Posts Tagged 'kebijakan hukum investasi'

Paradigma Baru Kebijakan Hukum Investasi Indonesia (Bagian III, habis)

 

Oleh Muchammad Zaidun

Dekan Fakultas Hukum Universitas Airlangga

 

Pengantar redaksi:

Artikel ini cuplikan dari pidato Prof Dr H Muchammad Zaidun SH MSi ketika dikukuhkan sebagai guru besar dalam bidang Ilmu Hukum Investasi pada Fakultas Hukum Universitas Airlangga. Pengukuhan jabatan guru besar tersebut berdasarkan SK Mendiknas RI Nomor 20954/A4.5/KP/2007 tanggal 30 November 2007. Upacara pengukuhan dilaksanakan di kampus Universitas Airlangga, Surabaya 12 Juli 2008. GagasanHukum.WordPress.Com memuat naskah pidato Zaidun dalam artikel bersambung:

  • Bagian I, edisi Senin 21 Juli 2008
  • Bagian II, edisi Senin 28 Juli 2008
  • Bagian III, edisi Senin 4 Agustus 2008

 

Pada tahun 1974 setelah peristiwa ”Malari” (malapetaka lima belas januari) sikap Indonesia terhadap investasi asing cukup hati-hati bahkan terkesan membatasi. Pada masa ini ada yang menyebut munculnya sikap-sikap ultra nasionalis yang kuat bahkan cenderung berlebihan dan pada masa ini pula dikenal sebagai masa ”indonesianisasi” modal asing. Sebagaimana dinyatakan oleh Radius Prawiro :

” Deregulasi perekonomian telah berakar di sektor keuangan, dan paket 6 Mei 1986 berfokus pada sektor perdagangan dan penanaman modal yang telah menimbulkan ekonomi biaya tinggi di Indonesia. Peraturan-peraturan yang memaksakan indonesianisasi, pembatasan-pembatasan yang ketat atas sektor-sektor yang terbuka untuk penanaman modal bahkan pembatasan hak menambah penanaman modal yang sudah ada semuanya berdampak mengurangi daya tarik Indonesia sebagai tempat penanaman modal.”[1]

 

Sikap tertutup dan kurang acuh terhadap investasi asing tersebut berkelanjutan sampai tahun 1985, karena pada waktu itu indonesia masih diuntungkan dapat menikmati hasil ”bom minyak”, karena kebutuhan APBN cukup disupport dari sektor perminyakan (migas). Sikap dan kondisi ekonomi yang demikian menyebabkan Indonesia tidak banyak melakukan langkah-langkah yang berarti, kurang ada usaha untuk  mendorong perkembangan investasi, kebijakan-kebijakan hukum dalam bidang investasi kurang dikembangkan bahkan terkesan tambal sulam dan parsial.

 

Pada tahun 1986 sampai dengan 1990an mulai ada perubahan orientasi dalam kebijakan investasi yang lebih terbuka dan mulai dilakukan upaya deregulasi dalam berbagai struktur kebijakan ekonomi termasuk dalam bidang investasi, pada masa ini upaya-upaya yang mengarah ke liberalisasi ekonomi perdagangan dan investasi semakin mengedepan dan sikap pemerintah terhadap investasi asing semakin terbuka, pada masa ini dapat dikatakan sebagai masa awal berkembangnya ”paradigma liberal” yang mendorong perkembangan perekonomian Indonesai terintegrasi dengan perekonomian internasional. Hal ini kemudian mendorong Indonesia untuk segera meratifikasi ketentuan-ketentuan dalam World Trade Organization (WTO), khususnya tentang Trade Related Investment Measures (TRIMs)[2] yang mendorong liberalisasi perdagangan dan investasi. Pada masa ini ekonomi Indonesia ada yang menyebut telah mengembangkan ”sistem ekonomi pasar terkendali” sebagaimana yang pernah direkomendasikan oleh ISEI.[3] Kondisi ini tidak berlangsung lama, menjelang kejatuhan rejim Soeharto tahun 1997 bersamaan dengan adanya tuntutan reformasi suara-suara untuk mengubah orientasi ekonomi yang cenderung mengarah ke liberalistik dituntut kembali untuk berorientasi ”kerakyatan” yaitu selaras dengan tuntutan masyarakat agar pemerintah mengembangkan kebijakan ekonomi yang disebut dengan ”demokrasi ekonomi kerakyatan”.

