Arsip untuk September 24th, 2009

Kesulitan Penerapan Hukum Pornografi (Bagian I)

Oleh Deni SB Yuherawan

Pengantar Redaksi:
Artikel ini dimuat secara bersambung. Bagian I, edisi Kamis 24 September 2009. Bagian II, edisi Kamis 1 Oktober 2009.

 

1. Latar Belakang Masalah
Proses legislasi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi (UU Anti Pornografi) merupakan salah satu proses yang fenomenal, terkait dengan banyaknya sikap pro kontra sejak masih berupa rancangan undang-undang. Bahkan pada saat disahkan untuk diundangkan, FPDIP (Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) dan FPDS (Fraksi Partai Damai Sejahtera) menolak pengesahannya dan memilih keluar ruang sidang, sebagaimana diberitakan Jawa Pos, Jum’at, 31 Oktober 2008 yang berjudul “FPDIP dan FPDS Walk Out, Tolak RUU Pornografi Disahkan, Dorong Uji Materi ke MK”. Pada saat yang sama, Pemerintah dan masyarakat Bali menolak pengesahan UU Pornografi, (baca berita Jawa Pos, Jum’at 31 Oktober 2008, yang berjudul: “Bali Tetap Tolak UU Pornografi”). Penolakan tersebut hanya sebagian contoh saja dari berbagai penolakan oleh berbagai kelompok masyarakat. Berbagai penolakan ini sebagian besar didasarkan pada alasan-alasan bahwa UU Pornografi: sangat mengganggu eksistensi dan kerja seni budaya, sangat potensial menggangu persatuan dan kesatuan bangsa, bertentangan dengan nilai pluralisme bangsa Indonesia, dan sebagainya. Dan slogan yang sering diusung para penentang UU Pornografi adalah “Mari Lawan RUU Pornografi Sampai Kapan pun Juga”.

Namun, gerakan yang pro terhadap undang-undang ini juga sangat serius mendukung mulai saat pembahasan rancangan undang-undang sampai pengesahannya. Gerakan ini juga melibatkan berbagai kelompok masyarakat yang lain, dan selalu berdalil bahwa UU Pornografi: akan mampu mencegah kemerosotan moral bangsa, menyelamatkan generasi muda dari kemerosotan moral, dan menjadi stimulan untuk membangun bangsa yang lebih beradab dan berbudaya.

Pada tanggal 27 Agustus 2009, pada sidang uji material terhadap UU Anti Pornografi di Mahkamah Konstitusi, yang diajukan oleh Kesatuan Hukum Adat Sulawesi Utara, ditampilkan tarian ‘tumantenden’ yang mana penarinya mengenakan ‘kemben’ dan rok belah pinggir hingga paha atas. Tarian ini ditampilkan dengan maksud untuk meyakinkan hakim tentang tidak adanya unsur pornografi dalam tarian tersebut. Pada sidang tersebut, saksi ahli yang diajukan pemerintah memberikan saran agar UU tersebut direvisi atau paling tidak ditambahkan satu pasal tentang 5 (lima) hal yang tidak termasuk pornografi, yaitu adat istiadat, seni, sastra, , olah raga dan ilmu pengetahuan.

Menyimak kontroversi saat penyusunan maupun setelah pemberlakuan UU Anti Pornografi, bagi mereka yang memahami hakekat obyek pengaturan dan teknik penyusunan perundang-undangan, akan sangat mudah memahami kontroversi yang berkepenjangan ini. Tulisan ini tidaklah berpretensi untuk berpolemik tentang hakekat, tolok ukur dan alat ukur pornografi, namun menganalisis tentang kemungkinan-kemungkinan ketidakefektifan penerapan UU Pornografi dan Pornoaksi ditinjau dari aspek sensitivitas obyek yang sarat nilai dan perumusan aturan hukum (rechts regel).

2. Konsiderans Yang Kurang Konsisten dan Terlalu Menyederhanakan
Jika kita cermati pertimbangan (konsiderans) UU Pornografi dan Pornoaksi, dapat dikatakan bahwasannya pertimbangan penyusunan UU tersebut kurang konsisten dan terlalu menyederhanakan persoalan. Misalnya, pada bagian menimbang huruf b dinyatakan bahwa pembuatan, penyebarluasan dan penggunaan pornografi semakin berkembang luas di tengah masyarakat yang mengancam kehidupan dan tatanan sosial masyarakat Indonesia.

Jika memang Pemerintah berkeyakinan bahwa pornografi semakin menggejala dan potensial merusak tatanan kehidupan sosial, seharusnya yang dilakukan Pemerintah adalah memerintahkan aparat kepolisian agar segera melakukan penyelidikan dan penyidikan secara intensif, serta memerintahkan kejaksaan untuk lebih serius menuntut segala tindak pidana pornografi. Perintah ini harus disertai dukungan sekaligus mem’back up’ pemberantasan pornografi. Juga melakukan upaya-upaya non-hukum yang diperkirakan mampu menekan terjadinya pornografi. Intinya, yang dituntut dari Pemerintah adalah ’political will and political back up’ baik bidang hukum maupun non-hukum untuk memerangi pornografi. Tetapi, yang dilakukan Pemerintah bukan memaksimalkan dan mengoptimalkan penegakan hukum dan upaya-upaya non-hukum, melainkan sibuk menyusun UU Anti Pornografi.

Selain itu, pada bagian menimbang huruf c dikatakan bahwa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pornografi yang ada saat ini belum dapat memenuhi kebutuhan hukum serta perkembangan masyarakat. Pertanyaannya, sudahkah Pemerintah melalui aparat penegak hukumnya melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana pornografi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada, terutama Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), secara konsisten dan konsekuen? Seluruh warga masyarakat pun tahu betapa penegakan hukum dan upaya-upaya non-hukum terhadap pornografi sedikit sekali dilakukan aparat penegak hukum maupun Pemerintah. Lantas atas dasar apa, Pemerintah berkesimpulan bahwa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pornografi kurang dan/atau tidak memadai. Pertanyaan berikutnya, apakah Pemerintah sudah mengkaji secara intensif ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang berkaitan dengan pornografi? Jika pemerintah belum melakukan semua itu, kuranglah bijaksana untuk menyimpulkan bahwa ketentuan-ketentuan hukum yang ada belum dapat memenuhi kebutuhan hukum masyarakat untuk memerangi pornografi.

Sikap kurang konsisten dan menyederhanakan persoalan nampak jelas pada bagian menimbang huruf d yang menandaskan bahwa untuk itu perlu membentuk Undang-Undang tentang pornografi. Inilah jalan yang dipilih untuk ditempuh, dari pada memerangi pornografi secara konsekuen dan konsisten dengan menggunakan pasal-pasal dalam KUHP. Sikap Pemerintah sebagaimana dimaksud di atas, semakin menasbihkan pasal-pasal yang terdapat dalam KUHP Buku Kedua, Bab XIV tentang Kejahatan terhadap Kesusilaan dan Buku Ketiga, Bab VI tentang Pelanggaran Kesusilaan sebagai pasal-pasal tidur, atau sebagai macan kertas.

Tentang penulis:
Deni SB Yuherawan SH MS, dosen FH Universitas Trunojoyo Madura, Sedang Studi S3 Ilmu Hukum di Unair. Email: deniyuherawan@yahoo.co.id



ISSN 1979-9373
ISSN GagasanHukum.WordPress.Com

ARSIP

KLIK TERTINGGI

  • Tidak ada

STATISTIK PENGUNJUNG

  • 2.679.369 hits
September 2009
S S R K J S M
 123456
78910111213
14151617181920
21222324252627
282930