Mengurai Akar Konflik Agraria

Oleh M Edy Bisri Mustofa

Persoalan agraria yang mencuat kepermukaan akhir-akhir ini, merupakan implikasi dari orentasi ekonomi dan kebijakan agraria di masa lalu. Persoalan ini berurat akar pada masa yang panjang sejak kolonial, orde baru dan hingga kini. Warisan kebijakan tersebut ternyata makin membuat ketimpangan penguasaan agraria hingga menyebabkan konflik yang terus bergulir di tengah masyarakat.

Kian meningkatnya persoalan agraria di negara ini termasuk Lampung, akhirnya menggugah Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI membentuk panitia khusus (pansus) konflik agraria dan sumber daya alam (SDA). Pengesahan pansus tersebut dilakukan dalam rapat paripurna DPD yang dipimpin ketua Irma Gusman. Ini sebuah langkah awal yang positif, namun masyarakat pasti berharap pensus yang sudah dibentuk tidak jalan ditempat yang akhirnya bubar tanpa ada hasil.

Sesungguhnya langkah-langkah untuk meluruskan kembali orentasi perundang-undangan sektoral yang dilakukan pada masa orde baru melalui UU No 1 tahun 1967 tentang PMA dan UU no 11 tahun 1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok di bidang pertambangan, yang akhirnya membuka peluang bagi swasta asing mengeksploitasi sumber daya alam Indonesia sudah dilakukan sejak tumbangnya orde baru. Melalui TAP MPR No IX tahun 2001, isi klausalnya menegaskan kembali agenda untuk meninjau semua peraturan perundang-undangan mengenai agraria dan sumber daya alam yang telah menyimpang dari UUD 1945 dan UU No. 5 tahun 1960, serta mengembalikannya pada dasar yang telah ditetapkan UUD 1945 terutama pasal 33 ayat 1, 2 dan 3 serta UU No. 5 tahun 1960 (UUPA).

Namun upaya tersebut terganjal sehingga menimbulkan sektoralisme yang makin meluas dan membuka ruang yang jauh lebih besar lagi untuk masuknya modal asing di dalam mengeksploitasi sumber agraria dan sumber daya alam lainnya. Ini sungguh suatu penyimpangan yang mendasar terhadap UUD 1945 dan UU No 5 tahun 1960.

Oleh karena itu, kiranya langkah yang diambil oleh DPD agar segera terealisasi untuk mengakhiri cara-cara penghisapan manusia atas manusia. Berikan dengan sebenarnya rasa kemerdekaan rakyat untuk mengelola sumber daya alam/agraria bagi kesejahtraannya. Hapus kebijakan-kebijakan de agrarianisasi pada masa orde baru yang menjauhkan bagi kepentingan masyarakat Indonesia.

Dampak Kebijakan Ego Sektoral

Sesungguhnya sektoralisme menguatkan ego sektoral Kementrian yang mengatur pemanfaatan sumber agraria dan sumber daya alam. Seperti UU No. 41/1999 tentang kehutanan, secara sepihak pemerintah menunjuk luas kawasan hutan adalah 136.94 juata herkat atau 69 persen wilayah Indonesia. Tentunya UU kehutanan ini merupakan yang sangat merugikan masyarakat adan dan petani. Sementara proses lanjutan setelah penunjukan (penetapan tata guna hutan kesepakatan atau TGHK) tidak pernah dijalankan secara serius oleh pemerintah.

Sampai kini, 121, 74 juta (88%) hektar kawasan hutan belum ditata batas. Dengan demikian, dapat diambil benang merahnya bahwa kawasan hutan yang ada selama ini yang dipakai oleh pemerintah mengusir rakyat adalah ilegal dan tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Padahal, ada masalah besar disana, sebab di dalam kawasan hutan yang ditunjuk secara sepihak, terdapat sekitar 19,000 desa yang penduduknya setiap hari rawan mengalami kriminalisasi, penggusuran dan pengusiran paksa dengan dalih kawasan hutan. Menurut data Kementrian Kehutanan, luas HTI hingga kini mencapai 9,39 juta hektar dan dikelola oleh 262 unit perusahaan dengan izin hingga 100 tahun. Bandingkan dengan izin hutan tanaman rakyat (HTR) yang sampai sekarang hanya seluas 631.628 hektar. Sementar, luas HPH di Indonesia 214,9 juta hektar dari 303 perusahaan HPH. Implikasinya adalah meluasnya konflik yang terjadi dikawasan hutan.

