Pelajaran dari Tanjung Gusta

Oleh Eko Supriatno

Eko Supriatno“Tiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagai manusia meskipun ia telah tersesat. Tidak boleh ditunjukkan kepada narapidana bahwa ia itu penjahat”

(Prinsip Permasyarakatan)

Menjelang subuh, Jumat 12 Juli 2013, emosi ribuan napi yang mengamuk dan menghancurkan Lapas Tanjung Gusta, Medan, mulai mereda. Mereka sudah tak lagi melakukan pembakaran dan pelemparan. Ribuan napi malah mengizinkan aparat keamanan mengevakuasi korban tewas dan menunjukkan lokasi-lokasi korban di dalam lapas. Tetapi, izin masuk ke lapas hanya diberikan kepada kepada personel TNI dan PMI, tidak untuk polisi.

Bahkan para napi juga sudah mulai berani mendekat dan berkumpul di jendela sambil berteriak-teriak menyebutkan kerusuhan ini disebabkan oleh pemadaman listrik yang kerap terjadi sejak kenaikan BBM. Dan, puncaknya terjadi Kamis 11 Juli 2013, pemadaman listrik terjadi sejak subuh hingga malam hari setelah berbuka puasa. Inilah yang membuat gusar lebih 2.500 penghuni lapas, sehingga mereka membakar lapas. Bahkan meledakkan tabung gas.

Mengerikan ! Kalimat itulah yang layak meluncur dari mulut kita manakala mendengar dan mencermati “Tragedi Tanjung Gusta” ini. Untuk menyelamatkan”citra penjara”, ternyata “kebijakan-kebijakan pemerintah” untuk membenahi persoalan ini masih sangat terbatas.

Apa yang salah?

Lembaga Pemasyarakatan, sesuai dengan Undang-undang RI Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan serta Peraturan Pemerintah RI Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, sistem Penjara di Indonesia diubah menjadi sistem pemasyarakatan.

Lembaga Pemasyarakatan (disingkat LP atau LAPAS) adalah tempat untuk melakukan pembinaan terhadap narapidana dan anak didik pemasyarakatan di Indonesia. Lembaga Pemasyarakatan merupakan Unit Pelaksana Teknis di bawah Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (dahulu Departemen Kehakiman).

Penghuni Lembaga Pemasyarakatan bisa narapidana (napi) atau Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) bisa juga yang statusnya masih tahanan, maksudnya orang tersebut masih berada dalam proses peradilan dan belum ditentukan bersalah atau tidak oleh hakim.

Tetapi pada kenyataannya, Lembaga Pemasyarakatan mendapat kritik atas perlakuan terhadap para narapidana. Pada tahun 2006, hampir 10% diantaranya meninggal dalam lapas. Sebagian besar napi yang meninggal karena telah menderita sakit sebelum masuk penjara, dan ketika dalam penjara kondisi kesehatan mereka semakin parah karena kurangnya perawatan, rendahnya gizi makanan, serta buruknya sanitasi dalam lingkungan penjara. Lapas juga disorot menghadapi persoalan beredarnya obat-obatan terlarang di kalangan napi dan tahanan, serta kelebihan penghuni. Seperti: Lembaga Pemasyarakatan Klas I, Tanjung Gusta, Medan, Sumatra Utara, mengalami kelebihan kapasitas narapidana. Bahkan jumlah narapidana yang ditahan mencapai lebih dari 2 kali lipat ruang tahanan. LP kapasitasnya 1.054 orang, akan tetapi sekarang 2.600 orang. Over kapasitas lebih 100 persen. Kapasitas ini sudah termasuk pembangunan 14 LP baru yang dilakukan pada masa Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar pada 2010 lalu. Saat ini jumlah total LP di Indonesia mencapai 442. Penulis menilai, buruknya pemenuhan lapas ini masih ditambah dengan tingginya kriminalitas di Indonesia. Menurut data yang diperolehnya, memasuki 2012 lalu jumlah penghuni lapas nasional hanya mencapai sekitar 141.000. Sedangkan pada saat ini penghuni lapas sudah hampir mencapai 145.000 orang.

Pemerintah kewalahan menampung jumlah narapidana di Indonesia yang meningkat tajam. Tercatat jumlah penghuni lapas mencapai 144.953 penghuni, padahal kapasitas lapas tidak sampai 95 ribu orang. Perbandingan ini sudah jelas menunjukkan kurangnya fasilitas penampungan.

