Arsip untuk Mei, 2013

Revitalisasi Gerakan Hemat Energi

Oleh Posman Sibuea

Segala fasilitas berupa uang transpor, pulsa, listrik, dan berbagai biaya lainnya juga dikurangi hingga 50 persen. Jika ini bisa diwujudkan secara baik, gerakan hemat energi bukan sekadar isapan jempol.

Rencana pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi masih menuai pro dan kontra. Persoalan harga BBM terkait dengan berbagai aspek kehidupan sehingga sulit mencari solusinya. BBM sebagai sumber energi utama tidak hanya untuk transportasi, tetapi juga sektor industri.

Desakan masyarakat untuk tidak menaikkan harga BBM bersubsidi di tengah tekanan harga berbagai kebutuhan hidup yang kian mahal menjadi pil pahit bagi penyelenggara negara. Jika harga BBM dinaikkan, akan mendongkrak biaya transportasi.

Berbagai barang kebutuhan semakin mahal. Angka inflasi pun kian naik. Fenomena ini pada gilirannya akan menggiring jutaan penduduk Indonesia yang semula berada di sekitar garis kemiskinan menjadi miskin, dan yang berada di bawah garis kemiskinan menjadi tak bisa apa-apa (the depth of poverty). Maka, pemerintah patut merevitalisai gerakan hemat “energi” BBM bersubsidi sebab jika dilakukan dengan serius, dapat menyelamatkan ekonomi nasional dan keluar dari pusaran krisis berkepanjangan.

Proses Pemiskinan

Penduduk miskin di Indonesia saat ini sekitar 27 juta jiwa atau 11 persen dari total penduduk (BPS, 2012). Jika harga BBM dinaikkan sebagai konsekuensi logis penyelamatan postur APBN 2013, jumlah kemiskinan akan bertambah secara berarti. Proses pemiskinan akan dialami puluhan juta rumah tangga, dan mereka akan semakin sulit menyediakan rupiah untuk membiayai hidup setiap hari, mulai dari kebutuhan sembako, dana pendidikan, hingga kesehatan.

Secara kuantitatif, dari hasil simulasi, tambahan orang miskin baru bisa mencapai dua kali lipat dari sebelumnya jika harga BBM dinaikkan, pertambahan pengangguran terbuka bisa mencapai 20 juta jiwa, dan penaikan harga barang bisa mencapai 30 persen. Tanpa kompensasi bantuan tunai langsung (BLT), jumlah orang miskin bertambah.

Ketiga kenyataan itu adalah indikator makro yang menunjukkan betapa dahsyatnya implikasi penaikan harga BBM terhadap ekonomi masyarakat jika tanpa diimbangi dengan penambahan anggaran penanggulangan kemiskinan. Akar masalah masih besarnya subsidi BBM sebenarnya adalah rendahnya daya beli sebagian besar masyarakat karena mereka hidup dalam lingkaran kemiskinan.

Sudah menjadi rahasia umum jika subsidi BBM adalah kebijakan keliru. Masalahnya, bagaimana bisa memberlakukan harga BBM yang tak lagi disubsidi, tetapi tetap bisa memberi subsidi (dalam bentuk jaminan sosial atau pemberdayaan ekonomi padat karya dan berkelanjutan) kepada masyarakat yang benar-benar membutuhkan.

Jika harga BBM tidak dinaikkan dalam waktu dekat, pemerintah harus menutup besaran subsidi dari pos lain. Opsinya menghemat dan efisiensi anggaran pada semua kegiatan. Namun, kebijakan penghematan anggaran dapat berdampak kontraproduktif pada perekonomian. Sejatinya, fungsi belanja pemerintah untuk menstimulus perekonomian nasional.

Untuk mencegah membengkaknya subsidi energi sekaligus menyelamatkan APBN, pemerintah harus membatasi sekaligus mengawasi ketat konsumsi BBM bersubsidi dan listrik. Premium harus dihemat dengan mekanisme yang bisa diandalkan sehingga penggunaan BBM bersubsidi berhasil guna.

Gerakan hemat energi akan bermakna manakala diimbangi dengan empati dan kepedulian dari seluruh pejabat di berbagai kementerian. Jadi, jangan hanya masyarakat yang diminta mengerti kesulitan pemerintah. Sebaliknya, pemerintah juga harus mengerti keinginan masyarakat. Bila perlu, sebelum memutuskan kebijakan ini, para pejabat sudah harus mengumumkan bahwa mereka pun sudah menghemat BBM.