Sementara itu, orientasi ekonomi untuk memenuhi tuntutan pasar global pada komuditas tertentu ( dulu kopi, gula, lalu belakangan karet, dan terahir sawit) perkebunan menyebabkan pola ekstraksi intensif perkebunan ini terus dilangengkan. Bahkan belakangan semakin masif sejak dekade terahir ketika komuditas sawit menjadi primadona global. Ekstraksi intensif perkebunan ini menyebabkan penyingkiran rakyat pada akses lahan mereka dan akibatnya menimbulkan konflik agraria yang juga semakin masif.

Menurt data BPN hingga 2010 kasus agraria telah mencapai 8.000 kasus, sementara laporan akhir tahun Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) pada tahun 2011 mencatat 163 konflik yang menyebar seluruh Indonesia. Terjadi peningkatan drastis jika dibandingkan dengan tahun 2010 (106 konflik). Dari sisi korban, terdapat 22 petani/warga yang meninggal di wilayah-wilayah sengketa dan konflik agraria. Konflik yang terjadi melibatkan lebih dari 69.975 kepala keluarga, sementara luas area konflik mencapai 472.948,44 hektar. Dari 163 kasus yang terjadi, terdapat 97 kasus pada sektor perkebunan (960%), 36 kaus di sektor kehutanan (22%), dan 1 kasus pada wilayah tambak/pesisir (1%). Sementara dilihat dari sebaran wilayah konflik, jumlah konflik atau sengketa agraria terbanyak di Provinsi Jawa Timur dengan 36 kasus, Sumatera Utara 25 kasus, Sulawesi tenggara 15 kaus, Jawa Tengah 12 kasus, Jambi 11 kasus, Riau 10 kasus, Sumatera Selatan 9 kasus, Lampung 5 kasus, dan sisanya tersebar di sebagian besar Provinsi di Indonesia.

Sementara data HuMa dari 110 sengketa agraria, setidaknya terdapat 2,7 juta hektar lahan yang menjadi obyek konflik melibatkan pemerintah dan perusahaan sebagai pelaku dominan. Selain itu data yang di dapat dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (Aman) sepanjang tahun 2011 telah terjadi pelanggaran HAM terhadap masyarakat adat. Seperti yang dialami oleh rakyat penunggu di Sumatera Utara yang mempertahankan hak atas tanah adatnya, di Kalimantan Barat, komunitas adat Semuying Jaya. Beberapa aktifitas gerakan masyarakat adat dikriminalisasi dan ditahan aparat kelopisian.

Kasus yang hampir sama juga terjadi di beberapa kabupaten di Provinsi Kalimantan Barat, aeperti kabupaten Sangkau, Ketapang, Sintang, Melawai, Landak dan Sambas. Di kabupaten Manggarai Barat, NTT lima orang anggota komunitas adat ditangkap dan diproses pengadilan. Dan kasus yang terbaru adalah komunitas adat pekasa di kabupaten Sumbawa Besar, yang berhadapan dengan aparat keamanan untuk mempertahankan wilayah adatnya.

Apa yang dipaparkan tersebut terkait dengan kebijakandari lembaga sektoral yang memberikan ijin ekspansi industri ekstraktif di basis kehutanan, pertambangan, dan perkebunan. Dengan demikian maka Kementerian Kehutanan, Kementrian ESDM, Kementerian BUMN dan Kementrian Keuangan serta Badan Pertahanan Nasional adalah institusi-institusi negara yang harus dimintai pertanggung jawaban atas kebijakan yang telah diberikan tersebut. Karena kebijakan yang pro pasar ini telah menyebabkan ketimpangan agraria yang sangat besar. Dimana sebagian kecil warga negara hanya 0,2% menguasai sebagian besar aset nasional yaitu 56% yang 87% adalah berupa tanah. Konsekwensi logisnya adalah semakin masifnya jumlah konflik-konflik agraria dan sumber daya alam.