 

Tuntutan masyarakat untuk mengamandemen UUD 1945 telah dilaksanakan, dan UUD 1945 telah mengalami empat kali amandemen. UUD 1945 kembali menjadi acuan landasan utama kebijakan nasional dalam bidang ekonomi, termasuk kebijakan hukum investasi. Ketentuan Pasal 33 UUD 1945 yang telah mengalami penambahan, pada masa ini mulai ditafsirkan kembali, dengan penegasan bahwa demokrasi ekonomi dalam UUD 1945 adalah berbeda dengan sistem kapitalisme-liberal maupun sistem etatisme. Sampai saat ini perbincangan tentang pemahaman / penafsiran atas Pasal 33 tersebut belum sepenuhnya tuntas. Konsekuensi adanya pemaknaan atau penafsiran yang belum sepenuhnya utuh tersebut, tidak jarang hal ini dijadikan dasar bagi beberapa kebijakan ekonomi dan investasi sesuai dengan pemaknaan / penafsiran pada masanya oleh rejim yang berkuasa.

 

Menyadari betapa mudahnya perubahan sikap Indonesia dalam mengembangkan kebijakan hukum investasi, maka sudah sepatutnya dimulai suatu langkah yang sungguh-sungguh dalam melakukan pengkajian kebijakan hukum investasi di Indonesia. Untuk menyiapkan hal tersebut perlu suatu riset dan kajian untuk pengembangan ilmu hukum investasi.

 

Dalam perumusan suatu kebijakan hukum investasi beberapa aspek dasar yang harus dicermati adalah :

  1. sistem ekonomi yang dianut sebagaimana yang telah ditetapkan dalam UUD atau konstitusi,
  2. prinsip atau asas, dan hukum internasional yang berkaitan dengan investasi yang disepakati dalam berbagai konvensi serta perjanjian internasional,
  3. dasar teori yang dipilih sebagai landasan konsep kebijakan yang bersumber pada teori-teori hukum investasi yaitu teori-teori ekonomi pembangunan dan teori-teori hukum investasi tentang perusahaan transnasional yang berkaitan dengan investasi.

Ketiga aspek dasar yang menjadi landasan pijakan untuk menentukan model kebijakan yang akan ditetapkan, merupakan suatu yang niscaya harus dilakukan agar kebijakan hukum investasi yang akan ditetapkan benar-benar memiliki dasar argumentasi teoritik dan hukum yang kokoh dan tidak menyimpang dari semangat konstitusi.

 

Kesadaran tentang pentingnya pengkajian terhadap kebijakan hukum investasi yang harus melibatkan berbagai aspek disiplin ilmu non hukum, maka sudah sepatutnya dalam merancang kebijakan hukum investasi melibatkan para pakar dari disiplin ilmu ekonomi dan politik. Pengembangan ilmu hukum investasi memerlukan dukungan para ahli non hukum khususnya ahli ekonomi dan politik. Pembelajaran hukum investasi pada mahasiswa harus mengenalkan arti pentingnya pemahaman terhadap sistem dan konsep-konsep ekonomi dan politik bagi pemahaman suatu kebijakan hukum investasi yang komprehensif. Dalam rangka kerjasama yang lebih intens antara para ahli hukum dan para ahli ekonomi dan politik dalam menganalis kebijakan hukum investasi perlu ada penelitian dan pengkajian bersama.

 

Mengintegrasikan teori hukum dengan teori ekonomi dan politik sebagai dasar pijakan pengembangan teori hukum tentang kebijakan hukum investasi memerlukan penelitian dan pengkajian yang mendalam, prinsip-prinsip ekonomi yang berkaitan dengan masalah rasionalitas dan efisiensi perlu menjadi acuan. Pendekatan dari aspek ekonomi terhadap hukum sebagaimana yang dirintis oleh  Posner[4] masih cukup relevan untuk dikembangkan lagi agar produk-produk hukum yang ditetapkan oleh negara mempertimbangkan dimensi ekonomi secara mendalam. Penggunaan pendekatan tersebut akan dapat mencegah tumbuhnya efek atau akibat dari suatu produk hukum yang dapat menimbulkan irrationalitas, inefisiensi dan birokratis yang dapat menimbulkan ekonomi berbiaya tinggi.

 

Dalam era kompetisi yang terbuka, pertimbangan memilih negara tujuan investasi bukan lagi hanya didasarkan pada aspek comparative advantage tetapi pada aspek competitive  advantage. Implementasi kebijakan hukum investasi nasional saat ini masih terkendala oleh perilaku layanan publik (public services) yang belum mampu mewujudkan good governance. Implementasi kebijakan hukum investasi masih dihadapkan pada hambatan aturan-aturan lokal (berbagai Peraturan Daerah) yang belum sepenuhnya selaras dengan kebijakan hukum investasi nasional. Selain itu masih adanya korupsi yang hampir menyeluruh di seluruh wilayah Indonesia dan institusi negara, menyebabkan para calon investor kurang tertarik berinvestasi ke Indonesia.

