Tindak Pidana dan Perdata dalam Perpajakan (Bagian V)

Oleh Rahayu Hartini

Pengantar redaksi:

Artikel ini merupakan cuplikan makalah yang disampaikan dalam Workshop Perpajakan, diselenggarakan oleh Pemkot Batu, Malang, Jawa Timur, di Hotel Sekar Kedaton, Jl. Agrowisata, Batu, Malang, Rabu 13 Juni 2012. GagasanHukum.WordPress.Com memuat secara bersambung. Bagian I, Senin 26 Nopember 2012. Bagian II, Senin 3 Desember 2012. Bagian III, Senin 10 Desember 2012. Bagian IV, Senin 17 Desember 2012. Bagian V, Senin 24 Desember 2012.

IV. KETENTUAN UTANG PAJAK DALAM KEPAILITAN

1. Ketentuan Utang Pajak dalam KUH Perdata

KUH Perdata telah menempatkan utang pajak untuk didahulukan daripada kreditor lainnya sebagaimana diatur dalam Pasal 1137 sebagai berikut :

“Hak dari Kas Negara, Kantor lelang dan lain-lain badan umum yang dibentuk Pemerintah, untuk didahulukan, tertibnya melaksanakan hak itu, dan jangka waktu berlangsungnya hak tersebut, diatur dalam berbagai undang-undang khusus yang mengenai hal-hal itu”.

Dengan demikian maka menurut Pasal 1137 KUH Perdata tersebut maka kedudukan utang pajak sebagai pemegang hak istimewa dengan hak mendahulu yang merujuk pada pengaturan dalam undang-undang khusus, yaitu Undang-Undang Perpajakan.

Dilihat dari definisi utang dalam Undang-undang Kepailitan dan penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut UUK dan PKP) secara luas, utang merupakan kewajiban yang dapat timbul dari perjanjian atau dari perikatan karena undang-undang.

Sementara pemahaman pajak dari persepektif hukum menurut Soemitro merupakan suatu perikatan yang timbul karena adanya undang-undang yang menyebabkan timbulnya kewajiban warga negara untuk menyetorkan sejumlah penghasilan tertentu kepada negara, dimana Negara mempunyai kekuatan untuk memaksa dan uang pajak tersebut harus dipergunakan untuk penyelenggaraan pemerintah.

Dari pendekatan hukum ini memperlihatkan bahwa pajak yang dipungut harus berdasarkan undang-undang sehingga menjamin adanya kepastian hukum, baik bagi fiskus sebagai pengumpul pajak maupun wajib pajak sebagai pembayar pajak.

Dalam Pasal 23 (a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang. Jadi setiap pajak yang dipungut oleh pemerintah harus berdasarkan undang-undang, sehingga tidak mungkin ada pajak yang dipungut tidak dengan undang-undang. Dalam Pasal 23 (a) UUD 1945 tersebut, yang merupakan sumber hukum formal dari pajak, diantaranya tersirat falsafah pajak yang mendalam.

Mengenai dasar falsafah pajak, H. Rochmat Soemitro menyatakan bahwa pajak merupakan peralihan kekayaan dari rakyat kepada Pemerintah yang tidak ada imbalannya yang berdasarkan UUD RI 1945 langsung dapat ditunjuk. Peralihan kekayaan yang demikian itu, dalam kata-kata sehari-hari hanya dapat berupa penggarongan, perampasan, pencopetan, atau pemberian hadiah dengan sukarela dan tanpa paksaan. Maka supaya peralihan kekayaan dari rakyat kepada Pemerintah tidak dikatakan sebagai perampokan/pemberian hadiah secara sukarela, maka disyaratkan bahwa pajak, sebelum diberlakukan, harus mendapatkan persetujuan rakyat terlebih dahulu. Lembaga perwakilan sebagai pembentuk undang-undang merupakan representasi dari rakyat, sehingga ketika suatu rancangan undang-undang termasuk undang-undang pajak dianggap telah disetujui rakyat jika telah diundangkan oleh DPR.

Jadi utang pajak muncul berdasarkan undang-undang yang menimbulkan perikatan kepada warga negara untuk melakukan pembayaran pajak . sehingga utang pajak dapat masuk dalam lingkup utang dalam kepailitan yang luas, yaitu utang yang timbul karena undang-undang.

2. Ketentuan Utang Pajak Perusahaan Pailit dalam perundangan perpajakan (KUP)

UU PPSP tidak menyebutkan secara khusus mengenai pengaturan tindakan menagih utang pajak kepada perusahaan yang pailit. Demikian pula halnya dalam peraturan formal perpajakan yang pokok-pokoknya diatur dalam UU KUP.

