Penanggung Jawab Kesehatan

Oleh Kartono Mohamad

Kesehatan adalah hak setiap warga negara. Itu kata UUD 1945 dan didukung undang-undang tentang HAM dan kesepakatan internasional tentang Hak Ekosob.

Berbagai ketentuan tersebut mengisyaratkan bahwa negara (pemerintah) berkewajiban memenuhi hak itu. Dari sana juga tersirat bahwa program kesehatan pemerintah tidak selayaknya diperlakukan sebagai program karitatif, bukti kebaikan hati pemerintah kepada warganya.

Program kesehatan untuk masyarakat tak sebatas menyediakan balai pengobatan dan rumah sakit atau memberi pelayanan gratis berobat (terutama) untuk orang miskin. Sebagian besar masyarakat dan media massa memang cenderung beranggapan bahwa hal itulah yang sebenarnya diperlukan rakyat dalam soal kesehatan. Pada umumnya mereka hanya sadar akan haknya di bidang kesehatan setelah jatuh sakit.

Kesehatan dan aset ekonomi
Rakyat tidak bisa membedakan antara needs dan wants, antara apa yang sebenarnya mereka butuhkan dan apa yang sebenarnya mereka inginkan.

Pada awal tahun 1980-an, saya pernah mengikuti sebuah survei yang diselenggarakan University of Malaysia di daerah kumuh di sekitar Kuala Lumpur. Ketika ditanyakan kepada penduduk tentang apa yang mereka butuhkan, kebanyakan mereka menjawab televisi dan barang-barang mewah lainnya. Mereka tidak sadar bahwa lingkungan tempat tinggalnya memerlukan perbaikan sanitasi, bahkan jalanan yang lebih baik. Agaknya karena sudah berpuluh tahun hidup dengan situasi semacam itu, mereka tidak lagi merasakan ada sesuatu yang kurang di lingkungan tempat hidupnya, yang sebenarnya amat penting bagi kesehatan.

Demikian pula rakyat Indonesia. Mengingat masyarakat memahami dan merasa jika sakit diperlukan biaya mahal, yang diinginkan adalah adanya rumah sakit yang bagus tetapi murah. Yang muncul dalam benak, bukan kesadaran tentang bagaimana agar mereka tidak sakit sehingga tidak perlu harus ke rumah sakit.

Sayang, pemerintah pun ikut terbawa arus semacam itu sehingga mengira kalau sudah menyediakan rumah sakit sekaligus biaya pengobatan, pemerintah merasa sudah memenuhi kewajiban menjamin kesehatan rakyat. Maka dapat dipahami, pemerintah lebih senang menyediakan biaya pengobatan gratis untuk penderita demam berdarah daripada menyediakan biaya untuk mencegah agar rakyatnya tidak terkena demam berdarah.

Pola pikir seperti itu pula yang tercermin saat Indonesia menghadapi wabah baru seperti HIV, flu burung, dan flu A-H1N1. Menunggu sampai mewabah, baru sadar bahwa harus bertindak. Tentu saja biaya yang diperlukan menjadi jauh lebih besar sehingga terkesan program kesehatan hanya program penghabis biaya tanpa return of investment.

Berbagai peristiwa semacam itulah yang sering mendorong pemerintah tidak melihat bahwa rakyat yang sehat adalah juga aset bagi pertumbuhan ekonomi. Berbeda dengan pandangan negara-negara komunis yang melihat rakyat adalah bagian dari mesin produksi yang harus dijaga agar selalu dalam keadaan bagus sehingga tidak mengganggu produktivitas dan tidak pula memakan biaya perbaikan yang mahal saat rusak.

Untuk bisa menjaga agar rakyat tetap sehat, tentu kita tidak harus menjadi negara komunis. Dr J Leimena, Menteri Kesehatan pertama RI setelah pengakuan kedaulatan, berkata, ”Di satu pihak kesehatan rakyat mempunyai aspek sosial-ekonomis, di lain pihak usaha-usaha di lapangan sosial-ekonomi hanya dapat berkembang baik jika rakyat yang mengerjakannya itu adalah rakyat yang sehat, badani maupun rohani.”

Kesadaran
Kesehatan adalah hak sekaligus kewajiban, kata sebagian pakar. Dia bukan hak paling asasi seperti hak untuk hidup sebab sebagian besar penyakit terjadi akibat ulah manusia itu sendiri, kecuali penyakit bawaan atau keturunan.

Selain menuntut kesehatan sebagai hak, harus pula ada imbangan berupa kewajiban untuk menjaga kesehatan diri. Setiap warga negara wajib berperilaku hidup bersih dan sehat, serta wajib ikut menjaga agar keluarganya, tetangganya, lingkungan hidupnya tetap dalam keadaan sehat. Ketidaksediaan melihat bahwa ada sisi kewajiban di balik hak, sering membuat aktivis memprotes saat ada undang-undang kesehatan yang juga mencantumkan kewajiban pada warga negara. Mereka bersikukuh, kesehatan adalah semata-mata hak, jadi tidak sepantasnya rakyat dibebani kewajiban.

Sebenarnya argumentasi seperti itu dapat disiasati dengan meletakkan kembali kewajiban kepada pemerintah. Karena hal itu terjadi akibat kurangnya kesadaran rakyat, maka menjadi kewajiban pemerintah untuk melakukan penyadaran dan memfasilitasi agar rakyat dapat memenuhi bagian kewajibannya menjaga diri supaya mereka tidak sakit.

Pemerintah dengan segala kelebihan kemampuannya dibandingkan dengan rakyat berkewajiban melakukan program- program pencegahan penyakit sebelum penyakit itu mendatangi rakyatnya. Maka, tolok ukur keberhasilan pemerintah dalam bidang kesehatan bukan pada berapa banyak rumah sakit dan balai pengobatan yang didirikan dan berapa besar ia membiayai pengobatan bagi yang miskin, tetapi pada seberapa jauh preventable diseases dapat dicegah, seberapa besar kematian yang tidak seharusnya (unnecessary death) bisa dihindarkan, seberapa jauh kecacatan (disability) akibat penyakit dapat dikurangi, seberapa jauh rakyat didorong untuk berperilaku sehat, dan seberapa jauh pemerintah dapat mengantisipasi datangnya wabah baru sebelum masuk ke Indonesia.

Sekali-sekali, boleh juga ditunjukkan bahwa pemerintah dan parlemen lebih berpihak kepada rakyat, bukan kepada pemilik modal. Kita jangan terus ketinggalan dari negara lain. Kini indeks pembangunan manusia (HDI) kita sudah tertinggal oleh Vietnam. Pada tahun 2005, Vietnam menduduki peringkat 114 dan Indonesia peringkat 109. Pada tahun 2008, Indonesia naik ke peringkat 107, tetapi Vietnam meloncat melewati kita ke posisi 105. ”How tragic,” kata orang Inggris.

Tentang penulis:
Kartono Mohamad Mantan Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia



ISSN 1979-9373
ISSN GagasanHukum.WordPress.Com

ARSIP

STATISTIK PENGUNJUNG

  • 2.678.238 hits
September 2009
S S R K J S M
 123456
78910111213
14151617181920
21222324252627
282930