Penyelamat

Revitalisasi gerakan hemat energi bisa jadi penyelamat anggaran negara agar tidak jebol karena menahan beban subsidi BBM yang kelewat besar. Meminta masyarakat untuk berhemat adalah tindakan yang baik dan bijaksana. Namun, lebih bijaksana kalau para pemimpinnya memberi contoh untuk berhemat mulai dari hal-hal kecil. Tanpa teladan, mustahil ajakan gerakan hemat energi berhasil. Mengubah kebiasaan masyarakat pengguna energi dalam waktu singkat sama sulitnya dengan mengubah kebiasaan para pejabat dalam kasus yang sama.

Pemerintah seharusnya tak perlu mengajak rakyat (wong cilik) untuk berhemat. Apalagi dengan kondisi saat ini, ketika harga-harga kebutuhan pokok melangit akibat isu penaikan harga BBM. Masyarakat miskin di kota dan desa sudah terbiasa hidup hemat karena tidak memiliki daya beli. Mengajari rakyat yang kurang beruntung secara ekonomi untuk berhemat sama dengan mengajari ikan berenang.

Urusan berhemat sebenarnya menjadi tugas utama para pengelola negara, baik di tingkat pusat maupun daerah. Para pejabat eksekutif dan legislatif harus berperan sebagai mesin pemutar roda hemat energi. Belanja kebutuhan kementerian yang kurang penting bisa ditunda atau dipangkas. Anggaran yang tidak memiliki relevansi terhadap kesejahteraan, seperti biaya perjalanan dinas ke luar negeri, harus dinolkan.

Para pejabat daerah harus berani mengevaluasi pos-pos anggaran yang tidak berdampak pada kebaikan kehidupan warga. Kebiasaan lama yang harus menghabiskan anggaran di akhir tahun untuk sejumlah kegiatan yang dibuat-buat harus ditiadakan. Pengadaan barang dan fasilitas para pejabat serta kantor yang tidak tepat sasaran harus dihilangkan.

Para menteri tidak boleh berteriak dan marah jika anggarannya harus disunat demi penghematan APBN. Kalau ingin rakyat dari kalangan ekonomi menengah ke atas legawa memangkas konsumsi energi, para pemimpin juga harus lebih dulu dipotong. Contoh bukan semata mengurangi jumlah kendaraan dinas yang dipakai, tetapi kapasitas mesin yang digunakan tidak melebihi 1.500 cc.

Bangsa ini sangat merindukan teladan pejabat yang mau hidup sederhana dan berempati pada kondisi rakyat. Untuk itulah, jika pemerintah atau Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengajak berhemat, harus ditunjukkan dengan bentuk-bentuk teladan yang bisa dicontoh. Selama ini, yang dipertontonkan kepada rakyat malah gaya hedonis para pejabat eksekutif maupun legislatif.

Mereka acap menghambur-hamburkan uang rakyat hanya untuk menambah fasilitas para pejabat pusat dan daerah. Belum lagi sejumlah penyimpangan dalam pengelolaan keuangan negara. Kasus-kasus korupsi yang begitu besar telah menjadi kebiasaan para pejabat publik dan elite politik.

Di tengah berbagai perilaku buruk sebagian besar para elite politik, dapatkah ajakan berhemat memiliki makna untuk menyelamatkan postur APBN agar tidak defisit tanpa membebani rakyat kecil? Untuk itu, Presiden patut mengeluarkan instruksi penting untuk mendukung gerakan hemat energi. Tunjangan jabatan menteri, kepala daerah, anggota DPR/DPRD, dan pejabat esolon I dan II dipotong 50 persen.

Segala fasilitas berupa uang transpor, pulsa, listrik, dan berbagai biaya lainnya juga dikurangi hingga 50 persen. Jika ini bisa diwujudkan secara baik, gerakan hemat energi bukan sekadar isapan jempol.

Opsi kenaikan harga BBM bersubsidi patut dikaji ulang secara serius meski ditindaklanjuti dengan pemberian BLT untuk mengurangi beban rakyat. Selama ini, program BLT setelah kenaikan harga BBM selalu gagal karena lebih sarat unsur politiknya. Seharusnya pemerintah tidak lagi memanfaatkan warga miskin untuk mengangkat citranya menjelang pilpres. Mereka adalah kelompok yang harus diberdayakan agar bisa mandiri secara ekonomi, bukan dibeli setiap lima tahun sekali atas nama penyelamatan APBN. (Sumber: Koran Jakarta.Com, 28 Mei 2013)

Tentang penulis:
Prof Posman Sibuea, Guru Besar Tetap Universitas Katolik Santo Thomas, Sumatra Utara



ISSN 1979-9373
ISSN GagasanHukum.WordPress.Com

ARSIP

KLIK TERTINGGI

  • Tidak ada

STATISTIK PENGUNJUNG

  • 2.679.367 hits
Mei 2013
S S R K J S M
 12345
6789101112
13141516171819
20212223242526
2728293031