Suatu utang atau tagihan pajak harus dilunasi oleh wajib pajak atau Penanggung Pajak. Dengan adanya tagihan pajak, negara mempunyai hak mendahulu untuk tagihan pajak tersebut atas barang-barang milik Penanggung Pajak, sebagaimana bunyi Pasal 21 ayat (1) UU KUP yakni “Negara mempunyai hak mendahulu untuk utang pajak atas barang-barang milik Penanggung Pajak.”

Adapun maksud dari adanya hak mendahulu negara ini dijelaskan lebih lanjut dalam Penjelasan Pasal 21 ayat (1) UU KUP, yaitu untuk menetapkan kedudukan negara sebagai Kreditor preferen yang mempunyai hak mendahulu atas barang-barang milik Penanggung Pajak yang akan dilelang di muka umum. Pelaksanaan hak mendahulu negara atas utang pajak tersebut adalah dengan dilakukan pembayaran atas utang pajak terlebih daulu, pembayaran kepada Kreditor lain diselesaikan setelah utang pajak dilunasi. Ketentuan tentang hak mendahulu meliputi pokok pajak, sanksi administrasi berupa bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan pajak.

Dengan adanya perubahan pada UU KUP, khususnya Pasal 21 mengalami penambahan ayat yaitu ayat (3a), yang menyatakan bahwa dalam hal Wajib Pajak dinyatakan pailit, maka kurator atau orang atau badan yang ditugasi untuk melakukan pemberesan dilarang membagikan harta Wajib Pajak dalam pailit kepada pemegang saham atau Kreditor lainnya sebelum menggunakan harta tersebut untuk membayar utang pajak Wajib Pajak tersebut.

Namun demikian hak mendahulu negara telah dikecualikan untuk didahulukan sebagaimana diatur dalam Pasal 21 ayat (3) yang menyatakan bahwa kedudukan utang pajak adalah mendahulu dari hak mendahulu lainnya kecuali biaya perkara yang hanya disebabkan oleh suatu penghukuman untuk melelang suatu barang bergerak dan/atau barang tidak bergerak, biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang dimaksud; dan/atau biaya perkara, yang hanya disebabkan oleh pelelangan dan penyelesaian suatu warisan.

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa mengenai Hak Kas Negara sebagaimana disebut dalam KUH Perdata harus didahulukan, dalam pelaksanaan hak mendahulunya diatur dalam UU KUP. Undang-undang ini memberikan kedudukan mendahulu untuk utang pajak kecuali atas biaya perkara pelelangan atau penyelesaian warisan.

UU KUP telah memberikan kedudukan istimewa untuk utang pajak melebihi kedudukan semua kreditor dalam kepailitan, termasuk hak jaminan dan juga mendahulu dari buruh dan biaya kepailitan serta kreditor konkuren. Adanya kebijakan ini mesti ditinjau ulang karena selain telah merampas hak kreditor pemegang hak jaminan (walaupun ketentuan Pasal 21 ayat (3a) UU KUP tidak efektif berlaku untuk kreditor hak jaminan).

Utang Pajak tidak dapat menerapkan hak mendahulunya atas utang dengan hak jaminan kebendaan atas dasar pertimbangan sebagai berikut :

a) Kedudukan negara sebagai kreditor preferen dan adanya hak mendahulu atas utang pajak tidak dapat melepaskan hak jaminan yang sudah melekat pada benda yang dijadikan obyek jaminan, sehingga kreditor pemegang hak jaminan tetap berhak mengambil pelunasan terlebih dahulu atas benda tersebut.

b) Hak untuk melakukan eksekusi atas benda jaminan oleh kreditor diakui oleh UUK dan PKPU, kreditor dapat melakukan eksekusi dan dia tidak melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundangan, baik UUK dan PKPU maupun UU KUP.

Terhadap ketentuan Pasal 21 ayat (3a) UU KUP, ketika eksekusi atas harta debitor yang dibebani oleh jaminan, eksekusi tersebut dilakukan oleh Kreditor itu sendiri, bukan oleh Kurator. Bahkan ketika penjualan harta debitor yang dibebani hak jaminan dilakukan Kurator maka Kreditor tetap berhak atas pelunasan utangnya, dengan dibebani biaya kepailitan.

Lalu bagaimana kedudukan hak istimewa utang pajak dibanding dengan utang kreditor preferen lainnya, yaitu buruh dan biaya kepailitan dan imbalan kurator?

Di banyak negara selama bertahun-tahun negara diberikan hak yang istimewa dalam hal kepailitan, namun selama lebih dari dua puluh tahun beberapa yurisdiksi telah mempertanyakan hak istimewa tersebut, dan meneliti secara mendalam biaya yang ditimbulkan dan manfaat serta pijakan moral dari kebijakan tersebut128.

