Konflik Norma pada Pembuatan Perjanjian Kerja Bersama (Bagian II)

Oleh Asri Wijayanti

Pengantar Redaksi:
Artikel ini dimuat secara bersambung. Bagian I, edisi Kamis 3 September 2009. Bagian II, edisi Kamis 10 September 2009.

 

Ketentuan Pasal 120 berlaku bagi perusahaan yang memiliki lebih dari satu serikat buruh, yaitu batasan serikat buruh yang berhak mewakili buruh dalam perundingan pembuatan PKB apabila :
1.  jumlah keanggotaannya lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari seluruh jumlah pekerja/buruh di perusahaan tersebut. Apabila tidak terpenuhi ;
2.  serikat pekerja/serikat buruh dapat melakukan koalisi sehingga tercapai jumlah lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari seluruh jumlah pekerja/buruh di perusahaan tersebut untuk mewakili dalam perundingan dengan pengusaha.
3.  tidak terpenuhi, maka para serikat pekerja/serikat buruh membentuk tim perunding yang keanggotaannya ditentukan secara proporsional berdasarkan jumlah anggota masing-masing serikat pekerja/serikat buruh.

Dari ketentuan di atas dapat tafsirkan terdapat tiga kemungkinan agar Serikat Buruh dapat menjadi pihak dalam perundingan pembuatan PKB yaitu apabila jumlah anggotanya atau mendapat dukungan lebih dari 50% dari seluruh jumlah buruh di perusahaan tersebut. Apabila tidak terpenuhi maka dibentuk tim perunding yang keanggotaannya ditentukan secara proporsional berdasarkan jumlah anggota masing-masing serikat buruh.

Sayangnya pelaksanaan ketentuan ini diatur lebih lanjut dalam Kepmenakertrans No. KEP.48/MEN/2004 tidak mengatur perusahaan yang memiliki lebih dari satu Serikat Buruh. Batasan Serikat Buruh yang berhak menjadi pihak dalam perundingan PKB juga berbeda. Ada dua batasan bagi perusahaan yang memiliki satu Serikat Buruh, berdasarkan Pasal 16 yaitu :
1.  jumlah anggota lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan atau;
2.  mendapat dukungan lebih 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan melalui pemungutan suara.

Apabila batasan itu tidak terpenuhi maka tertutup bagi Serikat Buruh untuk melaksanakan fungsinya untuk menjadi pihak dalam perundingan pembuatan PKB. Selanjutnya bagi perusahaan yang memiliki lebih dari satu Serikat Buruh, berdasarkan Pasal 18 hanya Serikat Buruh yang jumlah keanggotaannya lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan saja yang dapat sebagai pihak dalam perundingan pembuatan PKB. Itupun harus melalui verifikasi keanggotaan serikat pekerja/serkat buruh yang dilakukan oleh panitia yang terdiri dari wakil pengurus serikat pekerja/serikat buruh yang ada di perusahaan dengan disaksikan oleh wakil instansi yang bertanggung jawab dalam bidang ketenagakerjaan dan pengusaha. Tidak ada kemungkinan koalisi ataupun dibentuk tim perunding yang keanggotaannya ditentukan secara proporsional berdasarkan jumlah anggota masing-masing serikat pekerja/serikat buruh.

Ketentuan Pasal 16 jo Pasal 18 Kepmenakertrans No. KEP.48/MEN/2004 ini tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 119 dan Pasal 120 UU No. 13 Tahun 2003. Ada pertentangan antara dua peraturan itu. Di dalam praktek, tentunya Disnaker Kota/ Kabupaten maupun Propinsi lebih memilih akan menerapkan ketentuan Kepmenakertrans No. KEP.48/MEN/2004 daripada UU No. 13 Tahun 2003. Ketidak sesuaian norma ini dikenal dengan adanya konflik norma, inkonsistensi vertikal atau tidak ada sinkronisasi vertikal dari norma hukum. Penyelesaian konflik norma diperlukan berkaitan dengan asas preferensi hukum (yang meliputi lex superior derogat legi inferiori, lex specialis derogat legi generali, lex posterior derogat legi priori) yaitu pengingkaran (disavowal), reinterpretasi, pembatalan (invalidation) atau pemulihan (remedy) (Philipus M Hadjon, 2005 : 31).

Berdasarkan ketentuan Pasal 7 UU No. 10 Tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan keberadaan Kepmenakertrans merupakan jenis Peraturan Perundang – undangan selain (Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Undang-Undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; Peraturan Pemerintah; Peraturan Presiden; Peraturan Daerah). Terhadap jenis Peraturan Perundang-undangan, diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Memang keberadaan Kepmenakertrans No. KEP.48/MEN/2004 merupakan pelaksanaan dari Pasal 133 UU No. 13 Tahun 2003. Sayangnya isi kedua peraturan itu adalah bertentangan. Dengan menerapkan asas lex superior derogat legi inferiori, maka Ketentuan Pasal 16 jo Pasal 18 Kepmenakertrans No. KEP.48/MEN/2004 adalah tidak berlaku karena bertentangan dengan Pasal 119 dan Pasal 120 UU No. 13 Tahun 2003.

Apakah cukup sampai di situ ? belum. Diperlukan mekanisme untuk menyatakan pembatalan ketentuan itu. Pembatalan harus dilakukan oleh Pejabat yang menerbitkan Keputusan tersebut, dalam hal ini Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Bagaimana apabila sampai saat ini belum dicabut, meskipun telah ada Permenakertrans No. PER-08/MEN/III/2006 tentang perubahan Kepmenakertrans No. KEP.48/MEN/2004 ? Pembatalan suatu peraturan di bawah Undang-Undang dilakukan oleh Mahkamah Agung, sedangkan untuk kepentingan pembatalan praktikal dapat dilakukan dengan tidak menerapkan norma tersebut di dalam kasus konkrit oleh hakim.

Tentang penulis:
Asri Wijayanti SH MH, dosen Kopertis Wilayah VII Diperbantukan (DPK) di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surabaya, mahasiswa S-3 Ilmu Hukum Universitas Airlangga. Email: asri1wj@yahoo.com



ISSN 1979-9373
ISSN GagasanHukum.WordPress.Com

ARSIP

KLIK TERTINGGI

  • Tidak ada

STATISTIK PENGUNJUNG

  • 2.679.367 hits
September 2009
S S R K J S M
 123456
78910111213
14151617181920
21222324252627
282930