Saat ini terjadi penumpukan penghuni lapas di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Makassar, Medan, dan lain sebagainya. Menurut data situs Direktorat Jenderal Lembaga Pemasayarakatan, over capacity terjadi di 29 kantor wilayah dari 33 Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM. Artinya hanya sembilan kanwil yang memiliki LP yang cukup untuk menampung penghuni, baik tahanan maupun narapidana.

Tahanan Biasa atau VIP?

Namun kebalikan dari hal tersebut di atas, pada awal tahun 2010 terkuak kasus narapidana bernama Arthalita Suryani yang menjalani masa hukumannya di blok anggrek Rutan Pondok Bambu, Jakarta yang memiliki ruang karaoke pribadi dalam sel kurungannya berikut fasilitas pendingin udara (AC) dan dilengkapi kulkas beserta 1 set komputer jaringan guna memudahkan aktifitasnya mengontrol kegiatannya di luar rutan melalui internet. Ayin punya hak atas ruang seluas 8×8 meter yang dilengkapi dengan kasur busa, pendingin ruangan, televisi plasma, peralatan fitnes sederhana, meja kerja, serta kamar mandi pribadi lengkap dengan kloset duduk dan pancuran air hangat. Ia juga leluasa mendatangkan dokter ahli kecantikan untuk merawat kulitnya.

Juga Aling, narapidana kasus narkoba. Ia bahkan punya fasilitas karaoke di sel tahanannya. Kamar tahanannya semewah hotel, dindingnya ditutup wallpaper.

Tahanan biasa seperti “maling ayam” dll menempati bilik biasa, sementara bilik VIP ditempati para publik figur”, Para publik figur yang dimaksud adalah biasanya merupakan para pejabat atau orang kaya. Contohnya saja “para koruptor” yang dibui karena kasus penggelapan dan suap. Bilik tempatnya menjalani hukuman sangat besar. Dia juga diizinkan membawa ponsel dan mendapat perlakuan yang sangat baik.Atau seperti cerita seorang mantan narapidana, Syarifuddin S. Pane. Ia yang dipenjara tahun 2008 lalu mengungkapkan bagaimana kehidupan di dalam bui di LP Salemba. Mulai dari harga kamar khusus yang mencapai Rp30 juta, sampai praktik prostitusi. Semua ia abadikan dalam video. Adanya penjara mewah, atau yang sering disebut “bilik konglomerat” ini (dimana koran pagi bahkan selalu diantar ke lapas) kontan memicu protes dari beberapa kalangan. Bahkan teman saya berujar: “Tahanan yang miskin dipisahkan dari tahanan kaya, yang biasanya merupakan bandar narkoba atau pejabat korup. Bahkan penjara pun ada kelasnya, seperti dunia luar penjara saja”

Alih-alih efek jera, para tahanan di sejumlah penjara di negeri kita justru jadi “hotel” bagi pelanggar hukum. Aturannya, siapa berduit bisa mendapat fasilitas terbaik. Dari beberapa media mengabarkan, beberapa penjara memiliki dua jenis bilik: bilik biasa dan VIP. Kondisi keduanya I bagai bumi dan langit. Jika bilik biasa keadaannya memprihatinkan, maka bilik VIP memiliki fasilitas layaknya hotel bintang lima.