Adanya kebijakan hak mendahulu dari seluruh harta debitor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 UU KUP, dan terkait dengan adanya kreditor lain, seperti buruh dan biaya kepailitan maka perlu dipertimbangkan mengenai hal-hal sebagai berikut:

a. Kreditor separatis jelas tidak akan mau melepaskan hak jaminan kebendaan yang melekat pada harta benda debitor untuk diambil pelunasan terlebih dahulu untuk utang pajak, selain itu berbagai instrumen dalam hak jaminan kebendaan telah dibuatu untuk kepastian hukum pelunasan utang kepada pemegang hak jaminan kebendaan;

b. Jumlah dana yang didapat dari pelunasan utang pajak dalam kepailitan sangatlah kecil dibanding pendapatan lainnya. Selain itu para debitor pailit dapat saja dalam keadaan tidak mampu membayar termasuk utang pajak. Lebih baik penagihan pajak diutamakan pada wajib pajak lain yang mampu membayar pajak .

c. Kreditor enggan menyelesaikan piutangnya melalui kepailitan karena adanya kebijakan mendahulu untuk utang pajak, yang mana jumlahnya dapat signifikan mengurangi pembayaran kepada kreditor non separatis. Dalam keadaan harta pailit tidak cukup untuk membayar seluruh utang, maka jika hak mendahulu untuk utang pajak tetap dilaksanakan, buruh dan kreditor konkuren tidak akan mendapatkan sepeserpun rupiah, sebagaimana hal-hal yang perlu dipertimbangkan yang telah dipaparkan dalam Bab terdahulu pada bagian utang upah pekerja.

3. Ketentuan Utang Pajak Perusahaan Pailit dalam UUK dan PKPU

Proses pelunasan tagihan utang pajak perusahaan dalam proses pailit tidak diatur secara tegas dalam UUK dan PKPU. Hal ini dimungkinkan karena beberapa alasan. Berdasarkan uraian penjelasannya, UUK dan PKPU diterbitkan untuk memenuhi kebutuhan dunia usaha dalam menyelesaikan masalah utang piutang secara adil, cepat, adil, terbuka dan efektif. Perubahan dilakukan oleh karena Undang-undang tentang Kepailitan (Faillisements-verordening Staatsblad 1905:217 juncto Staatsblad 1906:348) yang merupakan peraturan perundangundangan peninggalan pemerintah Hindia Belanda sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan perkembangan hukum masyarakat untuk penyelesaian utangpiutang.

Namun demikian, UUK dan PKPU hanya terbatas mengatur tentang aspekaspek hukum bagi kreditor dan debitor dalam perkara kepailitan. Dari bunyi pasal-pasal yang ada, UUK dan PKPU menguraikan secara jelas pembagian kreditor berdasarkan tingkatan hak yang dimilikinya. Dari beberapa jenis tingkatan hak kreditur yang dikenal di Indonesia, maka kreditur yang memegang jaminan kebendaan (yaitu: jaminan berupa Hak Tanggungan, Gadai dan Fidusia) diakui secara tegas sebagai kreditur yang mempunyai hak preferensi eksklusif terhadap jaminan kebendaan yang dimilikinya. Oleh karena itulah, mereka dikenal dengan sebutan kreditur separatis atau secured creditor yang mempunyai hak eksekusi langsung terhadap jaminan kebendaan yang diletakkan oleh debitur kepadanya untuk pelunasan piutang terhadap debitur tersebut. Meskipun demikian, apabila boedel pailit telah habis untuk memenuhi kewajiban utang pajak yang harus didahulukan, maka seluruh kreditor lainnya, termasuk kreditor separatis juga tidak akan memperoleh bagian apapun.

UUK dan PKPU memang tidak mengatur mengenai kedudukan Negara sebagai kreditor. Dalam pandangan penulis, sudahlah tepat apabila negara bukan merupakan salah satu jenis kreditor. Kedudukan negara justru adalah lebih tinggi daripada kedudukan pemegang jaminan kebendaan dan negara mempunyai kedudukan yang harus didahulukan dalam pelunasan utang Debitor. Piutang pajak bukanlah termasuk piutang yang dapat ditagih di muka Pengadilan karena piutang pajak ditagih dengan Surat Paksa yang memiliki kekuatan eksekutorial vide Pasal 7 ayat (1) UU PPSP.

Hal tersebut telah sejalan pula dengan putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 015.K/N/1999 tanggal 14 Juli 1999 yang memutus bahwa ;

“hutang pajak yang lahir dari Undang-Undang nomor 6 Tahun 1983 juncto Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994 yang memberi kewenangan khusus kepada pejabat pajak untuk melakukan eksekusi langsung terhadap hutang pajak tanpa intervensi pengadilan. Terhadap tagihan hutang pajak tersebut harus diterapkan ketentuan Pasal 41 ayat (3) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998, menempatkan penyelesaian utang pajak berada di luar jalur proses kepailitan, karena mempunyai kedudukan hak istimewa penyelesaiannya.”

