Abah Iful dan Kemerdekaan

Oleh Soetjipto

Kiai karismatik sekaligus ”nyentrik” telah berpulang dan malam ini tahlil hari ke-7. Ia adalah Abah Syeikh Muhammad Saeful Anwar Zuhri Rosyid, yang oleh santrinya, pimpinan Ponpes Salafiyah Az-Zuhri Ketileng Semarang itu lebih

dikenal sebagai Abah Iful. Pernah suatu malam, ketika Abah usai meminum kopi, kiai lain berebut mendapatkan cangkir agar dapat meminum kopi yang tersisa. Banyak kiai sangat takzim kepadanya.

Di kediamannya, Jalan Ketileng Indah III/6, ia menerima tamu, baik yang ingin bersilaturahmi maupun meminta restu. Apa pun latar belakang politik, ideologi, ataupun status sosialnya, tamu itu diterimanya dengan senang hati. Di tempat ini pula, bakda shalat subuh, ia memberi siraman rohani. Pondok pesantren dan masjid yang ia bangun berada di seberang jalan, di Jalan Ketileng Raya 13 A.

Tak hanya ilmu agamanya yang tinggi, pandangannya juga luas. Ia biasa berdiskusi dengan pakar berbagai disiplin ilmu, juga budayawan dan seniman. Hampir semua pimpinan perguruan tinggi di Semarang merasakan kehangatan bertukar pikir di ponpes ini.

Semangat ukhuwah islamiyahnya pantas diteladani. Pada akhir 2008, pondok yang diasuhnya menghadirkan tokoh Islam dari organisasi berbeda. Seperti Prof Dr H Abu Su’ud (Muhammadiyah), Prof Dr H Abdullah Syam (LDII Pusat), Prof Dr H Abdul Djamil (NU) dan sejumlah tokoh lain. Suasana yang sungguh menyejukkan. Mereka banyak berbicara tentang persamaan sebagai muslim.

Ada hal lain yang menarik darinya. Kebanyakan ulama mengenakan baju koko putih tetapi Abah Iful lebih sering mengenakan serbahitam. Baju koko dan kain sarung warna hitam. Kegemaran mengenakan pakaian serbahitam ini diikuti santrinya. Ada ceritera lain lagi. Konon sudah lebih dari 20 tahun ia tidak mengonsumsi apa-apa, kecuali minum kopi, merokok, dan sesekali susu. Beliau memang perokok berat.

Ikhwal Kemerdekaan

Satu hal yang layak diketengahkan dari pandangan Abah adalah tentang kemerdekaan. Hal ini dikemukakan ketika ia menjadi pembicara dalam halaqah tentang hijrah pada peringatan Tahun Baru 1430 H di ponpesnya. ”Proklamasi kemerdekaan sudah lebih 60 tahun dikumandangkan. Sudahkah Indonesia kini benar-benar merdeka?” Pernyataan sekaligus pertanyaan itu, dijawab sendiri, ”belum.”

Menurut Abah, secara fisik memang tak dijajah lagi oleh negara lain tetapi disadari atau ti-dak banyak belenggu yang membuat kita tidak merdeka secara nyata, alias terjajah. Keterjajahan yang paling nyata menurutnya, dalam soal pola pikir.

Salah satu contoh, pola pikir yang membuat orang begitu bergantung kepada uang dan materi. Uang dan materi seolah menjadi parameter dan sistem nilai dalam semua sektor kehidupan. Bahkan untuk berbuat kebaikan pun perlu uang. Seolah-olah makin banyak uang yang dikeluarkan makin tinggi nilai kebaikan. Pola pikir seperti ini, menjadikan ruang gerak kita terbatas hanya dalam kerangka keuangan. Pola pikir inilah, tambah Abah, menjadikan negara kita keropos oleh korupsi.

Merdeka secara nyata, menurut Abah, adalah ketika kita mampu menegakkan kebenaran yang diyakini tanpa ada perasaan takut. Kemerdekaan seperti ini yang kini sulit dimiliki kebanyakan rakyat karena masih dililit oleh berbagai kesulitan.

Cara terbaik untuk melepaskan belenggu keterjajahan, kata kiai ini, dengan melakukan hijrah. Hijrah dari keburukan ke kebaikan. Hijrah dari pemikiran lama,yang keropos ke pemikiran dan semangat baru.

Hijrah bukan sekadar melarikan diri dari belenggu-belenggu yang mengekang melainkan juga membangun kekuatan guna melawan belenggu itu. Itu pulalah yang dilakukan Nabi saw ketika hijrah dari Makkah ke Madinah. Itulah secuil kenangan yang dapat saya catat dari mendiang. Abah telah meninggalkan kita semua, semoga arwahnya mendapatkan tempat yang paling mulia di sisi Allah swt. (Sumber: Suara Merdeka, 19 Februari 2013)

Tentang penulis:
Soetjipto SH MH, warga Jalan Bintoro II Semarang



ISSN 1979-9373
ISSN GagasanHukum.WordPress.Com

ARSIP

STATISTIK PENGUNJUNG

  • 2.678.236 hits
Februari 2013
S S R K J S M
 123
45678910
11121314151617
18192021222324
25262728