 

Sementara negara-negara berkembang yang menjadi kompetitor Indonesia dalam menarik modal asing telah mampu berbenah baik dalam aspek hukum, birokrasi dan kecepatan layanan perijinan serta insentif yang cukup atraktif. Kemajuan yang diraih oleh negara-negara kompetitor dengan berusaha mengembangkan paradigma pengaturan hukum investasi yang liberal semakin pesat perkembangannya. Karena itu tantangan  yang dihadapi oleh Indonesia masih cukup berat.

 

Tantangan atas perkembangan kebijakan hukum investasi secara universal adalah kebijakan hukum investasi nasional harus mampu menjaga dan melindungi kepentingan nasional (domestik) dalam era kompetitif yang terbuka antar negara berkembang dalam perebutan investasi asing. Dalam era kompetisi yang terbuka, suatu pengecualian atas berbagai prinsip dan hukum internasional dimungkinkan kalau suatu host country mampu memberikan argumentasi yang rasional dan kuat mengapa suatu negara diberikan perkecualian terhadap ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku secara universal.

 

Harapan ke depan yang masih dapat dilakukan adalah :

1.       upaya yang sungguh-sungguh untuk menyempurnakan hukum investasi dengan menyempurnakan berbagai aturan yang terkait dan aturan-aturan pelaksananya, khususnya dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang telah berupaya mengadopsi berbagai prinsip internasional dalam bidang hukum investasi,

2.       beberapa perkecualian penerapan atas prinsip World Trade Organization (WTO)  dalam bidang investasi dimungkinkan bagi Indonesia asalkan Indonesia sungguh-sungguh berusaha memberikan argumentasi yang rasional dan kuat sesuai dengan kepentingan nasional,

3.       Indonesia masih mempunyai peluang cukup menjadi pertimbangan sebagai negara tujuan investasi dari segi pertimbangan sumberdaya alam dan sumberdaya manusia serta letak strategis wilayah Indonesia sebagai lokasi investasi dan luasnya pasar produk.

 

Paradigma baru kebijakan hukum investasi secara internasional adalah bersifat liberal terbuka dan adil. Keterbukaan ini didasarkan pada prinsip yang disepakati dalam World Trade Organization (WTO)  yang menetapkan adanya keleluasaan/kebebasan yang dinamis antar negara untuk melakukan investasi. Masing-masing negara saling menghormati kedaulatan negara masing-masing untuk menetapkan kebijakan hukum investasinya, namun masing-masing negara harus saling melindungi dan memperlakukan kegiatan investasi di negaranya tanpa ada diskriminasi antara investor asing dengan investor domestik, demikian juga antar sesama investor asing. Prinsip ini menekankan pada dasar pikiran prinsip perlindungan keseimbangan kepentingan antar masing-masing pihak dengan saling menghormati dan memberikan perlakuan tanpa diskriminasi.[5]

 

Apabila dilihat dari paradigma baru yang liberal dan terbuka, kebijakan hukum investasi di Indonesia saat ini berdasarkan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal secara substansial telah memenuhi, karena beberapa prinsip hukum internasional telah diakomodasi dan prinsip perlindungan kepentingan internasional juga telah terakomodasi. Namun yang perlu dijaga adalah konsistensi daripada aturan pelaksanaan undang-undang tersebut yang dalam sejarah pengaturan investasi di Indonesia seringkali menyimpang. Selain itu, undang-undang penanaman modal tersebut sejak awal pembahasan sampai ditetapkan sebagai undang-undang masih memperoleh respon yang negatif, karena dianggap terlalu pro pasar dan pro investor (asing).

 

Akar perdebatannya justru berawal pada masalah yang substansial yaitu ketentuan Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945. Bagi yang keberatan atas arah kebijakan investasi  dalam undang-undang ini menganggap undang-undang ini berideologi ”liberal” atau ”neo liberal”. Walaupun perdebatan saat ini tidak terlalu sengit, namun dapat dikategorikan ada dua pandangan yang secara relatif mewakili pandangan moderat atas dua pandangan yang berbeda tersebut.

