Posts Tagged 'Achmad Fauzi'

Tantangan Mahkamah Agung

Oleh Achmad Fauzi

Sosok hakim agung Artidjo Alkostar tampil seperti algojo bagi koruptor. Vonis yang dijatuhkan sangat berat dan membuat koruptor ketar-ketir.

Ketakutan koruptor tersebut tecermin dari banyaknya pencabutan permohonan kasasi karena mengetahui Artidjo sebagai hakim.

Di tengah kecaman publik atas mafia peradilan, Artidjo tentu dianggap berhasil membangun persepsi positif masyarakat terhadap Mahkamah Agung (MA).

Spiritnya dalam memerangi korupsi menjadi kiblat hakim Tipikor dan menjadi oase di tengah kepungan penjahat berdasi.

Namun, akankah semangat antikorupsi tersebut terus menyala sedangkan lembaga peradilan sendiri masih berlumur bercak suap?

Itulah pertanyaan sekaligus tantangan utama Hatta Ali di masa-masa mendatang setelah Selasa (14/2) kembali terpilih sebagai ketua MA. Tidak mudah membenahi integritas para pengadil.

Baharuddin Lopa dalam buku “Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum” (2001) menegaskan dalam seni kepemimpinan suatu perbuatan jauh memiliki dampak determinan bagi bawahan daripada sekadar buih ribuan kata.

Sebab, perjuangan terberat seorang pemimpin adalah melaksanakan kata-kata (keteladanan). Jamak terjadi laku seorang pemimpin tidak senapas perkataan dan perbuatan.

Korupsi yang justru banyak terjadi di lingkungan penegak hukum, menurut Lopa, karena lemahnya kepemimpinan. Sikap permisif terhadap segala bentuk kemungkaran dan defisit keteladanan sangat menyuburkan praktik dagang hukum.

Bahkan, penegak hukum yang tidak bermoral, meskipun memadai secara keilmuan, mustahil termotivasi memperbaiki sistem karena manajemen buruk menguntungkan niat menyelewengkan kekuasaan.

Saat ini, tidak hanya warga peradilan yang menaruh asa perubahan di pundak Hatta Ali, publik pun turut menagih terwujudnya peradilan unggul melalui putusan-putusan bermartabat dan bebas dari dagang perkara.

Karena itu, perlu garansi moral agar hukum tak melahirkan kecurangan. Para pengadil harus dipastikan telah selesai dengan dirinya, dunianya sehingga hanya fokus memberikan rasa keadilan kepada masyarakat.

Masalahnya, di lembaga peradilan acap dijumpai praktik dagang perkara. Moral kehilangan jangkarnya. Hantu-hantu mafia bergentayangan. Nurani keadilan padam. Vonis hakim nakal ditakar sesuai tebal-tipisnya fulus.

Kabar hakim yang melacurkan diri dalam praktik dagang perkara bukan isapan jempol. Berdasarkan data Badan Pengawasan MA hingga Desember 2016 ada sekitar 150 aparatur peradilan di lingkungan MA dan peradilan di bawahnya yang dijatuhi sanksi.

Hakim tipikor, misalnya, tak dimungkiri masih ada yang terjerembap ke lubang suap. Kartini Juliana Magdalena Marpaung, Heru Kisbandono, dan Ramlan Comel adalah contoh utamanya.

Akibat ulah mereka, legitimasi pengadilan tipikor kerap dipertanyakan dan negara rugi dua kali. Masih ditemukannya hakim tipikor yang terlibat skandal suap tentu membuat bangsa sedih.

Rugikan

Kecenderungan vonis ringan oleh hakim nakal tersebut tentu merugikan negara karena tidak seimbang dengan ongkos sosial yang harus dibayar akibat korupsi.

Riset P2EB FEB UGM terhadap putusan MA dari tahun 2001–2012 disimpulkan nilai biaya eksplisit korupsi hingga 2012 sebesar 168 triliun rupiah.

Namun, nilai total hukuman finansial (denda, uang pengganti, perampasan aset moneter) “hanya” 15 triliun rupiah. Jadi, ada selisih kerugian 153 triliun yang harus ditanggung rakyat melalui pajak.

