Posts Tagged 'Garuda'

Wacana Hukum Garuda di Dadaku

Oleh Yu Un Oppusunggu

Euforia kita atas penampilan dan masuknya tim nasional sepak bola Indonesia (selanjutnya disebut Timnas) ke babak semifinal Piala AFF Suzuki terusik oleh gugatan pengacara David Tobing terhadap penggunaan Garuda di kaus Timnas. Dalam gugatan yang diajukan pada 14 Desember 2010 ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Tobing menggugat lima pihak, yakni Presiden RI, Mendiknas, Menpora, PSSI, dan Nike sebagai produsen kaus Timnas.

Banyak pihak menyayangkan gugatan ini karena waktu (timing) pengajuannya akan merusak konsentrasi dan moral Timnas. Menteri Pemuda dan Olahraga berpendapat gugatan ini sejatinya tidak perlu. Sementara Menteri Pendidikan Nasional menyatakan bahwa gugatan ini suatu ulah kurang kerjaan. Adapun Sekjen PSSI Nugraha Besoes mempertanyakan mengapa penggunaan Garuda di kaus Timnas, yang sudah dilakukan sejak 2007, baru digugat sekarang. PSSI memutuskan tetap mempertahankan Garuda di kaus Timnas, sesuai dengan hasil konsultasi dan permintaan para anggota DPR.

Dalam acara bincang-bincang di salah satu stasiun televisi swasta, Tobing menandaskan bahwa dia tidak menyatakan penggunaan Garuda di kaus Timnas salah, namun UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan menyatakan begitu. Tobing sendiri menyatakan ia sepenuhnya bangga dan mendukung Timnas. Gugatan ini adalah suatu permasalahan hukum, dan seyogianya dilihat dari perspektif hukum agar duduk persoalannya jelas dan proporsional.

Tujuan UU No. 24/2009 adalah untuk memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa dan negara, menjaga kehormatan dan kedaulatan negara, serta menciptakan standardisasi penggunaan bendera, bahasa dan lambang negara, serta lagu kebangsaan. Penjelasan undang-undang ini menyatakan bahwa undang-undang ini memberi jaminan kepastian hukum untuk penggunaan, antara lain, lambang negara. Asas-asas yang mendasari undang-undang ini antara lain adalah keserasian dan keselarasan. Yakni agar penggunaan lambang negara harus mencerminkan keserasian dan keselarasan dalam hal pengadaan, penetapan, dan penggunaannya.

Ihwal penggunaan Garuda, undang-undang ini mengatur bahwa ada penggunaan yang bersifat wajib dan fakultatif. Penggunaan Garuda oleh individu menurut pasal 52 huruf (e) adalah “sebagai lencana atau atribut pejabat negara, pejabat pemerintah, atau warga negara Indonesia yang sedang mengemban tugas negara di luar negeri”. Letak lencana atau atribut tersebut diatur oleh pasal 54 ayat (3), yakni “dipasang pada pakaian di dada sebelah kiri”. Undang-undang ini tidak mengatur bagaimana penggunaan Garuda oleh individu lain. Karena pasal 57 huruf (d) melarang penggunaan Garuda untuk keperluan lain, maka kesimpulan yang dapat ditarik adalah penggunaan Garuda bersifat limitatif. Kesimpulan ini didukung oleh ancaman pidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak seratus juta rupiah untuk setiap orang yang dengan sengaja menggunakan Garuda di luar yang diatur dalam UU No. 24/2009.

Tidak ada yang dapat menyangkal bahwa slogan “Garuda di Dadaku” telah membangkitkan nasionalisme dan patriotisme kita. Berawal dari adaptasi atau modifikasi yang dilakukan oleh grup musik Netral terhadap lagu rakyat “Apuse”, terciptalah “Garuda di Dadaku” sebagai lagu-tema film anak-anak dengan judul yang sama, yang dirilis sebulan sebelum UU 24/2009 berlaku. Belakangan, lagu ini menjadi lagu wajib setiap kali Timnas berlaga.

Tidak ada juga yang dapat menyangkal bahwa penggunaan Garuda di kaus Timnas adalah suatu keserasian dan keselarasan antara peluh keringat yang dikucurkan oleh pemain Timnas dan sikap menjaga kehormatan Indonesia di lapangan hijau. Jika kita sejenak mengesampingkan UU 24/2009, maka penggunaan Garuda di kaus Timnas adalah suatu bentuk “penyakralan” lambang negara, yang semakin memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa. Karena itu, penggunaan Garuda di kaus Timnas sebenarnya sesuai dengan semangat, tujuan, dan asas dari UU 24/2009.

