Posts Tagged 'Konvensi Tokyo 1963'

Menyoroti Tiga Undang-undang Penerbangan

Oleh Laode Muh Syahartian

 

Tiga undang–undang penerbangan Indonesia yakni  ordanansi pengangkutan udara Indonesia Stbl. 100 tahun 1939, Undang-undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang penerbangan  dan Peraturan Pemerintah  Nomor 40 Tahun 1995  tentang tanggung jawab Pengangkut mendapat kritikan dari  E Saefullah Wiradipradja  Guru Besar Hukum Udara dan Ruang Angkasa Universitas Padjajaran. Tulisannya dilansir 28 April 2008 (www.indonesianaerospace.com).

 

Saefullah mengkritisi tiga undang-undang tersebut tidak saling sinergik bahkan  menimbulkan kerancuan secara sistematika, dan secara akademik menimbulkan permasalahan yuridis dalam hierarki perundang-undangan. Selain itu, secara materi masih ada hal-hal yang belum diatur. Namun lebih baik dari undang-undang sebelumnnya.

 

Dari Buah pemikiran Beliau .penulis  tertarik untuk memberikan pemaparan mengenai materi atau substansi yang belum diatur dari ketiga undang-undang tersebutberdasarkan kritikan beliau mengenai materi yang belum diatur dalam ketiga undang-undang tersebut, namun sayang beliau tidak menjelaskan secara rinci materi apa yang belum diatur dlam undang-undang tersebut diatas, Dalam kesimpulan tulisan beliau agar UU Nomor 15 Tahun 1992 dan PP Nomor 40 Tahun 1995  perlu ditinjau kembali. Dan ini merupakan PR bagi Pemerintah dan DPR untuk segera merespons usulan beliau.

 

Pemaparan penulis sehubungan dengan substansi undang-undang penerbangan  yang belum diatur dari kritikan beliau.

·         Kewenangan pilot dalam prinsip yurisdiksi kriminal yang diatur dalam hukum udara internasional berdasarkan prinsip dalam Konvensi Tokyo 1963, Konvensi Denhaag 1970 dan Konvensi Montreal 1971. Kewenangan Pilot dalam yurisdiksi Perdata, hak untuk menolak   terbang (right not to fly) dengan pertimbangan untuk keselamatan penerbangan.

·         Penggunaan  perangkat IT dan telepon genggam yang dibawa oleh penumpang

·         Rekam medis bagi penumpang yang berisiko

·         Pemeriksaan sebab-sebab kecelakaan pesawat udara.

 

Materi yang belum diatur secara tegas dalam Undang-undang tersebut, Kapten pesawat udara dalam hal ini pilot harus diberi payung hukum sesuai prinsip dalam konvensi Tokyo untuk melakukan tugas-tugas polisinil selama dalam penerbangan bila terjadi kejahatan yang dikategorikan mengancam keselamatan penerbangan. Penafsiran mengancam keselamatan penerbangan atau membahayakan keselamatan penerbangan harus ada keseragaman pendapat dikalangan ilmuan hukum udara agar pengertian ini tidak menjadi bias.

 

Hal ini penting dikarenakan perkembangan teknologi IT begitu cepat. Di satu sisi kebutuhan penumpang harus diakomadasi selama di dalam pesawat  dan disisi lain kebutuhan pilot untuk keselamtan navigasi penerbangan dengan sistem komunikasi dengan menara pengawas bandara harus tetap terjaga.

 

Sering kali, penggunaan perangkat IT dan telepon genggam yang dipakai penumpang dapat mengganggu percakapan pilot dengan menara pengawas. Hal  ini ini harus ada pengertian yuridis yang jelas apakah Penggunaan perangkat IT dan telepon genggam oleh penumpang selama dalam pesawat udara termasuk kategori membahayakan keselamatan penerbangan. Hal ini harus menjadi perhatian serius buat pembuat undang-undang.

 

Harus ada pasal khusus yang mengatur larangan penggunaan teknologi IT selama dalam penerbangan. Hak  bagi pilot untuk menolak terbang mutlak dibutuhkan dengan pertimbangan untuk keselamatan penerbangan hal ini penting bagi maskapai untuk menghindari tuntutan hukum oleh penumpang dikarenakan adanya kerugian yang diderita oleh penumpang akibat delay keberangkatan.

 

Rekam medis bagi penumpang  yang berisiko harus secara jelas termuat dalam materi undang-undang penerbangan dikarenakan prinsip hukum pengangkutan udara Indonesia yang berasa dari Konvensi Warsawa 1929 menganut prinsip Rebutable Presumption of Liability dimana pengangkut dianggap selalu bertanggung jawab atas segala kerugian yang timbul akibat penerbangan (matinya penumpang) namun dalam hal-hal tertentu pengangkut tidak dapat dipersalahkan apabila Ia telah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk menghindari terjadinya kecelakaan berdasarkan prinsiip–prinsip hukum udara internasional atau sebaliknya dia dapat membuktikan bahwa dia tidak dapat dipersalahkan atas kejadian itu prinsip hukum udara internasional yang dalam Konvensi Warsawa 1929 menganut prinsip pembuktian terbalik.

 

Materi undang-undang penerbangan juga tidak secara tegas tentang otoritas yang berwenang mengadakan penyelidikan pendahuluan atas sebab-sebab kecelakaan pesawat udara yang selama ini ditangani oleh KNKT (Komite Nasional Keselamatan Transportasi) hal ini penting untuk mengetahui apakah pilot dipersalahkan atas sebuah kecelakan pesawat karena salah menerapkan standar profesi penerbang, namun demikian harus diuji dalam sebuah panel ahli dimuka persidangan untuk itu. 

 

Hanya hakimlah yang dapat memutuskan apakah pilot salah atau tidak dalam menerapkan standar profesi penerbang. Dengan demikian kritikan E Saefullah Wiradipradja masih ada hal-hal secara materi undang-undang penerbangan selama ni belum diatur dapat teratasi dengan hadirnya tulisan ini. Semoga aja ada perbaikan undang-undang penerbangan kita.

 

Tentang penulis:

Laode Muh Syahartian SH MH, dekan Fakultas Hukum Universitas Putra Bangsa Surabaya. Kontak person: 081 331 87083 Email: laode.syahartian@yahoo.com

 

issn



ISSN 1979-9373
ISSN GagasanHukum.WordPress.Com

ARSIP

KLIK TERTINGGI

  • Tidak ada

STATISTIK PENGUNJUNG

  • 2.679.369 hits
Mei 2024
S S R K J S M
 12345
6789101112
13141516171819
20212223242526
2728293031