Arsip untuk Juli 10th, 2014

Aura Pilpres di Washington DC dan Arti Penting Menghitamkan Jari

Oleh Shohib Masykur

Terik matahari terasa menyengat di langit Washington DC, Amerika Serikat, pada siang hari tanggal 5 Juli. Hari itu, pemilihan presiden Indonesia di luar negeri digelar hampir serentak di seluruh dunia, tak terkecuali Amerika. Ratusan orang mendatangi tempat pencoblosan di Wisma Indonesia yang merupakan kediaman Duta Besar Republik Indonesia untuk Amerika Serikat.

Puasa dan hawa panas tidak menyurutkan semangat orang untuk menggunakan hak suaranya dengan mendatangi tempat pemungutan suara (TPS). Setidaknya, itulah yang saya rasakan bersama ratusan orang lainnya yang hari itu mendatangi Wisma Indonesia untuk menggunakan hak pilihnya.

Dari tempat tinggal saya di kawasan Takoma, saya harus berjalan kaki sekitar 30 menit ditambah perjalanan kereta setengah jam untuk sampai ke sana. Bagi orang seperti saya yang jarang berjalan kaki jauh selama tinggal di Jakarta, perjalanan itu tidak bisa dianggap sangat menyenangkan. Apalagi di tengah terik matahari dan dalam keadaan berpuasa. Meski pemandangan di sepanjang jalan cukup mendatangkan rasa gembira, tapi tetap saja panas dan pegal lebih terasa.

Terus terang, saya tidak bisa membayangkan melakukan hal itu di pemilihan presiden sebelum-sebelumnya. Selama ini saya selalu beranggapan bahwa memilih atau tidak memilih adalah hak yang sama-sama sahihnya. Dalam pemilu-pemilu sebelumnya, saya selalu melakukan yang kedua, meskipun sebenarnya secara teknis tidak sulit bagi saya untuk melakukan yang pertama.

Namun kali ini saya merasakan nuansa berbeda. Saya merasa hak pilih saya benar-benar harus digunakan. Jarak dan perjalanan tidak boleh menjadi penghalang. Semua itu, tentu saja, demi Indonesia yang lebih baik. Karenanya, saya memaksa diri saya melawan rasa malas dan panas demi mendatangi TPS.

Namun apa yang saya lakukan belum seberapa jika dibandingkan dengan Henry, salah seorang pemilih yang tinggal di Charlottesville, Virginia. Mahasiswa Indonesia yang baru saja menamatkan studi Masters di Virginia Law School ini harus menempuh perjalanan tiga jam dengan bus dari tempat tinggalnya demi ‘menghitamkan jari dengan tinta.’

Bagi Henry, perjalanan tiga jam itu tidak berarti apa-apa jika dibandingkan dengan hilangnya kesempatan menggunakan hak suara.

“Saya tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan untuk memperbaiki Indonesia. Saya percaya, pilihan yang kita buat pada pilpres kali ini akan sangat menentukan nasib Indonesia ke depan,” ujar Henry yang saya jumpai di perjalanan menuju Wisma Indonesia.

Dari cara Henry bicara, saya bisa menangkap keseriusan. Lagi pula, perjalanan tiga jam untuk memilih hanya dilakukan oleh orang yang benar-benar serius bukan? Saya lantas bertanya padanya, mengapa tidak memilih lewat pos? Saya dengar di luar negeri pemilihan bisa dilakukan lewat jasa pengiriman. Pemilih akan dikirimi surat suara dalam amplop tertutup disertai perangko untuk mengembalikannya ke panitia. Jawaban Henry membuat saya manggut-manggut.

“Kalau pakai pos kurang terasa suasana pemilunya. Ada hal-hal yang tidak bisa saya dapatkan kalau memilih lewat pos, misalnya bertemu dengan orang-orang sesama warga Indonesia yang juga menginginkan perubahan untuk negeri kita. Selain itu, saya juga ingin menghitamkan jari saya dengan tinta,” kata Henry seraya tersenyum.

Kami tiba di Wisma Indonesia selepas tengah hari. Suasana di sana cukup ramai oleh warga yang hendak memilih, meski tidak sampai timbul antrean panjang seperti yang saya saksikan di foto-foto pemilihan di negara lain yang di-share oleh teman-teman di media sosial. Saya disambut oleh seorang petugas yang mengecek kartu identitas saya untuk memastikan bahwa saya memang warga negara Indonesia. Syukurlah sejauh ini saya belum berganti kewarganegaraan, dan paspor saya sudah lebih dari cukup untuk menjadi bukti.

Setelah pengecekan identitas, saya diberi selembar formulir dan diarahkan untuk menunggu di kursi yang telah disiapkan. Tidak sampai satu menit, nama saya dipanggil. Saya diberi selembar surat suara yang terlipat rapi dan dipersilahkan untuk masuk ke bilik. Jantung saya agak berdebar oleh antusiasme. Bagaimanapun, itu adalah pemilu pertama saya, dan saya melakukannya justru di luar negeri. Di tangan saya tergenggam selembar kertas dengan foto empat pria yang semuanya menebar senyum. Di atas mereka terdapat dua angka: 1 dan 2. Memandangi wajah mereka, entah kenapa saya jadi ingin ikut tersenyum.

Mendadak, saya merasa menjadi orang penting. Keputusan saya saat itu, yang saya jalankan di dalam sebuah bilik berukuran tak lebih lebar dari dua meter persegi, akan turut menentukan nasib 240 juta orang yang mendiami wilayah seluas dua juta kilo meter persegi. Pelan-pelan saya ambil alat pelobang yang sudah disiapkan. Lalu, tanpa ragu, dengan iktikad memajukan Indonesia tercinta, saya arahkan alat pelobang itu ke nomor… (ahh biarlah hanya Tuhan dan saya yang tahu). (Sumber: detikNews.Com, 06 Juli 2014)

Tentang penulis:
Shohib Masykur, pengamat



ISSN 1979-9373
ISSN GagasanHukum.WordPress.Com

ARSIP

KLIK TERTINGGI

  • Tidak ada

STATISTIK PENGUNJUNG

  • 2.679.367 hits
Juli 2014
S S R K J S M
 123456
78910111213
14151617181920
21222324252627
28293031