Maka, untuk memberi garansi moral kepada masyarakat dan mencegah kerugian negara berkelanjutan, proses rekrutmen hakim harus diperbaiki.

MA sebagai satu-satunya lembaga yang memiliki kewenangan penuh merekrut hakim tingkat pertama harus mendesain pola perekrutan lebih transparan, akuntabel, dan melibatkan pihak-pihak lain dalam menelusuri latarbelakang rekam jejak calon.

Tahun ini, misalnya, MA bakal merekrut sekitar 1.864 hakim. Hal ini untuk menutupi kekurangan hakim yang sejak tahun 2011 tak pernah ada rekrutmen.

Inilah momentum tepat MA untuk memutus sel-sel jaringan hakim nakal dengan regenerasi. Perguruan tinggi terkemuka hendaknya diajak kerja sama agar lulusan terbaiknya memiliki kebanggaan menjadi hakim.

Pola rekrutmen yang baik menjadi cara jitu mengadang masuknya gerombolan calon hakim yang kelak bakal menghancurkan martabat lembaga peradilan.

Diperlukan sosok sekaliber Artidjo yang tegas, bijaksana, antikorupsi, dan tak pernah kompromi selain untuk penegakan hukum.

Jabatan hakim gampang diraih, asalkan memiliki pengetahuan memadai, indeks prestasi akademik terpenuhi, menyodorkan surat keterangan berkelakuan baik dan mampu menjawab soal-soal ujian, dipastikan lulus. Tetapi, menjadi hakim dalam makna hakiki tidak gampang.

Seorang hakim harus mampu menginternalisasikan sifat-sifat terpuji dan mengasah kepekaan nurani lalu menuangkannya dalam putusan.

Garansi moral juga bisa diciptakan secara top down melalui pembinaan simultan dan pengawasan berjenjang. MA dan KY serta elemen masyarakat harus bergandengan tangan mengawal etika hakim. Hakim yang terbukti melanggar kode etik wajib dijatuhi sanksi dan jangan dilidungi.

Begitu pula jabatan strategis hendaknya diisi orang-orang bereputasi dan rekam jejak baik. Semua bisa dilakukan bila transparansi dan akuntabilitas promosi dan mutasi bebas nepotisme.

Gerakan bottom up dari para hakim di daerah tak kalah penting untuk dirawat agar pembawa obor perubahan tidak tunggal.

Tentu masih banyak hakim yang punya integritas tinggi dan siap menyalakan obor perubahan menuju lembaga peradilan agung yang bekerja sepenuh hati untuk terwujudnya peradilan bersih.

Pada era digital daya kutukan terhadap kemungkaran melalui media sosial tak lagi dianggap remeh. Kita punya pengalaman sejarah yang baik ketika kewenangan KPK hendak dibonsai dan anggarannya bakal dipangkas DPR.

Mereka ramai-ramai mendukung lembaga antikorupsi “Save KPK.” Berkat tekanan ruang ekstraparlementer tersebut siasat politik Senayan untuk mengebiri KPK urung.

Kini, dalam konteks pembaruan peradilan arus desakan “Save MA” juga mengemuka dalam dimensi berbeda. Segenap hakim dan aparat peradilan merasa terpanggil untuk menyelamatkan MA.

Gerakan tersebut berbondong-bondong masuk dalam suatu forum media sosail. Mereka menyuarakan nilai-nilai keutamaan dalam profesi.

Inilah yang oleh Emile Durkheim dimaknai sebagai kesadaran kolektif. Perasaan senasib sepenanggungan warga peradilan menyatu dalam labirin keinsyafan bersama.

Inilah gerakan yang harus disambut MA sebagai platform untuk membangun peradilan bersih. ( Sumber: Koran Jakarta, 22 Februari 2017)

 

Tentang penulis:

Achmad Fauzi Penulis Hakim Pengadilan Agama Tarakan, Kalimantan Utara



ISSN 1979-9373
ISSN GagasanHukum.WordPress.Com

ARSIP

STATISTIK PENGUNJUNG

  • 2.678.308 hits
Mei 2024
S S R K J S M
 12345
6789101112
13141516171819
20212223242526
2728293031