Aku untuk Bangsaku!

Oleh Ibnu Budiman

Janji di atas tak berhenti digemakan oleh ratusan pemuda-pemudi terbaik Indonesia. Dari Aceh hingga Papua. Mereka berkumpul untuk saling belajar, berjejaring, dan berkontribusi bersama setiap tahunnya di salah satu forum kepemimpinan.

Tidak sekadar meneriakkan janji, realisasinya telah mereka buktikan juga dengan berbagai karya nyata. Ialah pengelolaan migas di Indonesia yang didominasi oleh kapitalis asing. Janji ”Aku untuk Bangsaku”yang ditanamkan para pemuda di atas tidak berlaku bagi beberapa tetua mereka yang menjadi oknum pengkhianat (menjual aset) negara. Blok Cepu bernilai lebih dari Rp1.800 triliun, Blok Semai V sekitar Rp952 triliun, Blok Tangguh Rp2.090 triliun, dan Blok Natuna Rp6.728 triliun.Kandungan migas yang begitu melimpah ini seharusnya menjadi berkah bagi penghuninya. Ironis, justru dikuasai oleh pendatang (penjajah).

Hal ini diakibatkan oleh sejumlah kesalahan dalam pengelolaannya. Harga gas Tangguh yang dijual ke luar negeri dengan begitu murah di bawah harga jual rata-rata gas dunia, kekalahan Pertamina di Blok Semai V karena pemerintah mendukung asing, penangguhan DMO Holiday di Blok Cepu dan eksploitasi Blok Natuna D-Alpha oleh ExxonMobil, tidak diberlakukannya Windfall Profit Tax dalam harga minyak,korupsi penjualan gas di Kaltim, konspirasi proyek pembangkit listrik panas bumi di Garut yang merugikan Pertamina, penggelembungan cost recovery oleh Chevron,dan sejumlah kasus lain.

Terbaru,masyarakat menolak perpanjangan kontrak perusahaan asal Prancis Total E & P di Indonesia.Lalu puncaknya,sejumlah tokoh dan LSM mengajukan judicial review terhadap UU Migas yang berujung pada keputusan pembubaran BP Migas oleh Mahkamah Konstitusi. Rentetan kasus di atas merupakan seruan tegas kepada pemerintah untuk segera membenahi kebijakan pengelolaan migas di Indonesia. Belajar dari pengalaman, sudah begitu banyak kebijakan dan kontrak karya yang merugikan negara (rakyat).

Para pemangku kebijakan haruslah mengubah pola dan perilaku konspiratif,KKN, dan harus berani berhadapan dengan kapitalis asing. Memang ini adalah sebuah permasalahan kompleks yang hampir mengakar,namun bukan berarti pasrah dan diam tak bergerak mengubah. Untuk dapat memperbaiki kebijakan tata kelola migas ini para pemangku kebijakan sepertinya harus belajar kerangka berpikir yang ideal untuk kemandirian bangsa.

Belajarlah dari para kunang-kunang yang disebutkan di atas, yang gigih tak hanya di retorika, namun juga dalam karya. Para pemangku kebijakan terkait harus memahami dan berjanji sepenuh hati untuk mengamalkan “Aku untuk Bangsaku!” (Sumber: Seputar Indonesia, 29 Nopember 2012)

Tentang penulis:
Ibnu Budiman, Ketua Kelompok Studi Mahasiswa Eka Prasetya Universitas Indonesia



ISSN 1979-9373
ISSN GagasanHukum.WordPress.Com

ARSIP

STATISTIK PENGUNJUNG

  • 2.678.236 hits
Desember 2012
S S R K J S M
 12
3456789
10111213141516
17181920212223
24252627282930
31