Konsep Medeplichtigheid Pasif dalam Kasus Video Asusila Ariel (Bagian II)

Oleh Hwian Christianto

Pengantar redaksi:
Artikel ini dimuat bersambung. Bagian I, edisi Kamis 3 Februari 2011. Bagian II, edisi 10 Februari 2011.

Konsep Pembantu Pelaku menurut Pasal 56 KUHP

Pasal 56 KUHP merupakan dasar yuridis pemberlakuan konsep pembantu pelaku yang dikenal dengan medeplichtigheid. Ada dua bentuk pembantuan sebagaimana diatur dalam Pasal 56 KUHP, yaitu: sengaja memberikan bantuan pada waktu kejahatan dilakukan dan sengaja memberi kesempatan, sarana, atau keterangan untuk melakukan kejahatan itu. Secara ringkas, pembantuan bisa dilakukan pada waktu kejahatan dilakukan atau sebelum kejahatan itu dilakukan. Keberadaan pembantu bagi terwujudnya suatu tindak pidana jelas memiliki korelasi. Tindakan yang diperbuat oleh pembantu pada dasarnya mempermudah terwujudnya tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku. Pengetahuan akan tindak pidana apa yang akan diwujudkan oleh pelaku jelas harus diketahui oleh pembantu karena memang disinilah hubungan dan peran seseorang dapat disebut sebagai pembantu atas tindak pidana. Sianturi merinci tiga syarat adanya pembantuan yaitu (Sianturi, 1986:373):

a) Pembantu harus mengetahui macam kejahatan yang dikehendaki oleh petindak (pelaku utama);

b) Bantuan yang diberikan oleh pembantu adalah untuk membantu petindak untuk mewujudkan kejahatan tersebut. Bukan untuk mewujudkan kejahatan lain.

c) Kesengajaan pembantu ditujukan untuk memudahkan atau memperlancar petindak melakukan kejahatan yang dikehendaki petindak.

Dari pendapat Sianturi diatas dapat ditekankan 2 (dua) hal penting yang memang harus terdapat dalam diri seorang pembantu yaitu adanya kehendak sejalan dengan keinginan pelaku tindak pidana dan kesengajaan untuk memudahkan pelaku melakukan tindak pidana tertentu. Unsur pengetahuan dan kesengajaan dalam diri pembantu inilah yang ditekankan dalam Pasal 56 KUHP baik dilakukan dalam waktu sebelum atau pada waktu tindak pidana dilakukan.

Bentuk Pembantu dalam Kasus Video Asusila Ariel

Mencermati dakwaan jaksa penuntut umum yang mendasarkan pada pasal 29 UU No. 44 Tahun 2008 jo. Pasal 56 ke-2 KUHP maka ada dua isu hukum yang perlu dibahas lebih lanjut, yaitu apakah dalam kasus Video Asusila tersebut Ariel melakukan perbuatan sebagaimana dituduhkan dan berperan sebagai pembantu dalam tindak pidana tersebut. Sebenarnya Pasal 4 ayat (1) UU Pornografi secara eksplisit mengatur perbuatan inti yang dilarang termasuk muatan pornografinya. Pemahaman akan perbuatan-perbuatan pornografi sebagaimana diatur Pasal 4 ayat (1) pada prinsipnya dilarang untuk diciptakan atau dibuat termasuk di dalamnya untuk dokumentasi. Pemahaman tersebut ternyata tidak sejalan dengan Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU Pornografi yang justru menekankan ketidakmutlakan larangan tersebut dengan mengatur “Yang dimaksud dengan “membuat” adalah tidak termasuk untuk dirinya sendiri dan kepentingan sendiri.” Sebuah penjelasan yang tidak konsisten dengan perumusan ketentuan hukumnya bahkan cenderung kontradiktif.

Sebagai sebuah produk hukum yang mengatur kejahatan di bidang kesusilaan sudah seharusnya komitmen pelarangan pornografi dilakukan dalam segala bentuknya terutama secara preventif. Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU Pornografi di sisi lain justru melemahkan keseriusan pengaturan Pasal 4 UU Pornografi yang melarang semua bentuk muatan pornografi dengan segala bentuk dan tujuannya. Penjelasan Pasal 4 UU Pornografi justru menjadi lubang dalam perut sendiri karena sangat berpotensi untuk menciptakan pelanggaran pada pasal 4 UU Pornografi. Pengaturan tersebut membawa implikasi bahwa pembuatan pornografi untuk keperluan diri sendiri tidak dilarang tetapi menjadi dilarang manakala pornografi tersebut disebarluaskan kepada pihak ketiga.

Pada posisi inilah Kasus Ariel menemui permasalahan hukum yang cukup rumit. Bagaimanakah menentukan seseorang itu dapat dikatakan membuat untuk diri sendiri atau untuk disebarluaskan mengingat bentuk dokumentasi berupa benda elektronik yang mudah sekali dicuri, ditransfer, atau dipindahkan ke orang lain.

Terkait kasus video asusila Ariel yang menempatkan Ariel sebagai terdakwa karena dituduh sebagai pembantu atas penyebaran video porno karena dinilai melakukan penyediaan video tersebut di laptopnya sebenarnya tidak tepat. Andaikan memang terdakwa terbukti membuat video asusila tersebut tidak secara serta merta ia berniat mempublikasikan video tersebut. Tindakan merekam yang dilanjutkan dengan menyimpan file video tersebut di laptop pribadinya harus dipandang sebagai wujud tindakan pengamanan yang menunjukkan tujuan pembuatan video tersebut untuk kepentingan diri sendiri.

