Petani Tembakau sebagai “The Oppressed”

Oleh M Sobari

Ketika di tingkat internasional perdagangan keretek dipersoalkan dan kemudian ada tekanan— atau bujukan menggiurkan— pada tingkat nasional agar keretek juga dipersoalkan,maka apa alasan dasarnya yang dianggap sah,dengan keabsahan yang paling kuat dan karena itu bisa diterima dengan baik oleh segenap pihak?

Alasan kesehatan masyarakat, alasan ekonomi, dan kemudian alasan keagamaan, tentang halal-haram. Inilah puncaknya dan di masyarakat berpenduduk muslim terbesar ini, alasan halal-haram dianggap dan diharapkan menjadi kekuatan pemungkas untuk membungkam bisnis keretek yang di Amerika sana mengalahkan telak perdagangan rokok putih. Alasan demi alasan—juga yang bersumber pada agama— tak begitu manjur.

Ketika Bloomberg Initiative mengumumkan lewat website tentang gerakan bertawaf dunia untuk “membungkam” bisnis keretek, di sana diumumkan berapa besar dana yang telah dikeluarkan untuk mendukung langkah bisnis global yang memakai tedeng alingaling dan berpura-pura berbicara tentang kesehatan manusia dan masyarakat pada tingkat dunia. Demikian manusiawi, demikian “care” dan meyakinkan langkah ini sehingga dunia pun guncang. Sangat banyak pihak tergopohgopoh untuk ikut menyingsingkan lengan baju.Kita maklum, ini bukan sekadar kerja bakti. Maka, di negeri kita, para pejuang yang menyebut diri mereka “gagah berani”, sebagaimana tampak pada saat mereka berdiskusi untuk saling memberi stimulasi,mulai mendesak. Ada suasana “dengki” pada keretek lebih dari masamasa sebelumnya.

Teriakan mereka: tak ada warisan budaya segala.Warisan apa? Tak ada tradisi-tradisian. Banyak tradisi yang mati,jadi tak perlu risau. Tunggu dulu. Mati dan “dimatikan” atau “direncanakan untuk dimatikan” itu beda. Suatu tradisi penting mati, itu lumrah. Biar saja kalau memang mati. Usahakan menghidupkannya kembali kalau hal itu mungkin.Tapi kalau “dimatikan”, pemiliknya jelas tidak rela. Lebih-lebih lagi teriakan penuh permusuhan untuk dengan bersemangat “memuseumkan” keretek. Selain langkah-langkah strategis yang disumbangkan para ilmuwan yang terlibat dalam penelitian ini dan itu,para aktivis, para profesional di bidang medis,muncul lagi langkah birokrasi yang lebih fandalistis.

Tapi patut dicatat: langkah itu “disokong” dari pihak luar sana atau “ditekan” dengan target capaian yang ditentukan. Maka para politikus pun membantu dengan dukungan perundang-undangan,bekerja sama dengan pemerintah.Kemudian pemerintah—juga pemerintah daerah—menyusun perda-perda yang mematikan. Perumusan perda sifatnya bukan hanya tidak transparan dan tidak akuntabel secara sosial, melainkan juga sudah jelas sangat sengaja mematikan bisnis keretek. Aturan sangat mematikan diberlakukan,tapi bisnis itu tetap hidup.

Mereka tidak melawan, tapi tetap survive.Bahkan ketika senjata pemusnah diterapkan, yaitu memberi beban cukai seberat-beratnya, bisnis itu masih tetap tak tergoyahkan. Semua itu menjadi ancaman mengerikan bagi petani tembakau.Bila pabrik keretek bisa dianggap “sumber api”kehidupan petani, maka ketika “sumber api” itu dimatikan, tak usah banyak cingcong, semua orang yang berpikir tahu, petani tembakau pun dengan sendirinya ikut koit. Tapi seorang aktivis muda yang sangat dedikatif pada program itu berteriak: saya akan berada di garis depan membela petani jika seluruh langkah pengaturan dampak produk tembakau itu bermaksud membunuh petani tembakau.

