Mengeliminasi Konflik Antaraparat

Oleh Inggrid Galuh M

Pada 7 Maret 2013, terjadi tindak kekerasan aparat yang disusul dengan pembakaran Markas Polres Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatra Selatan.

Ada 95 oknum TNI dari Batalyon Armed 15/105 TNI Tarik Martapura yang terlibat. Aksi itu mengakibatkan seorang warga sipil tewas dan empat anggota polisi terluka, termasuk Kapolsek Martapura, Komisaris Polisi Ridwan. Sejumlah fasilitas kepolisian, seperti mobil polisi, juga hancur.

Ada ketidakpuasan para oknum TNI atas perkembangan penyelidikan kasus penembakan seorang anggota TNI hingga tewas, yaitu Pratu Heru Oktavianus, anggota Batalyon Armed 15 Tarik Martapura Kodam Dua Sriwijaya. Penembakan dilakukan anggota polisi lalu lintas pada 27 Januari 2013.

Apa pun alasannya, tindakan tersebut benar- benar telah mengoyak kepercayaan masyarakat terhadap institusi penegak hukum yang semestinya memberi contoh cara menyelesaikan konfl ik lewat jalur hukum. Penghormatan terhadap hukum bangsa ini semakin rendah.

Di tengah maraknya bentrokan antarwarga terkait isu perebutan lahan, pilkada, maupun ketersinggungan, kekerasan aparat penegak hukum menjadi sebuah keprihatinan. Untuk bentrokan antarwarga di Jabotabek, berdasarkan data Sistem Nasional Pemantauan Kekerasan (SNPK) The Habibie Center, terjadi 36 insiden sepanjang tahun 2012 yang mengakibatkan 6 orang tewas dan 23 cedera.

Artinya, masalah antarmasyarakat sipil sudah cukup banyak, dan penyerangan Mapolres OKU tersebut menambah persoalan baru yang mengindikasikan betapa mahalnya “harga” damai dalam masyarakat.

Berdasarkan data SNPK Th e Habibie Center, kekerasan yang terjadi antaroknum aparat penegak hukum, baik TNI terhadap Polri maupun sebaliknya, tercatat 76 insiden dalam bentuk perkelahian, pengeroyokan, penganiayaan, perusakan, bahkan bentrokan dalam lima tahun terakhir.

Serangkaian insiden tersebut mengakibatkan 10 orang tewas, 80 cedera, dan 63 bangunan rusak. Sebagian besar kekerasan terjadi di Jabotabek (24 persen) dan Papua Barat (20 persen). Insiden kekerasan terbanyak berupa serangan fi sik (53 persen). Kekerasan antaraparat dalam catatan SNPK The Habibie Center tidak hanya menunjukkan penyerangan oknum TNI terhadap Polri, namun juga sebaliknya.

Pada 19 Agustus 2012, misalnya, Kantor POM (Markas TNI) dirusak oleh sejumlah anggota Polres di kawasan Kecamatan Kaimana, Kabupaten Kaimana, Papua Barat. Penyerangan itu mengakibatkan kaca jendela kantor POM hancur dan papan nama kantor pecah.

Berdasarkan hasil investigasi, pe nyerangan dipicu percobaan penikaman oknum TNI terhadap salah satu anggota polisi sehingga sejumlah polisi marah dan mendatangi kantor tersebut.

Mengakhiri Banyak kalangan menyayangkan kekerasan antaraparat penegak hukum. Berbagai spekulasi pun bermunculan. Ada yang berpendapat bahwa bentrokan disebabkan kesenjangan kewenangan sampai menyentuh kesenjangan kesejahteraan.

Isu adanya ego sektoral kedua instansi tersebut pun muncul sehingga turut memengaruhi hubungan mereka. Meskipun hal tersebut ditepis para pemimpin TNI maupun Polri, alangkah baiknya pemangku kebijakan terkait mengevaluasi kembali peraturan maupun perundang-undangan yang mengatur kewenangan TNI dan Polri.