Permasalahan selanjutnya, video asusila tersebut tersebar luas melalui media telekomunikasi dan internet sebagai muatan yang jelas melanggar pornografi. Tindak pidana pornografi berdasarkan Pasal 29 UU Pornografi jelas menggariskan larangan keras bagi mereka yang membuat untuk disebarluaskan atau pelaku yang menyebarluaskan muatan pornografi. Pada kasus video asusila Ariel dapat diketahui dengan jelas bahwa pertama ia berkedudukan sebagai korban dari publikasi pornografi sedangkan kemungkinan kedua memang bisa saja ia menjadi pembantu dalam menyediakan pornografi hanya di dalam perbuatannya sama sekali belum menunjukkan hal tersebut.

Putusan Pengadilan Negeri Bandung terhadap kasus video mesum Ariel boleh dikatakan merupakan terobosan dalam memahami pembantu dalam konsep hukum pidana. Pembantu (medeplichtigheid) yang selama ini dipahami dalam ilmu hukum pidana dikenal dua macam medeplichtigheid yaitu medeplichtigheid aktif dan medeplichtigheid pasif. Satochid Kartanegara menjelaskan maksud medeplictigheid aktif adalah “member bantuan secara aktif, yaitu akitif dalam arti menurut tafsiran tata-bahasa sehari-hari dan sebagaimana ditentukan dalam Ps. 56.” (Satochid, tanpa tahun:543-544) ini berarti seseorang dapat disebut sebagai pembantu tindak pidana ketika orang tersebut secara langsung bertindak melakukan perbuatan yang memudahkan pelaku mewujudkan tindak pidana yang diinginkannya. Sangat berbeda dengan medeplichtigheid pasif yang berarti “apabila seseorang tidak berbuat sesuatu apa, akan tetapi walaupun demikian ia tokh mengakibatkan, oleh orang lain dilakukan suatu kejahatan.” (Satochid, ibid).

Menurut konsep medeplichtigheid pasif tersebut, seseorang bisa saja disebut sebagai pelaku ketika mengetahui suatu kejahatan tetapi tidak melakukan perbuatan apapun untuk mencegahnya. Bisa saja orang tersebut secara tidak sengaja lupa menaruh kunci mobil temannya kemudian datang pencuri dan mengambil mobil tersebut maka orang tersebut dapat dikatakan sebagai pembantu. Perluasan tentang siapa saja yang dapat menjadi pembantu terkait terjadinya suatu tindak pidana akhirnya sangat luas dan cenderung melanggar asas kepastian hukum. Satochid menjelaskan “luas”nya ruang lingkup pembantu tersebut karena didasarkan pada kepatutan masyarakat untuk mencegah kejahatan (Satochid, ibid: 545).

Terkait dengan kasus video asusila yang melibatkan terdakwa Ariel, Pertimbangan majelis hakim yang menyetujui terdakwa bersalah karena melanggar Pasal 29 UU Pornografi jo. Pasal 56 ke-2 KUHP jelas menggunakan konsep pembantuan secara pasif. Alasan kepatutan masyarakat dan demi mencegah terjadinya kejahatan pornografi menjadi alasan utama dalam menentukan terdakwa bersalah meskipun Undang-undang Pornografi tidak melarang Ariel menyimpan video asusila tersebut. Hanya yang perlu dipahami dalam kasus ini apakah apabila terdakwa menyimpan file video asusila tersebut di komputer pribadinya dapat dikatakan sebagai perbuatan menyediakan pornografi sebagaimana diatur dalam Pasal 29 UU Pornografi.

Menurut penulis sangat sulit dibuktikan karena memang perbedaan tindakan menyimpan dan menyediakan harus dilihat dari ada atau tidaknya niat seseorang memfasilitasi atau memudahkan orang lain mengakses, mengambil atau memindahkan file/video asusila tersebut untuk disebarluaskan. Putusan Pengadilan Negeri Bandung atas kasus video asusila tersebut merupakan bentuk penemuan hukum progresif karena menekankan pentingnya kepatutan masyarakat untuk mencegah terjadinya kejahatan pornografi lagi.

Semangat hukum progresif tampak dalam pertimbangan hakim yang menekankan kebersalahan terdakwa sebagai penyedia pornografi (pembantu tindak pidana pornografi). Padahal disisi lain, konstruksi Pasal 29 UU Pornografi lebih ditekankan pada industry pornografi atau penyebarluasan pornografi bukan pada pembuatan pornografi untuk diri sendiri. Hakim dalam menginterpretasikan Pasal 29 UU Pornografi jo. Pasal 56 ke-2 KUHP jelas memperluas siapa yang disebut sebagai pembantu berdasarkan konsep medeplichtigheid pasif yang sebenarnya sudah lama tidak dipergunakan lagi dalam ilmu hukum pidana karena bertentangan dengan prinsip kepastian hukum (asas legalitas).

Tentang penulis:
Hwian Christianto SH MH, dosen Fakultas Hukum Universitas Surabaya. Kontak person: 085 631 73015. Email: hwall4jc@yahoo.co.id



ISSN 1979-9373
ISSN GagasanHukum.WordPress.Com

ARSIP

KLIK TERTINGGI

  • Tidak ada

STATISTIK PENGUNJUNG

  • 2.682.722 hits
Februari 2011
S S R K J S M
 123456
78910111213
14151617181920
21222324252627
28