Hei, ada yang percaya pada suara yang tak disertai ketulusan politik macam itu? Tidak ada. Dia mungkin mau menutupi sikap para politikus dan birokrat kita yang tak memiliki empati kerakyatan sama sekali. Dia ingin mengesankan memihak petani tembakau ketika tampak dan sangat terasa bahwa kebijakan pemerintah di bidang itu tak memperlihatkan semangat perlindungan pada petani tembakau. Pendeknya, ingin tampil “heroik” supaya makna aktivis itu terasa bedanya dari para birokrat dan para politikus. Tapi orang yang sama juga berteriak: naikkan terus ke tingkat maksimal beban cukai itu.Arahnya?

Kalau bebannya sangat berat, biarlah industri keretek mati dengan sendirinya. Dengan begitu mereka tak kentara bahwa mereka terlibat dalam pembunuhan.Tapi siapa yang tak tahu akal culas ini? Adakah pabrik tak merasakannya? Jangankan pabrik, petani pun tahu arti politik dari pernyataan itu. Dan perlu dicatat, orang yang berteriak paling keras ini harus bertanggung jawab atas matinya industri rumah tangga demi industri rumah tangga di bidang keretek yang gugur dalam jihad melawan kezaliman.

Banyak industri rumah tangga yang telah menjadi syuhada karena langkah ini. Apa sikap dan tanggung jawab aktivis muda itu pada kenyataan ini? Dia akan mengatakan bahwa hal itu tak dimaksudkan begitu, sama seperti dia mengatakan bahwa langkah ini semua tak dimaksudkan untuk membunuh petani tembakau? Kalau ya,kenapa ada langkah dari Kementerain Pertanian agar petani tembakau beralih ke tanaman lain? Dia akan menjawab bahwa dirinya tak tahumenahu? Dan mengapa Gubernur Jawa Tengah sudah dengan tegas memojokkan tembakau, dengan program yang menekankan barang siapa sudah beralih dari tanaman tembakau ke tanaman lain akan disubsidi?

Apakah dia juga akan menjawab bahwa dia tak tahu akan adanya kebijakan daerah ini? Semua kebijakan ini—sekali lagi dibantu dengan sikap all out oleh sebagian golongan intelektual kita—arahnya buat mematikan budi daya tanaman tembakau. Dengan kata lain,targetnya jelas: langkah demi langkah kebijakan itu ditujukan untuk membuat petani tembakau sebagai golongan tertindas di dalam negerinya sendiri. Para petani tembakau dibikin menjadi the oppressed, kelompok tertindas, di tengah para sahabatnya sendiri, di dalam masyarakatnya sendiri, yang dulu begitu ramah dan bersahabat.

Dan diamkah mereka semua? Tidak.Mereka bangkit dan siap mempertahankan diri di dalam garis “tempur” yang dibentangkan para penguasa, atas dukungan banyak pihak tadi, demi menuruti tekanan kepentingan asing.Tentu saja mereka boleh membuat aturan. Tapi petani tembakau meminta, buatlah aturan yang enak bagi semua kalangan, dengan ketulusan langkah kebijakan yang secara sosial dan politik akuntabel.

Aturan hendaknya memihak rakyat, juga petani tembakau, dan bukan membuat petani tembakau merasa tersingkir serta terlunta- lunta sebagai the oppressed di kampung halaman sendiri. (Sumber: Seputar Indonesia, 14 Mei 2012).

Tentang penulis:
M Sobari, Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan. Email: dandanggula@hotmail.comThis e-mail address is being protected from spam bots, you need JavaScript enabled to view it.



ISSN 1979-9373
ISSN GagasanHukum.WordPress.Com

ARSIP

KLIK TERTINGGI

  • Tidak ada

STATISTIK PENGUNJUNG

  • 2.676.691 hits
Mei 2012
S S R K J S M
 123456
78910111213
14151617181920
21222324252627
28293031