Penerapan Norma Hukum dalam Peraturan Kode Etik

Oleh Herdiansyah Hamzah

Pengantar redaksi:
Artikel ini merupakan cuplikan makalah yang dipresentasikan di hadapan anggota Badan Kehormatan DPR RI tanggal 4 Oktober 2012 saat berkunjung di Universitas Mulawarman Samarinda Kalimantan Timur.

Kebaikan publik hendaknya menjadi tujuan legislator, manfaat umum menjadi landasan penalarannya. Mengetahui kebaikan sejati masyarakat adalah hal yang membentuk ilmu legislasi, ilmu tersebut tercapai dengan menemukan cara untuk merealisasikan kebaikan tersebut. (Jeremy Bentham)

Norma Hukum

Norma hukum merupakan aturan sosial yang dibuat oleh lembaga atau organisasi tertentu, sehingga dengan tegas dapat melarang serta memaksa orang untuk dapat berperilaku sesuai dengan keinginan pembuat peraturan itu sendiri. Pelanggaran terhadap norma tersebut dapat berupa sanksi yang beragam, tergantung seberapa besar pelanggaran yang dilakukan. Dalam kehidupan bermasyarakat, walaupun telah terdapat norma yang ditujukan untuk menjaga keseimbangan sosial, namun norma sebagai pedoman perilaku dan bertindak, kerap kali dilanggar atau tidak diikuti. Oleh karena itu, dibuatlah norma hukum sebagai peraturan atau kesepakatan tertulis yang memiliki sanksi dan alat penegaknya.

Penerapan norma hukum, tentu saja berperan besar dalam hal pembuatan peraturan mengenai kode etik, yang secara substantif mengatur prilaku keseharian anggota dalam suatu organisasi tertentu. Secara sederhana, kode etik dapat diartikan sebagai norma-norma atau aturan-aturan yang merupakan kesatuan landasan etik atau filosofis dengan peraturan perilaku, baik tindakan maupun ucapan mengenai hal-hal yang patut atau diwajibkan, dilarang, dan atau tidak patut dilakukan oleh seorang anggota suatu lembaga atau orang yang berprofesi tertentu.

Semua profesi memiliki rumusan kode etik tertentu, sebut saja kode etik Dokter, kode etik Notaris, kode etik Jurnalis, kode etik Kepolisian dan lain sebagainya. Kode etik akan menjaga kehormatan dan nama baik suatu lembaga atau organisasi, meningkatkan kredibilitas serta menjadi pengarah profesi. Semakin beradab suatu masyarakat, semakin tinggi pelaksanaan kode etik, maka semakin maju negara tersebut. Dan inilah yang menjadi landasan pokok, mengapa pengaturan kode etik sangat dibutuhkan, dimana norma-norma hukum dalam peraturan tersebut, akan menjadi senjata yang ampuh di dalam menjaga martabat dan prilaku keseharian.

Dalam hal pelaksanaan kode etik, terdapat 2 (dua) norma yang mengaturnya, yakni norma social dan norma hukum. Akan tetapi norma sosial tidak memiliki aturan yang pasti dan bersifat tidak terlalu memaksa. Bahkan dalam hal sanksi, norma sosial cenderung memiliki sanksi yang ringan. Norma social memiliki keterkaitan yang kuat dengan budaya hukum (legal culture) di dalam masyarakat, khususnya menyangkut kebiasaan-kebiasaan tertentu yang bersifat tidak tertulis. Maka dari itu, sanksi yang berlakupun terhadap pengabaian norma ini, lebih tepat disebut sanksi social, bukan sanksi hukum. Untuk itu, penerapan norma hukum dalam pelaksanaan kode etik menjadi hal pokok yang dibutuhkan, diluar norma social yang memang telah ada atau berlaku dalam masyarakat. Disamping memiliki aturan yang lebih pasti dan tertulis, norma hukum juga memiliki alat penegak hukum yang di dalam menjalankan fungsinya dapat memberikan sanksi yang cukup berat dan bersifat memaksa dalam setiap pelanggaran yang terjadi.

Kejelasan Istilah

Suatu peraturan, tentu saja memiliki kaidah-kaidah umum yang memiliki fungsi untuk menjelaskan istilah-istilah operasional yang digunakan. Kaidah umum dalam penggunaannya dalam system perundang-undangan Indonesia, disebut juga dengan ketentuan umum (interpretation clouse). Menurut Asshiddiqie (2010) , dalam istilah ketentuan umum, seharusnya termuat pula hal-hal lain yang bersifat umum, seperti pengantar, pembukaan, atau preambule undang-undang. Akan tetapi telah menjadi kelaziman atau kebiasaan sejak dulu bahwa setiap undang-undang selalu didahului oleh ketentuan umum. Manfaat pokok dari ketentuan umum ini adalah penjelasan terperinci terhadap materi pokok (content) dari suatu peraturan yang dibuat. Dari ketentuan umum inilah yang dijadikan dasar untuk memberikan definisi dan pengertian makna yang terdapat dalam bagian batang tubuh suatu peraturan.