Catatan Kritik

Dan mengenai catatan kritik tentang “Pelajaran dari Tanjung Gusta” ini, Penulis mencoba menggaris bawahi “tiga point” penting dalam catatan ini, yaitu: Pertama, Menteri Hukum dan HAM beserta jajarannya “seyogyanya” mengintensifkan jadwal kunjungan kerjanya ke lembaga pemasyarakatan di seluruh Indonesia. Kunjungan ini akan dilakukan baik secara formal maupun inspeksi nonformal untuk memantau keberadaan lapas. Dan untuk mengantisipasi kerusuhan agar tak terjadi lagi, “segeralah” memindahkan napi-napi ke sejumlah LP. Karena over kapasitas yang luar biasa, “proses” mendistribusikan pada LP terdekat atau LP yang lain. Nah, tentunya kemampuan pemerintah sangat terbatas, yang bukan tidak mungkin akan semakin membebani “psikologis masyarakat”. Dengan cara semacam itu, bagaimana jika terjadi hal yang sama dengan kasus Tanjung Gusta ini?. Bisa dibayangkan seandainya kasus serupa Tanjung Gusta ini terjadi bersamaan di beberapa Lapas. Bisa dipastikan mencekam?. Lapas tidaklah bisa terlepas sama sekali dari peran Kemhumkam dalam mendukung keberadaannya, terutama dalam masalah pengawasan. Maklum, pengawasan Lapas selama ini menjadi tidak menjadi domain sentral aparat. Kalau persoalan sebuah lapas bisa terdeteksi sejak dini, niscaya tragedi atau kejadian seperti di Tanjung Gusta tidak akan sebesar yang terjadi sekarang ini. Sayangnya, “Nasi sudah menjadi bubur”. penyakit kronis yang diderita ”Lapas dan narapidananya” dibiarkan berlarut-larut hingga kini. Akhirnya, penyakit yang dibawa itu menjadi bom waktu yang meluluhlantakkan “banguna hukum” yang selama ini sudah dibangun dengan susah payah. Tanjung Gusta harus diselamatkan. Karena itu, pemerintah (dalam hal ini kemhumkam) harus ekstraketat mengawasi lapas-lapas, terutama untuk mencegah terjadinya penyakit kronis seperti di Tanjung Gusta. Di sini perlu ketegasan pemerintah, sehingga tidak terjadi “penyesalan” berlarut-larut.

Kedua, pemerintah harus segera mensosialisasikan revisi PP Nomor 99 Tahun 2012, dimana PP ini dikeluarkan pemerintah untuk menegaskan bahwa agenda pemerintah dalam memberantas narkoba, korupsi, secara tegas. Sehingga remisi PP tidak secara mudah diberikan. Mengenai adanya revisi yang dikeluarkan pemerintah itu, Para napi juga memprotes Peraturan Pemerintah tersebut yang dianggap merugikan mereka. PP tersebut menyebutkan napi kasus korupsi, narkoba, dan terorisme tidak mendapatkan remisi, termasuk menjelang Hari Ulang Tahun RI.

Dan Ketiga, Mengembalikan fungsi lapas menjadi tempat “Rehabilitasi dan Reintegrasi”. Artinya, Penjara mencoba untuk merehabilitasi narapidana sehingga mereka akan terhindar dari tindak kejahatan di masa depan. Sebagian besar lapas memiliki program kejuruan dan pendidikan, konselor psikologis, dan berbagai layanan yang tersedia untuk membantu narapidana bisa meningkatkan keterampilan mereka, pendidikan, dan konsep diri. Sebagian besar lapas menyediakan program yang dirancang untuk mengintegrasikan kembali narapidana ke masyarakat. Dalam karya-release dan studi-release program, narapidana dapat berpartisipasi dalam pekerjaan atau kegiatan pendidikan di luar penjara. Sebagai narapidana, mendekati tanggal pembebasan bersyarat atau rilis, beberapa orang diijinkan mengambil cuti untuk mengunjungi keluarga mereka pada akhir pekan tanpa pengawalan. Keterlibatan dengan kegiatan masyarakat dapat membantu narapidana menyesuaikan diri kepada masyarakat setelah mereka telah dibebaskan

Terakhir, pelajaran penting yang bisa dipetik adalah urgensi untuk meningkatkan fungsi “sebuah” penjara, untuk menjadi sebagai tempat pembinaan “ideal”, dimana para terpidana di dalamnya menyesali perbuatan dan mengubah diri menjadi pribadi yang lebih baik, jika ia punya kesempatan untuk kembali ke masyarakat.

Sekali lagi, kita semua tetap harus belajar untuk terus menegakkan rambu-rambu kehati-hatian. Tanpa langkah itu, kita akan “terjerembab” ke persoalan yang sama.

Tentang penulis:
Eko Supriatno SIP MPd, direktur Banten Religion and Culture Center (BRCC), dosen FISIP Universitas Mathla’ul Anwar Banten, ketua ICMI Orsat Labuan. Kontak person: 081385628075. Email: eko_mpd@yahoo.co.id



ISSN 1979-9373
ISSN GagasanHukum.WordPress.Com

ARSIP

KLIK TERTINGGI

  • Tidak ada

STATISTIK PENGUNJUNG

  • 2.679.017 hits
Juli 2013
S S R K J S M
1234567
891011121314
15161718192021
22232425262728
293031