Posts Tagged 'IATA'

Ganti Rugi Korban Kecelakaan Adam Air

Oleh Laode Muh Syahartian

 

Kasus kecelakaan Adam Air dua tahun lalu di perairan Majene Sulawesi Barat  harus menjadi pelajaran bagi dunia penerbangan di tanah air. Akibatnya, Uni Eropa mengambil langkah sepihak (unilateral act) dengan melarang pesawat udara komersial Indonesia memasuki wilayah udara Uni Eropa. Tindakan Uni Eropa ini dibenarkan  dalam prinsip-prinsip hukum udara internasional. Dalam hukum udara internasional dikenal konsep “cabotage“ yakni suatu negara mempunyai hak penuh atas wilayah udara diatasnnya .

 

Prinsip ini telah tertuang dalam konvensi ICAO (International Civil Aviation Organization) yang  ada dalam konvensi Chicago 1944. Bunyinya lengkapnya The Contracting State recognize that Every State has complete and exclusive sovereignity. Dalam praktek penerbangan sipil, dikenal ada delapan kebebasan terbang yang dapat diperjanjikan negara peserta. Lebih populer disebut prinsip The Eight Freedom (Mieke Komar Kantaatmadja, 1984). Pasal 7 konvensi ini berbunyi setiap negara mempunyai hak untuk menolak memberikan izin kepada suatu pesawat udara milik negara peserta lain yang bermaksud untuk mengambil penumpang pos dan cargo, dsb.                  

 

Atas banyaknya peristiwa kecelakaan pesawat seperti Adam Air, Garuda dan Lion Air di Solo menambah daftar buruknya sistem dan standar keselamatan penerbangan. Pengguna jasa penerbangan dilindungi hak-haknya dalam sistem hukum udara internasional. Konvensi Warsawa 1929 mengatur pertanggungjawaban pengangkut (jasa penerbangan) terhadap pihak kedua (penumpang). Aturan ini sudah di transform ke dalam ordonansi pengangkutan udara Indonesia (Staatsblad 1939: 100,  dan UU Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan.

 

Konvensi Warsawa menganut prinsip Rebuttable Presumption of Liability (tanggung  jawab berdasar praduga). Artinya maskapai penerbangan harus dianggap selalu bertanggung jawab. Maka beban pembuktian ada pada pihak tergugat (maskapai penerbangan). Menurut para ahli hukum udara internasional prinsip konvensi Warsawa 1929 seharusnya mengarah pada prinsip absolute liability (tanggung jawab mutlak, E Syaefullah Wiradipradja,1988)  

 

Dalam kasus kecelakan pesawat udara komersial sistem pembuktian pertanggungjawaban maskapai penerbangan tidak dibenarkan menggunakan sistem pertanggungjawaban perbuatan melanggar hukum (on rechmatig daad) yang diatur dalam pasal 1365 KUH Perdata. Penumpang tidak boleh dibebani untuk membuktikan gugatannya. Tetapi sebaliknya pengangkutlah yang harus membuktikan bahwa dia tidak bersalah. Prinsip ini sangat menguntungkan penumpang dalam sistem pengangkutan udara komersial di dunia internasional.

 

Namun dalam hal-hal tertentu pengangkut tidak dapat dipersalahkan, apabila pihak maskapai telah dengan sungguh-sungguh berusaha semaksimal mungkin menerapkan semua standar keselamatan yang telah ditentukan oleh instrumen hukum udara internasional. Instrumen itu berupa standar keselamatan organisasi penerbangan sipil yang tertuang di ICAO (International Civil Aviation Organization), IATA (International Air Transport  Association), dan Konvensi Warsawa 1929. 

 

Prinsip Hukum Udara Internasional

Dalam sebuah pesawat udara berlaku dua prinsip. Pertama, prinsip yurisdiksi kriminal yang diatur dalam konvensi Tokyo 1963 tentang “pelanggaran  dan tindakan tertentu lainnya yang dilakukan dalam pesawat udara (The offences and certain other acts committed on board aircraft). Konvensi ini memperlakukan yurisdiksi bendera pesawat.

 

Kedua, prinsip yurisdiksi perdata yang diatur dalam konvensi Warsawa 1929. Prinsipnya, pengangkut dianggap selalu bertanggung jawab. Tercatat, dalam perkembangan hukum udara internasional bahwa pemerintah Indonesia pernah menerapkan yurisdiksi kriminalnya  dengan menerobos masuk ke dalam kedaulatan negara lain. Peristiwa ini terjadi ketika Pembajakan Garuda Woyla di Muangthai, Bangkok 1982. Langkah pemerintah Indonesia pada waktu itu sudah sesuai dengan prinsip-prinsip hukum udara internasional.   

 

Kasus terbaru adalah dikabulkannya permohonan gugatan para ahli waris penumpang Adam Air oleh Pengadilan Negeri Jakarta. Maskapai ini membayar semua kerugian yang timbul akibat jatuhnya pesawat Adam Air yang menewaskan seluruh penumpangnnya.

 

Para Ahli waris korban tidak mengalami kesulitan untuk pembuktian perdata  karena prinsip pembuktian untuk kecelakaan pesawat udara komersial yang tercantum dalam hukum udara internasional menganut sistem pembuktian terbalik. Mereka dilindungi hak-haknya oleh instrumen hukum udara.

 

Untuk menuntut setiap maskapai penerbangan komersial, para penumpang tidak dibebankan pembuktian dimuka persidangan. Pihak pengangkutlah yang harus membuktikan bahwa dia tidak bersalah atas kecelakaan itu. Sekecil apapun kerugian penumpang harus mendapat ganti rugi yang memadai.

 

Dengan demikian ungkapan-ungkapan umum seperti “barang hilang resiko penumpang” tidak diperkenankan dalam sistem pengangkutan udara. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta  yang memenangkan ahli waris korban kecelakaan Adam Air adalah sebuah langka maju dalam dunia penerbangan di Indonesia. Walau pun kasus kemenangan seperti ini bukanlah hal baru dalam praktik hukum udara internasional.

 

Tentang penulis:

Laode Muh Syahartian SH MH, dekan Fakultas Hukum Universitas Putra Bangsa Surabaya. Kontak person: 081 331 870837. Email: laode.syahartian@yahoo.com

issn



ISSN 1979-9373
ISSN GagasanHukum.WordPress.Com

ARSIP

STATISTIK PENGUNJUNG

  • 2.678.236 hits
Mei 2024
S S R K J S M
 12345
6789101112
13141516171819
20212223242526
2728293031