Pasal 5 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, diatur mengenai asas pembentukan peraturan perundang-undangan. Salah satunya adalah kejelasan rumusan (huruf f). Dalam penjelasan huruf f ini, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “asas kejelasan rumusan” adalah bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan Peraturan Perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya . Asas ini jelas ingin membangun interpretasi hukum yang tidak multi tafsir atau tidak bermakna ganda.

Dalam lampiran Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang juga merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Undang-undang tersebut, dijelaskan mengenai ragam bahasa perundang-undangan. Pada BAB III Huruf A angka 242 Disebutkan bahwa, “Bahasa Peraturan Perundang–undangan pada dasarnya tunduk pada kaidah tata Bahasa Indonesia, baik pembentukan kata, penyusunan kalimat, teknik penulisan, maupun pengejaannya. Namun bahasa Peraturan Perundang-undangan mempunyai corak tersendiri yang bercirikan kejernihan atau kejelasan pengertian, kelugasan, kebakuan, keserasian, dan ketaatan asas sesuai dengan kebutuhan hukum baik dalam perumusan maupun cara penulisan”. Frase mengenai “corak tersendiri”, bermakna bahwa dalam setiap peraturan perundang-undangan memiliki kecenderungan “different from ordinary speech”, yakni penggunaan bahasa hokum yang berbeda dari bahasa keseharian.

Sebagaimana dipahami bahwa bahasa hokum (legalese) sangatlah berbeda dengan bahasa keseharian (ordinary speech). Penggunaan bahasa hokum dalam kerangka pembentukan suatu peraturan perundang-undangan, tidak hanya berhubungan dengan dapat atau tidaknya teks-teks itu dimengerti oleh masyarakat (public), akan tetapi juga menyangkut persoalan interpretasi atau penafsiran. Namun karena tulisan teks dalam peraturan yang akan dibuat itu bersifat permanen (tidak dapat diubah), maka pembentuk peraturan perundang-undangan dapat menciptakan teks-teks yang mungkin harus dapat ditafsirkan beberapa tahun mendatang yang saat ini tidak diketahui masyarakat. Disinilah makna penting kelugasan dan kejelasan pengertian dalam suatu produk peraturan hokum.

Bahasa perundang-undangan, diharuskan memiliki kaidah-kaidah pengertian yang jelas, sebagaimana yang disebutan pada angka 244, yang berbunyi, Dalam merumuskan ketentuan Peraturan Perundang–undangan digunakan kalimat yang tegas, jelas, singkat, dan mudah dimengerti. Untuk itu, penggunaan istilah maupun penjabaran isi dari sebuah peraturan, tidak boleh kurang atau berlebihan. Jika frase kalimat dianggap jelas baik makna dan tafsirannya, maka dapat dinilai cukup sebagai norma yang mengatur hal tertentu. Dalam penggunaan bahasa hokum, juga harus member istilah yang kongkret. Sangat berbeda pemahaman seseorang mengenai istilah yang mengacu pada benda nyata (kongkret) dengan istilah yang hanya mengacu kepada pengertian (tidak pada benda). Untuk itu, setiap istilah yang hanya mengacu kepada pengertian tersebut, diperlukan penjelasan yang lebih sistematis dan terperinci . Kata-kata atau istilah yang tidak mengacu kepada benda, semisal partisipasi, demokrasi, kampanye, lobi dll.

Penggunaan frase kalimat yang tidak jelas (absurd) juga harus dihindari. Pada angka 245, secara jelas disebutkan bahwa, bahasa perundang-undangan yang baik adalah tidak menggunaan kata atau frasa yang artinya tidak menentu atau konteksnya dalam kalimat tidak jelas. Sebagai contoh, istilah minuman keras mempunyai makna yang kurang jelas dibandingkan dengan istilah minuman beralkohol. Maka efektifitas norma yang mengatur kaidah tertentu juga sangat ditentukan oleh frase kalimat yang menjelaskan kaidah-kaida tersebut. Norma hokum dalam kode etik, memiliki peran besar dalam membangun implementasi atau penerapannya dilapangan. Norma yang mengatur jelas objek, dalam hal ini kode etik, akan memberikan kedisiplinan dalam penerapannya.

Tentang penulis:
Herdiansyah Hamzah SH LLM, dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Samarinda. Kontak person: 085242880100. Email: herdihamzah@gmail.com



ISSN 1979-9373
ISSN GagasanHukum.WordPress.Com

ARSIP

KLIK TERTINGGI

  • Tidak ada

STATISTIK PENGUNJUNG

  • 2.679.017 hits
November 2012
S S R K J S M
 1234
567891011
12131415161718
19202122232425
2627282930