Evaluasi juga perlu dilakukan menyangkut koordinasi dua arah antara instansi TNI dan Polri guna menghindari miskomunikasi yang dapat berbuntut konfl ik kekerasan. Meski demikian, tidak dapat dinafi kan bahwa sebagian besar kekerasan yang melibatkan TNI dan Polri dilatarbelakangi persoalan kemarahan dan dendam pribadi yang dalam perkembangannya meluas melibatkan kesatuan.

Dengan alasan solidaritas, kekerasan tidak dapat dihindari. Di sisi lain, munculnya kekerasan mengindikasikan adanya tanda-tanda ketidakdisiplinan oknum aparat penegak hukum sehingga mereka yang semestinya mampu menegakkan hukum malah mengabaikan dan menggunakan kekerasan untuk menyelesaikan permasalahan.

Dengan demikian, para pimpinan TNI maupun Polri perlu meningkatkan kembali pengawasan terhadap bawahan. Setiap kesatuan tentunya memiliki mekanisme baku dalam menerapkan peningkatan disiplin anggota.

Sebagai counter balance, aksi damai kemudian dilakukan salah seorang anggota Detasemen Polisi Militer 4/ IV Surakarta, Kopral Kepala Partika Subagyo, terhadap anggota polisi yang sedang bertugas. Setelah bersalaman, mereka bergendongan secara bergantian.

Aksi yang diekspos media tersebut menunjukkan secara simbolis bahwa hubungan TNI dan Polri baik-baik saja, khususnya di wilayah Solo. Hal serupa disampaikan Komandan Brigade Infanteri 13 Galuh Tasikmalaya, Kolonel Inf Farid Makruf, yang menjamin tidak akan terjadi kisruh TNI dan Polri di wilayahnya. D

engan menjalin komunikasi secara kontinu, baik secara personal maupun kelembagaan, solidaritas keduanya menjadi akan terbangun. Iktikad baik itu pun harus datang tidak hanya dari inisiatif pribadi aparat penegak hukum, namun juga dorongan secara kelembagaan dari pimpinan masing-masing kesatuan.

Memang aparat juga manusia biasa, bisa marah, dendam, dan tersinggung sehingga dapat bertindak kekerasan. Namun, patut digarisbawahi bahwa mereka aparat bersenjata sehingga punya kewenangan untuk mengangkat senjata guna melawan atau menyerang musuh.

Kewenangan dan keahlian yang melekat pada seorang perwira TNI maupun Polri menjadi berisiko jika disalahgunakan ketika permasalahan pribadi yang dihadapi kemudian diselesaikan dengan mengerahkan kelompok dari kesatuan. Hukum harus benar-benar ditegakkan, dilaksanakan, dan diterapkan penyelidik kekerasan oknum aparat.

Setelah melalui proses hukum yang berkeadilan, sanksi yang diberikan terhadap oknum tersebut harus menimbulkan efek jera tanpa memandang seragam. Kehadiran tim investigasi mengindikasikan perlunya ada kelompok netral yang dapat mengusut kekerasan oknum aparat TNI maupun Polri secara tuntas.

Dengan demikian, keluarga dan kerabat korban tindak kekerasan yang dilakukan oknum aparat penegak hukum dapat merasakan bahwa keadilan masih ada. Di sisi lain, serangkaian upaya itu dilakukan untuk mengembalikan citra TNI maupun Polri sebagai garda terdepan penjaga keamanan dan pertahanan negara. Mereka harus menjunjung tinggi hukum, bukan kekerasan. (Sumber: Koran-Jakarta.Com, 2 April 2013)

Tentang penulis:
Inggrid Galuh M, peneliti SNPK-The Habibie Center, alumni Hubungan Internasional Universitas Islam Antarbangsa Malaysia



ISSN 1979-9373
ISSN GagasanHukum.WordPress.Com

ARSIP

STATISTIK PENGUNJUNG

  • 2.678.236 hits
April 2013
S S R K J S M
1234567
891011121314
15161718192021
22232425262728
2930