Lalu, di mana masalahnya? Masalahnya ada pada penggunaan Garuda di luar yang diatur UU 24/2009. Para pemain Timnas bukanlah pejabat negara atau pejabat pemerintah. Meskipun mereka semua WNI dan sedang membela kehormatan bangsa di lapangan hijau, pertandingan tidak diselenggarakan di luar negeri. Karena itu, menurut UU 24/2009, penggunaan Garuda yang demikian adalah salah dan diancam pidana menurut pasal 69.

Ada tiga isi aturan hukum: suruhan, larangan, dan kebolehan. Dua yang pertama bersifat imperatif, sehingga jika tidak dipatuhi ada sanksinya. Yang terakhir bersifat fakultatif, yang pelaksanaannya sepenuhnya terserah pada setiap orang, sehingga tidak ada sanksinya. Dengan memperhatikan isi dan sifat pasal-pasal di atas, semuanya bersifat imperatif. Undang-undang seharusnya ditegakkan oleh aparat hukum. Ada-tidaknya pelanggaran harus melalui putusan pengadilan. Karena itu, secara hukum penggunaan Garuda di kaus Timnas belum dapat dikenai sanksi.

Suatu gejala menarik terlihat pada reaksi para menteri dan anggota DPR. Mereka cenderung tidak melihat penggunaan Garuda di kaus Timnas sebagai suatu pelanggaran UU 24/2009. Mereka malah menganggap gugatan sebagai angin lalu semata. Gejala ini sungguh memprihatinkan. Sebab, undang-undang adalah hasil kesepakatan Presiden dan DPR tentang bagaimana mengatur negara. Presiden di sini bukan hanya pribadi yang menjabat sebagai presiden RI, namun juga suatu lembaga negara Republik Indonesia. Demikian juga DPR, bukan para anggotanya, melainkan keseluruhan lembaga negara yang mewakili rakyat. Sungguh ironis, para menteri, yang notabene adalah pembantu Presiden, menyepelekan suatu ketentuan undang-undang yang bersifat imperatif. Bukankah mereka sesungguhnya telah menihilkan suatu hukum positif? Bukankah hukum positif mengikat semua penduduk dan WNI?

Jika lembaga pembentuk undang-undang sendiri melecehkan ketentuan undang-undang, bagaimanakah kita dapat berharap adanya penegakan hukum? Jika permasalahan “sepele” ini saja dianggap sebagai angin lalu, bagaimanakah kita dapat berharap penegakan hukum untuk permasalahan yang “serius”?

Penggunaan Garuda di kaus Timnas memang bukan baru sekarang terjadi. Sebagian kalangan menyatakan bahwa pada kaus Timnas di Olimpiade Melbourne 1956 juga terdapat Garuda di bagian dada. Namun penggunaan yang demikian ini tidak melanggar peraturan perundangan, sebab pengaturan penggunaan Garuda yang limitatif baru diatur oleh PP No. 43 Tahun 1958 tentang Penggunaan Lambang Negara. Pengaturan dalam PP ini pada hakikatnya sama dengan UU No. 24/2009, yang kemudian mengambil-alih pengaturan penggunaan Garuda. Karena itu, penggunaan Garuda oleh PSSI selama ini memang tidak sesuai dengan aturan.

Larangan dan sanksi UU No. 24/2009 tidak bisa secara hukum ditiadakan oleh komentar atau pendapat para menteri dan anggota DPR. Solusi yang elegan dan benar untuk permasalahan ini adalah dengan mengubah pasal tersebut, sebab suatu ketentuan undang-undang tetap berlaku mengikat selama belum dicabut atau diganti oleh ketentuan undang-undang lainnya.

Ada dua permasalahan hukum dalam gugatan ini. Pertama, ketidaksesuaian pengaturan UU No. 24/2009 dengan realitas dalam masyarakat. Kedua, tidak dilaksanakannya undang-undang oleh pejabat pemerintah. Jika para pejabat publik tidak konsekuen melaksanakan undang-undang, mereka dapat digugat oleh setiap orang untuk menjalankan kewajiban melaksanakan undang-undang. Secara hukum adalah kewajiban setiap orang untuk melaporkan suatu pelanggaran. Karena itu, gugatan Tobing sesuai dengan hukum positif dan berdasar.

Karena bukan Timnas yang digugat, kita semua tentunya berharap konsentrasi mereka tidak buyar dan tetap berlaga dengan nasionalisme dan patriotisme penuh. Garuda selalu di dada, dengan atau tanpa atribut. (Sumber: Koran Tempo, 22 Desember 2010)

Tentang penulis:

Yu Un Oppusunggu, dosen FH UI untuk kelompok mata ajar Hukum Antar Tata Hukum, anggota Bidang Studi Hukum Studi Hukum Internasional.

 



ISSN 1979-9373
ISSN GagasanHukum.WordPress.Com

ARSIP

KLIK TERTINGGI

  • Tidak ada

STATISTIK PENGUNJUNG

  • 2.679.367 hits
Mei 2024
S S R K J S M
 12345
6789101112
13141516171819
20212223242526
2728293031