 

Satu sisi misalnya pandangan yang dikemukakan oleh para ekonom dari ISEI yang menyebutkan bahwa Indonesia menganut ”sistem ekonomi pasar yang terkendali”, yang berarti masih dalam ”faham liberalistik yang moderat”, pada sisi lain diwakili oleh sebagian para ahli yang menyebutkan bahwa sistem ekonomi yang dianut oleh konstitusi Indonesia adalah bersumber pada ”faham kenegaraan welfare state” (negara kesejahteraan) yang dalam sejarahnya merupakan reaksi untuk penyempurnaan faham liberalistik yang kolot. Sebagaimana dikemukakan oleh Jimly Asshiddiqie bahwa :

”Undang-undang Dasar 1945 menganut paham kedaulatan rakyat Indonesia yang mencakup baik aspek demokrasi politik maupun aspek demokrasi ekonomi. Berdasarkan kedua doktrin demokrasi tersebut sistem sosial di Indonesia dapat dikembangkan menurut prinsip-prinsip demokrasi yang seimbang, sehingga menumbuhkan kultur demokrasi sosial yang kokoh. Dalam paham demokrasi sosial (social democracy) negara berfungsi sebagai alat kesejahteraan (welfare state). Meskipun gelombang liberalisme dam kapitalisme terus berkembang dan mempengaruhi seluruh kehidupan manusia, namun juga terjadi penyesuaian dengan elemen-elemen konstruktif dari sosialisme dalam bentuk paham ”market socialism”. Dianutnya prinsip demokrasi ekonomi dan paham ekonomi pasar sosial dapat kita lihat pada ketentua Bab XIV UUD 1945. Ketentuan konstitusi tersebut harus mendasari perumusan berbagai ketentuan mengenai perekonomian dan kesejahteraan sosial di Indonesia. Pelaksanaan ketentuan konstitusi di bidang ekonomi tentu akan selalu bersentuhan dengan kecenderungan perkembangan masyarakat. Saat ini, pelaksanaan welfare state yang memberikan pembenaran konseptual terhadap kecenderungan intervensi pasar negara hendaknya dibatasi demi perkembangan dunia usaha yang sehat.”[6]

 

Sebenarnya secara substansial menurut hemat saya perbedaan pandangan tersebut tidaklah terlalu diametral, kedua-duanya sebenarnya memahami bahwa dalam konteks internasional liberalisasi telah berjalan jauh dan mempengaruhi seluruh aspek kehidupan, namun keduanya merasa perlu untuk menegaskan pemberian perlindungan bagi kepentingan nasional. Dalam upaya pentingnya perlindungan kepentingan nasional, kedua pandangan tersebut menghendaki peran pemerintah untuk menjadi pengatur dan pengendali. Walaupun peran pemerintah dalam sektor ekonomi masih dikehendaki namun tetap diingatkan bahwa pemerintah jangan sampai terlalu over regulated  sebagaimana pernah dialami oleh negara-negara yang menganut faham welfare state yang berlebihan di masa lalu. Karena itu langkah-langkah kebijakan hukum investasi perlu penyesuaian-penyesuaian dengan kepentingan ekonomi baik nasional ataupun internasional.

 

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan sebelumnya, perubahan paradigma kebijakan hukum investasi telah berlangsung di Indonesia. Paradigma liberal yang telah berpengaruh pada negara berkembang juga telah mempengaruhi Indonesia. Namun demikian faham ini telah diadaptasi dan ditapis (screening) sesuai dengan semangat yang dianut oleh sistem ekonomi Indonesia berdasarkan ketentuan konstitusi yaitu Pasal 33 UUD 1945. Walaupun demikian secara teoritik masih terus berlangsung diskursus-diskursus yang dinamis terhadap pemahaman / pemaknaan atas ketentuan Pasal 33 UUD 1945 tersebut. Salah satu kata kunci yang membatasi dan cenderung menjadi acuan adalah walaupun kebijakan hukum investasi tersebut telah mengarah ke paradigma liberal, namun peran negara diharapkan masih dalam posisi yang strategis untuk mengatasi ekses-ekses negatif yang timbul dari prinsip pasar bebas tersebut. Selain itu juga diingatkan bahwa peran negara yang merefleksikan tanggung jawabnya terhadap kesejahteraan rakyat tidak dijadikan dasar dan alasan untuk memperkuat posisi negara dalam pengaturan ekonomi dan investasi sehingga cenderung melakukan langkah-langkah regulasi yang berlebihan atau over regulated. Untuk itu pada saat ini diperlukan adanya penelitian dan kajian yang lebih komprehensif tentang pemahaman Pasal 33 UUD 1945 dan pendalaman tentang teori, asas, atau prinsip hukum dan hukum yang menjadi dasar rujukan pengaturan investasi, terutama melalui penelitian dan kajian yang bersifat interdisipliner.

