Meningkatkan Kesadaran Hukum Masyarakat (Bagian II)

Oleh Busyra Azheri

Pengantar redaksi:
Artikel ini dimuat bersambung. Bagian I, edisi Kamis 29 Maret 2012. Bagian II, edisi Kamis 5 April 2012. Bagian III, edisi Kamis 12 April 2012. Bagian IV, edisi Kamis 19 April 2012.

Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa timbulnya hukum itu pada hakekatnya karena terjadi bentrok atau konfik antara kepentingan manusia (conflict of human interest). Dalam melindungi kepentingannya masing-masing, manusia di dalam masyarakat harus mengingat, memperhitungkan, menjaga dan menghormati kepentingan orang lain, jangan sampai terjadi pertentangan atau konflik yang saling merugikan. Tidak boleh kiranya dalam melindungi kepentingannya dan dalam melaksanakan haknya, manusia berbuat semaunya saja, sehingga merugikan kepentingan manusia lain (eigenrichtig). Dengan demikian, kesadaran hukum berarti kesadaran tentang apa yang seyogyanya kita lakukan, atau yang seyogyanya tidak boleh dilakukan. Dengan arti kata, dalam kesadaran hukum mengandung adanya kewajiban hukum dari masing-masing pihak terhadap orang lain.

Dari pengertian kesadaran hukum tersebut, secara implisit mengandung sikap “tepo sliro” atau toleransi. Tepo sliro mengandung makan bahwa seseorang harus mengingat, memperhatikan, memperitungkan dan menghormati kepentingan orang lain dan terutama tidak merugikan orang lain. Penyalahgunaan hak atau abus de droit, seperti mengendarai sepeda motor milik sendiri yang diperlengkapi dengan knalpot yang mengeluarkan bunyi yang keras, sehingga memekakan telinga. Perbuatan seperti ini jelas bertentangan dengan sikap tepo sliro. Dengan demikian, kalau saya tidak mau diperlakukan sesukanya oleh orang lain, maka saya tidak boleh memperlakukan orang lain sesuka saya, sekalipun saya sepenuhnya melaksanakan hak saya.

Berpijak dari konsep tepo sliro, semakin jelas bahwa kesadaran akan kewajiban hukum tidak semata-mata berhubungan dengan kewajiban hukum terhadap ketentuan undang-undang saja, tetapi juga kepada hukum yang tidak tertulis. Bahkan kesadaran akan kewajiban hukum ini sering timbul dari kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa yang nyata. Kalau suatu peristtiwa terjadi secara terulang dengan teratur atau ajeg, maka lama-lama akan timbul pandangan atau anggapan bahwa memang demikianlah seharusnya atau seyogyanya. Hal ini akan menimbulkan pandangan atau kesadaran bahwa demikianlah hukumnya atau hal itu merupakan kewajiban hukum. Suatu peristiwa yang terjadi berturut-turut secara ajeg dan oleh karena itu lalu biasa dilakuan dan disebut kebiasaan, lama-lama akan mempunyai kekuatan mengikat (die normatieve Kraft des Faktischen). Akan tetapi kesadaran akan kewajiban hukum tidak perlu menunggu sampai terjadinya suatu peristiwa secara berulang. Suatu peristiwa cukup terjadi sekali saja untuk dapat memperoleh kekuatan mengikat, sepanjang peristiwa itu cukup untuk menumbuhkan kesadaran bahwa peristiwa atau perbuatan itu seyogyanya terjadi atau dilakukan.

Pada hakekatnya kesadaran hukum masyarakat tidak lain merupakan pandangan-pandangan yang hidup dalam masyarakat tentang apa hukum itu. Pandangan yang hidup di dalam masyarakat bukanlah semata-mata hanya merupakan produk pertimbangan menurut akal saja, akan tetapi berkembang di bawah pengaruh beberapa faktor seperti agama, ekonomi, poliitik dan sebagainya. Sebagai pandangan hidup di dalam masyarakat, maka tidak bersifat perorangan atau subjektif, akan tetapi merupakan resultante dari kesadaran hukum yang bersifat subyektif, dalam makna merupakan suatu komitmen.

Suatu komitmen sangat berkaitan dengan kesadaran seseorang untuk membuat pilihan atau putusan, manakah dari sekian banyak obyek kepentingan yang hendak didahulukan. Dalam hal ini terdapat 2 (dua) gatra yang mengemuka, yaitu :

a. Gatra Kognitif yaitu kesadaran untuk ingin tahu yang merujuk pada pengetahuan seseorang tentang ada tidaknya aturan yang mengatur perbuatan yang sedang ia lakukan atau tengah menjadi perhatian utama;

b. Gatra Afektif yaitu kesadaran untuk membuat pilihan yang menyiratkan pemihakan atau pelibatan secara emosional ke suatu pihak tertentu yang didasarkan atas keyakinan bahwa apa yang ia ketahui itu merupakan sesuatu yang benar, sehingga sudah seharusnya kalau ia turuti atau patuhi.

Persoalan akan kesadaran hukum tidak berhenti pada 2 (dua) gatra, karena manusia selalu tumbuh dan berkembang. Oleh karena itu, dengan semakin heterogennya kebutuhan dan kepentingan manusia, maka tuntutan untuk mentaati hukum tidak mungkin dicukupkan pada tingkat mengetahui atau tidaknya seseorang terhadap suatu peraturan perundang-undangan dan isinya. Akan tetapi tuntutan akan kesadaran hukum juga berkembang pada persoalan bersedia atau tidaknya seseorang untuk membangun komitmen untuk mentaatinya (to conform), terutama berkaitan dengan penyesuaian prilaku secara formil terhadap apa yang telah diatur sedemikian rupa oleh undang-undang.

Pada prinsipnya kesadaran hukum bukanlah kesadaran akan hukum itu sendiri, tetapi merupakan kesadaran akan adanya atau terjadinya “onrecht”. Dalam kenyataannya kesadaran hukum itu baru dipersoalkan pada saat terjadinya pelanggaran hukum, seperti pelanggaran lalu lintas, pembunuhan, korupsi, pungli, suap dan lain sebagainya sebagainya. Persoalan ini semakin kompleks pada saat pelanggaran hukum dilakukan secara terorganisir, seperti dalam kasus korupsi dan lain sebagainya. Di samping pelanggaran terhadap peraturan hukum, dalam bermasyarakat juga banyak terjadi penyalahgunaan hak atau wewenang. Penyalahgunaan hak banyak dilakukan oleh golongan tertentu atau pejabat-pejabat yang didasarkan atas kedudukan atau jabatannya.

Tentang penulis:
Dr Busyra Azheri SH MH, Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang. Email: busyra_ua@yahoo.co.id



ISSN 1979-9373
ISSN GagasanHukum.WordPress.Com

ARSIP

KLIK TERTINGGI

  • Tidak ada

STATISTIK PENGUNJUNG

  • 2.679.495 hits
April 2012
S S R K J S M
 1
2345678
9101112131415
16171819202122
23242526272829
30