Dampak lain dari ego sektoral antar institusi tersebut, tidak terselesaikannya konflik-konflik agraria yang terjadi. Departemen Kehutanan dan Badan Pertanahan Nasional nyaris tak pernah satu kata dalam menyelesaikan sengketa yang berda di kawasan hutan. Tentu saja alasannya karena kewenangannya atas kawasan hutan ada diwilayah Departemen Kehutanan dengan mendasarkan diri pada UU No. 41 tahun 1999. Padahal hutan merupakan salah satu sumber agraria yang juga harus menundukkan diri pada UUPA 1960. Sementara itu konflik yang ada di kawasan hutan Departemen Kehutanan sendiri belum memiliki mekanisme penyelesaiannya. Satu-satunya mekanisme yang dilakukan oleh Departemen Kehutanan adalah dengan mengeluarkan SK Menhut No 90 tahun 2011 mengenai Task Force Penyelesaian Konflik Hutan, itupun belum selesai disusun (SOP)-nya. Disisi lain Kementrian Kehutanan bersikap longgar terhadap konversi hutan menjadi perkebunan dibanding pelepasan kawasan hutan untuk redistribusi lahan bagi petani. Terhadap akses rakyat atas lahan, Departemen Kehutanan menganut paham pemberian akses pengelolaan lahan tapi bukan kepemilikan lahan, dengan beberapa program kehutanan sosial melalui hutan kemasyarakatan (HKM), hutan tanam rakyat (HTR), maupun hutan desa.

Sementara BPN hanya berwenang untuk mengatur hal-hal yang bersifat administrasi pertanahan saja terutama pendaftaran tanah, pengaturan dan penetapan hak-hak atas tanah. Perubahan institusi BPN dari waktu ke waktu menunjukkan bahwa di masa orde lama memiliki daya politik sebagai satu paket dari politik agraria pasca kemerdekaan yang dutujukan untuk melaksanakan UUPA 1960. Seiring perubahan politik maka institusi ini dikerdilkan fungsi politiknya menjadi fungsi administrasi semata dan dikecilkan lagi posisinya dari kementrian negara menjadi hanya badan.

Tentunya ini menunjukkan betapa lemahnya posisi BPN ketika berhadapan dengan Departemen Kehutanan, ESDM, Keuangan dan Kementrian lainnya terkait dengan agraria dan sumber daya alam. Seperti hadirnya PP No 11 tahun 2010 tentang penertiban tanah terlantar yang ternyata hanya memberikan sedikit kekuasaan kepada BPN untuk menyelesaikan ijin HGU-nya pada perkebunan swasta yang diterlantarkan saja. PP ini salah satu dari resolusi konflik tapi hanya terbatas pada perkebunan swasta terlantar, dengan menyisakan sebagaian terbesar konflik agraria pada perkebunan negara, hutan dan tambang.

Dalam upaya penanggulangan konflik BPN dan Polri bekerjasama melalui MOU. Belakangan justru MOU tersebut menjadi sumber masalah baru karena memberi ruang pada pemberian tindakan represi aparat pada konflik-konflik agraria. Oleh karena itu, BPN perlu dimintai pertanggungjawaban atas adanya MOU dengan Polri untuk menyelenggarakan pengamanan terhadap sengketa agraria. Secara khusus pula institusi TNI dan Polri harus dimintai pertanggung jawaban pula atas keterlibatannya pada kasus-kasus kekerasan terhadap masyarakat saat timbulnya konflik agraria dan sumber daya alam.

Terahir penulis memberikan masukan agar konflik agraria tidak terus terjadi. Pertama, perlunya evaluasi menyeluruh terhadap semua peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih dan menguatkan ego sektoral, termasuk evaluasi terhadap peraturan di bawah undang-undang. Kedua, menyusun kebijakan penyelesaian konflik secara menyeluruh yang mampu mengatasi semua ego sektoral kementrian yang terkait deng konflik selama ini, termasuk di dalamnya adalah strategi mengatasi problem institusi bagi penyelesaian konflik agraria secara nasional. Semoga berawal dari pansus yang di bentuk oleh DPD semua dapat dilakukan. Semoga!

Tentang penulis:
M Edy Bisri Mustofa, Pimpinan Majelis Wilayah KAHMI Provinsi Lampung. Email: edibisrimustofa@yahoo.co.id



ISSN 1979-9373
ISSN GagasanHukum.WordPress.Com

ARSIP

KLIK TERTINGGI

  • Tidak ada

STATISTIK PENGUNJUNG

  • 2.678.894 hits
Februari 2012
S S R K J S M
 12345
6789101112
13141516171819
20212223242526
272829