 

Hal ini diharapkan agar dalam perumusan berbagai kebijakan hukum investasi telah benar-benar memperoleh dasar pemikiran teoritik dan landasan hukum yang kuat baik dalam konteks nasional ataupun internasional sehingga paradigma kebijakan hukum yang dikembangkan betul-betul telah memperoleh pertimbangan dari berbagai segi sehingga tidak hanya merupakan suatu reaksi temporal yang kurang bersifat strategis.

 

Untuk itu para ahli hukum, ekonomi dan politik di lingkungan Universitas Airlangga sudah sepatutnya bersungguh-sungguh untuk bersinergi  menjalin kerjasama dalam upaya pengembangan kebijakan investasi yang bermanfaat pula bagi pengembangan ilmu hukum, ekonomi dan politik yang dinamis, seiring dengan perkembangan ilmu dan perkembangan internasional dalam bidang hukum, ekonomi dan politik.

 

 


[1] Radius Prawiro, Pergulatan Indonesia Membangun Ekonomi, Pragmatisme Dalam Aksi, Elex Media Komputindo-Kelompok Gramedia, Jakarta, 1998, h. 378.

[2] Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia telah diratifikasi Indonesia melalui Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994. Konsekuensinya Indonesia harus melakukan pembaharuan dan harmonisasi hukum di bidang penanaman modal, terutama yang terkait dengan masalah perdagangan sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam TRIMs.

[3] Secara umum sistem ekonomi dibedakan dalam dua kutub besar yang saling bertolak belakang, yaitu sistem ekonomi pasar bebas yang liberalis-kapitalistik dan menerapkan mekanisme ekonomi pasar, serta sistem ekonomi terpusat-sosialistik yang bersifat etatisme dengan perencanaan. Dua sistem tersebut pada dasarnya saling bertolak belakang apabila dilihat dari perspektif peran negara dalam kebijakan pengaturan sektor ekonomi. Pada dasarnya dalam sistem ekonomim pasar tidak memperkenankan intervensi atau campur tangan negara / pemerintah dalam sektor ekonomi. Tetapi sebaliknya dalam sistem ekonomi yang sosialistik campur tangan negara terutama dalam pengaturan, perencanaan, dan pengendalian ekonomi merupakan keharusan sebagai tanggung jawab negara dalam rangka memenuhi dan meningkatkan kesejahteraan rakyat, sebagaimana dikemukakan oleh Muchammad Zaidun dalam Penerapan Prinsip-prinsip Hukum Internasional Penanaman Modal Asing di Indonesia (Disertasi), Program Pasca Sarjana Universitas Airlangga Surabaya, 2005, h.137. Lebih jauh untuk memahami masalah ini baca juga Sri Mulyani dkk., Sistem Mekanisme Pasar Terkendali : Alternatif Ekonomi Indonesia Masa Depan ?, Diponegoro 74, November 1998, h.6-7.

[4] Mengenai hal ini lebih lanjut baca Richard A. Posner, Frontiers of Legal Theory, Harvard University Press, Cambridge, Massachussets, London, England, 2001, h.4.

 

[5] Mengenai perlakuan tanpa diskriminasi, baca uraian Muchammad Zaidun dalam Penerapan Prinsip-prinsip Hukum Internasional Penanaman Modal Asing di Indonesia (Ringkasan Disertasi), Program Pasca Sarjana Universitas Airlangga, 2005, h.17-20, tentang prinsip-prinsip penanaman modal asing yang meliputi non discriminatory principle, yang berintikan The Most Favoured Nation (MFN) Treatment Principle dan National Treatment Principle, juga tentang Perkecualian terhadap MFN dan National Treatment serta Transparency Principle.

[6] Jimly Asshiddiqie, Op cit, h.10-11. Selanjutnya Jimly memberikan catatan bahwa Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 merupakan dasar demokrasi ekonomi yang membedakan sistem perekonomian nasional dengan sistem kapitalisme liberal maupun sistem etatisme. Dalam sistem kapitalisme liberal dasar perekonomian bukan usaha bersama dan kekeluargaan, namun kebebasan individual untuk berusaha. Sedangkan dalam sitem etatisme, negara yang mendominasi perekonomian, bukan warga negara baik sebagai individu maupun bersama-sama dengan warga negara lainnya.

 



ISSN 1979-9373
ISSN GagasanHukum.WordPress.Com

ARSIP

STATISTIK PENGUNJUNG

  • 2.679.090 hits
Mei 2024
S S R K J S M
 12345
6789101112
13141516171819
20212223242526
2728293031