Selain itu, Putusan Mahkamah Agung Nomor 015.K/N/1999 tanggal 14 Juli 1999 tersebut diperkuat pula dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor 017K/N/2005 tanggal 15 Agustus 2005 yang memutus bahwa

“hutang pajak adalah hutang berdasarkan hukum publik dan harus dibayar lebih dahulu daripadahutang-hutang lainnya, tidak mungkin diselesaikan dalam proses PKPU.”

Oleh karena itulah dapat dipahami bila proses pelunasan utang pajak terhadap perusahaan dalam proses pailit tidak diatur secara khusus oleh UUK dan PKPU.

1. Contoh Kasus :

Kedudukan Negara Atas Utang Pajak PT. Artika Optima Inti

Dalam Kasus Kepailitan (Perkara Kepailitan No. 22/Pailit/2007/ PN.Niaga.Jkt.Pst)

Peraturan perpajakan telah mendudukkan negara sebagai pemegang hak mendahulu atas utang pajak. Hak mendahulu atas utang pajak ini melebihi hak-hak atas pelunasan utang lainnya. Persoalannya jika kepailitan terjadi pada perusahaan yang masih memiliki utang pajak. Contoh kasus yang terjadi dalam proses kepailitan PT Artika Optima Inti (AOI).

Dari hasil penelitian Albert Richi Aruan ditemukan bahwa pada persidangan tingkat pertama hingga upaya hukum kasasi, kedudukan Hak mendahului yang dimiliki negara tidak diprioritaskan oleh pengadilan. Namun demikian dengan adanya novum berupa Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor Putusan 15 K/N/1999, Majelis hakim memenangkan tuntutan negara untuk didahulukan pelunasan utang pajaknya.

Penerapan hak mendahulu yang dimiliki negara dalam kasus utang pajak ternyata tidaklah serta merta dapat dilaksanakan apabila terjadi kepailitan terhadap perusahaan yang masih memiliki utang pajak. Penagihan utang pajak terhadap perusahaan dalam proses pailit tidak diatur secara khusus dalam peraturan perpajakan. Proses pelunasan tagihan utang pajak perusahaan pailit juga tidak secara khusus diatur dalam UUK dan PKPU.

Bagaimana utang pajak dengan gaji buruh/karyawan, mana yang harus didahulukan?

VI. PENUTUP

Sebagai akhir dari tulisan ini, perlu saya kemukakan beberapa hal yang masih menjadi permasalahan dalam tindak pidana perpajakan, yaitu

 Kelemahan aturan ketentuan pidana pajak

 Terbatasnya SDM penyidik pajak dan penegak hukum

 Kurangnya sosialisasi hukum pidana pajak

 Bagaimana bila ada utang pajak dan gaji buruh/ karyawan dalam perusahaan yang pailit, mana yang harus didahulukan.

DAFTAR BACAAN

Albert Richi Aruan, Kedudukan Negara Atas Utang Pajak Pt. Artika Optima Inti Dalam Kasus Kepailitan, Tesis, Magister Ilmu Hukum, Undip, Semarang, Juni 2010.

Daniel J. Flitzpatirck, Hukum Kepailitan dalam Hukum Internasional, disampaikan dalam seminar nasional kepailitan tahun 2008, USAID in ACCE Project & AKPI

H. Rochmat, Soemitro dan Dewi Kania, Sugiharti, Asas dan Dasar Perpajakan, Bandung, Refika Aditama, 2004, hal 8

M. Hary Djatmiko, Tindak Pidana Perpajakan, Pelatihan Hukum Pajak.Mokhamad Khoirul Huda, Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana.

Undang-undang:

UU Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga Atas UU Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan

UU No.16/2000 ttg Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU-KUP)

UU No.18/1997 Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD)

UU No.34/2000 ttg Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD)

UU No 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UU PM).

UU No. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan kewajiban Pembayaran Utang.

Tentang Penulis:
Prof Dr Hj Rahayu Hartini SH MSi MHum, Guru Besar Ilmu Hukum Bisnis, Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum, Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Malang. Kontak person: 081 233 746640. Email: yayukumm@ymail.com dan yayukpasca@yahoo.com



ISSN 1979-9373
ISSN GagasanHukum.WordPress.Com

ARSIP

KLIK TERTINGGI

  • Tidak ada

STATISTIK PENGUNJUNG

  • 2.682.762 hits
Desember 2012
S S R K J S M
 12
3456789
10111213141516
17181920212223
24252627282930
31