Pepesan Kosong Perlindungan TKI

Oleh Joko Riyanto

Pemerintah Indonesia dipermalukan. Salah satu anak bangsa, Ruyati (54 tahun), dihukum pancung di Arab Saudi tanpa ada pemberitahuan resmi. Ruyati, pekerja rumah tangga dari RT 03 RW II Kampung Ceger, Sukatani, Bekasi, Jabar, dihukum pancung pada Sabtu (18-6) di Mekah karena mengakui telah membunuh majikan perempuannya, Khairiya Hamed binti Majlad. Ruyati membunuh Khairiya (64) menggunakan pisau pemotong daging pada 10 Januari 2010.

Berbagai kalangan menyesalkan hukuman pancung yang dijatuhkan Pemerintah Arab Saudi tersebut. Kasus TKI yang dihukum pancung semakin membuktikan lemahnya diplomasi perlindungan TKI di luar negeri. Menurut Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah, dalam kasus ini, publik tidak pernah mengetahui proses hukum dan upaya diplomasi apa yang pernah dilakukan Pemerintah Indonesia (Media Indonesia, 20-6-2011).

Kasus Ruyati memperlihatkan perlindungan hukum TKI sekadar pepesan kosong. Kasus Rumiyati juga sangat bertentangan dengan pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Sidang ILO ke-100 pada 14 Juni 2011, yang menyatakan di Indonesia mekanisme perlindungan terhadap pekerja migran Indonesia sudah berjalan serta tersedia institusi dan regulasinya.

Sudah sering rasanya kita mengkritik persoalan TKI ini. Tak bosan pula kita selalu menelaah bahwa persoalan TKI ini merupakan buah dari lemahnya kebijakan Pemerintah Indonesia terkait dengan perlindungan terhadap para pekerja migran itu. Pemerintah seakan tak punya taji untuk melindungi warganya yang tersandera sistem kerja buruk dan tak manusiawi di negeri seberang. Persoalan TKI yang dalam taraf tertentu telah berkembang menjadi trafficking dan menjadi soal klasik seperti berputar dalam lingkaran setan dan menyusuri lorong tak berujung. Korban-korban terus berjatuhan tanpa kita mampu membendungnya. Sehingga memunculkan sebuah gugatan: perlindungan hukum seperti apa yang bisa diberikan negara selama ini terhadap TKI?

Di mana komitmen pemerintah yang dijanjikan melalui pembentukan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI) untuk melindungi TKI? Negara perlu lebih cermat untuk melihat kembali serta mengidentifikasi persoalan-persoalan apa saja yang sesungguhnya menjadi “penyakit” dalam soal TKI, kemudian “mendiagnosis” atas problem yang mereka hadapi.

Melihat persoalan ini, pemerintah mau tak mau harus bertindak cepat dan tegas. Di sinilah kemudian diperlukan kebijakan dan perlindungan hukum yang jelas kepada mereka (baca: TKI) bukan hanya sekadar pepesan kosong.

Pertama, sebagaimana amanat UU No. 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga kerja Indonesia di Luar Negeri dan Inpres Nomor 6 Tahun 2006 bahwa negara menjamin perlindungan hukum dan pemenuhan hak-hak TKI baik sebelum, selama, maupun sesudah bekerja. Dalam konteks ini, sangat urgen bagi Indonesia untuk membuat perjanjian bilateral dengan Pemerintah Arab Saudi untuk memastikan perlindungan pekerja migran berbasis HAM.

Tekanan kepada Saudi bisa dilakukan dengan membentuk kaukus negara pengirim pekerja (Indonesia, Sri Lanka, Filipina, Nepal) bersatu untuk melakukan perundingan dengan negara penerima agar posisi tawarnya seimbang. Apalagi, Saudi sangat berkepentingan terhadap keberadaan pekerja migran. Di negara tersebut, terdapat lebih dari 8 juta buruh migran (sepertiga penduduk Saudi). Mereka mengisi kekosongan di bidang kesehatan, konstruksi, dan pekerjaan domestik.

