukan keluhuran akal budi dan atau dinegosiasikan di ruang publik terbuka dengan mengerahkan keluhuran komunikasi delibrasi, melainkan semata subjektivitas penafsiran atas sebuah teks atau konteks peristiwanya.

Satu sama lain saling menafsirkan dengan semangat pendakuan kelewat batas.

Seolah yang harus dihadirkan ialah tesis dan antitesis dan menutup munculnya sintesis.

Ruang dialog itu sengaja digelapkan. Gotong royong yang disebut Bung Karno sebagai tema pokok Pancasila entah telah dikubur di mana, apalagi semangat musyawarah dan mufakatnya.

Isu kuna dan primitif pribumi dan nonpribumi yang bertentangan dengan sila ketiga dan Inpres Tahun 1998 No 26 kembali digoreng untuk semakin mengentalkan sengketa bukan membangun roh kekitaan.

Terges-gesa

Salah satu identitas dari media sosial ialah ketergesa-gesaan. Kelimpahan informasi telah membentuk kita menjadi gagap.

Akhirnya semua dibaca tanpa sempat direfleksikan secara jernih.

Kesimpulan yang diambil pun menjadi terburu-buru.

Padahal kata Kanjeng Nabi, “Terburu-buru itu pekerjaan setan.”

Bahkan sering kali di sebuah grup WA orang men-share sebuah berita hanya dengan membaca judulnya.

Karena judulnya dianggap dapat menyalurkan aspirasinya, tanpa ia harus mengecek ulang, itu langsung disebarluaskan.

Saya lebih senang berhadap-hadapan dengan buku konvensional (kertas).

Minimal masih memberikan ruang berdialog lebih leluasa, ada sensasi tersendiri saat menggarisbawahi teks-teks yang dianggap penting atau mengundang isu yang harus dikaji lebih lanjut, malah ada sesuatu yang tidak didapatkan pada media lain: aroma kertas itu ketika lembar demi lembar dibolak-balik.

Khotbah kebencian

Yang tidak kalah mengkhawatirkan ialah fenomena keagamaan ketika masuk mimbar media sosial.

Yang ditemukan bukan lagi kedalaman, melainkan kedangkalan.

Bukan pencerahan, melainkan keresahan. Lewat media sosial, belajar agama lebih mudah sekaligus mudah pula tergelincir pada paham-paham menyesatkan.

Pertemuan dengan guru yang dalam tradisi pesantren seperti diajarkan kitab talim mutaallim menjadi satu keniscayaan dengan segala adab dan keberkahannya hilang; yang tersisa ialah gempita nyinyir menyudutkan orang lain.

Lebih parah lagi, ketika kepentingan politik sudah merambah wilayah keagamaan. Yang terjadi ialah politisasi agama.

Agama dipolitisasi untuk meraih suara, menghamba kepada kepentingan kekuasaan jangka pendek, menjustifikasi seluruh tindakan politiknya agar tampak religius dan seolah menjadi bagian dari jihad fi sabilillah.

Politisasi agama itu sejatinya tidak berhubungan dengan agama, tapi semata berurusan dengan politik yang mengatasnamakan agama agar mendapatkan sambutan massa.

Bukan jihad, melainkan perjalanan untuk memudahkan kerja politik dalam rangka menyalurkan nafsu kekuasaan.

Perkawinan agama dan politik, dalam sejarah panggung kemanusiaan, inilah yang sering kali menjadi pemantik mencuatnya konflik berkepanjangan.

Di media sosial hari ini dengan gencar kita melihat tengah dilangsungkan akad pernikahan agama dan politik disaksikan khalayak.

Baik agama ataupun politiknya akhirnya kedua-duanya jatuh pada kubangan limbo sejarah yang sama sekali tidak memperluas wawasan.

Politiknya menjadi diskriminatif dan agamanya eksklusif.

A Syafii Maarif menyebutnya ‘rongsokan peradaban’.

Tidak ada yang paling mudah dalam meraih simpati massa, apalagi di tengah masyarakat yang buta aksara, kecuali memainkan politik identitas seperti ini.

Kita tengah menggali kubur sendiri: agama dan politik menjadi kehilangan wibawa.

Keindonesiaan berada di tubir sakratulmaut-kehancuran. Lonceng kematian kebudayaan sedang dibunyikan.

Dalam konteks ini, mengembalikan media sosial ke khitahnya sebagai peranti mengukuhkan kekitaan dan membangun perkawanan merupakan satu keniscayaan di tengah gempita politik identitas yang terus digoreng untuk kepentingan tak jelas. (Sumber: Media Indonesia, 31 Oktober 2017)

Tentang penulis:

Asep Salahudin Tenaga Ahli UKP PIP,Ketua Lakpesdam PWNU Jawa Barat



ISSN 1979-9373
ISSN GagasanHukum.WordPress.Com

ARSIP

STATISTIK PENGUNJUNG

  • 2.679.242 hits
November 2017
S S R K J S M
 12345
6789101112
13141516171819
20212223242526
27282930