Kedua, perlu meningkatkan kemampuan dan keahlian berdiplomasi bagi para diplomat di Kedubes RI dan Konjen RI di luar negeri, khususnya di negara-negara penempatan atau yang selama ini menjadi tujuan TKI yang tergolong besar dan sering bermasalah. Para diplomat itu harus diisi atau dilengkapi oleh para aktivis dan profesional hukum dan HAM yang piawai, berpengalaman, mempunyai jaringan yang kuat dan dapat diterima, serta diakui di negara setempat, sehingga dapat optimal melakukan pembelaan TKI.

Pada posisi inilah peran BNP2TKI yang memiliki kewenangan menempatkan personelnya di Kedutaan Besar RI (KBRI) atau di Konsulat Jenderal RI (KJRI) di negara-negara tersebut, perlu menempatkan personel yang mempunyai berkualitas dan terpercaya tersebut.

Ketiga, perlu peningkatan fungsi pengawasan kepada aparat yang bertugas melindungi TKI di luar negeri. Dalam upaya mengefektifkan upaya pengawasan tersebut harus segera dilakukan evaluasi menyeluruh dan menyeleksi ulang seluruh kinerja aparat pemerintah yang diberi tugas untuk melakukan perlindungan TKI di luar negeri. Peran BNP2TKI dalam masalah ini melakukan kajian dan evaluasi menyeluruh yang hasilnya direkomendasikan kepada presiden dan lembaga yang berwenang.

Keempat, BNP2TKI dalam upaya mengefektifkan perlindungan TKI, perlu segera mengusulkan untuk perluasan atau penambahan kewenangannya melakukan perjanjian tertulis yang lebih khusus, tidak saja hanya antara pemerintah negara dan pengguna TKI yang berbadan hukum, tapi juga secara langsung dengan para pengguna TKI pada level rumah tangga-rumah tangga, dan diberi kewenangan untuk melakukan pengawasan dan kontrol langsung terhadap pelaksanaan perjanjian tersebut.

Kelima, BNP2TKI perlu mengoptimalkan program pemberdayaan calon TKI dan program pengurangan pengiriman TKI pada level pembantu rumah tangga secara signifikan dengan menaikkan jumlah pengiriman TKI yang terdidik dan profesional. Dalam mewujudkan program ini BNP2TKI perlu melakukan kerja sama dengan lembaga-lembaga yang berpengalaman dan mempunyai keahlian dalam program tersebut.

Keenam, BNP2TKI perlu segera mengkaji, menata, dan menyeleksi ulang sistem perasuransian TKI dan perusahaan-perusahaan yang selama ini menyelenggarakan asuransi TKI. Dalam menjalankan tugas ini, BNP2TKI perlu berkoordiansi dengan Depnakertrans dan PJTKI/APJATI, serta lebih jauh perlu bekerja sama dan melibatkan perusahaan asuransi, para auditor asuransi, ahli hukum, dan ahli manajemen.

Ketujuh, pemerintah perlu kembali mengkaji dan mengevaluasi kembali sistem pengiriman TKI, termasuk pula semua proses yang ada di level penyalur jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI). Tak bisa dimungkiri, masih banyak pula kelemahan-kelemahan di dalam sistem perekrutan, kurikulum pelatihan, hingga masalah legal ketenagakerjaan bagi para calon-calon buruh migran itu. Belum lagi kita masih sering mendengar berbagai keluhan terkait dengan pungutan-pungutan liar kepada para TKI yang dilakukan berbagai oknum, mulai pengurusan dokumen-dokumen keimigrasian yang mahal, hingga berbagai fee tak wajar lain. Sistem yang membelenggu ini harus segera dibongkar dan diperbaiki.

Sudah saatnya pemerintah turun tangan dan memberikan perhatian yang serius dalam melindungi TKI. Sudah saatnya perbudakan di zaman modern segera dihapus. Kedaulatan sebuah negara bukan hanya menyangkut masalah kedaulatan wilayah. Namun, menyangkut juga harkat dan martabat sebuah bangsa. (Sumber: Lampung Post, 23 Juni 2011)

Tentang penulis:
Joko Riyanto, Koordinator Riset Pusat Kajian dan Penelitian Kebangsaan (Puskalitba) Solo



ISSN 1979-9373
ISSN GagasanHukum.WordPress.Com

ARSIP

KLIK TERTINGGI

  • Tidak ada

STATISTIK PENGUNJUNG

  • 2.678.867 hits
Juni 2011
S S R K J S M
 12345
6789101112
13141516171819
20212223242526
27282930