Logika Absurd Desakralisasi Mahkamah Konstitusi

Oleh Gunawan Abdullah Tauda

Sebagai penjaga konstitusi serta penjaga hak asasi manusia dan hak konstitusi rakyat, upaya desakralisasi Mahkamah Konstitusi harus diberantas. Kepercayaan publik terhadap salah satu cabang pelaksana kekuasaan kehakiman ini masih tetap tinggi, karena MK adalah pemecah masalah atas masalah-masalah ketatanegaraan. Dengan efektivitas, kredibilitas, dan akuntabilitas yang dimilikinya saat ini, Mahkamah Konstitusi adalah ‘jalan terang’ menuju hari esok yang lebih baik untuk Republik Indonesia.”

Mahkamah Konstitusi, sebagai peradilan ketatanegaraan, memiliki kewenangan dalam menyelesaikan masalah ketatanegaraan melalui kewenangan-kewenangan tertentu, yakni melakukan constitutional review undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memeriksa dan memutuskan sengketa kewenangan antarlembaga negara yang kewenangannya bersumber pada UUD, memutuskan dakwaan (impeachment) Dewan Perwakilan Rakyat bahwa presiden dan atau wakil presiden telah melakukan pelanggaran tertentu yang ditentukan dalam undang-undang atau tidak memenuhi syarat lagi sebagai presiden dan atau wakil presiden, memutuskan pembubaran partai politik tertentu, dan memutuskan sengketa hasil pemilihan umum. Sejak dibentuknya UU No. 12 Tahun 2008, yang merupakan perubahan atas UU No. 32 Tahun 2004, kewenangan MK bertambah satu lagi, yakni memutuskan sengketa hasil pemilihan umum kepala daerah (pemilukada).

Kewenangan tambahan untuk memutuskan sengketa hasil pemilukada ini tampaknya memberi beban baru yang bisa jadi mengganggu kinerja Hakim Konstitusi untuk melaksanakan kewenangannya yang utama, yakni constitutional review. Bahkan, terjadi sengketa hasil pemilukada yang sepele hanya karena sebuah merek roti yang disajikan di TPS ketika hari H pemilukada identik dengan salah satu nama pasangan calon, dan dipermasalahkan hingga ke MK. Memang sudah selayaknya dikaji kembali keberadaan kewenangan tambahan ini, apakah tetap dipertahankan atau dicarikan solusi terbaiknya. Salah satu alternatifnya, penyelesaian pemilukada hanya dilakukan di tingkat pengadilan tinggi setempat. Apabila tetap dipertahankan di MK, mekanisme internal di tubuh MK harus menjamin tetap sterilnya lembaga ini dari infiltrasi koruptif sarat kepentingan politik, baik dari makelar perkara (makar) pemilukada maupun pihak-pihak lainnya.

“Temuan Sangat Terbatas” Tim Investigasi dugaan penyuapan kepada hakim konstitusi yang dipublikasikan pada Kamis, 9 Desember, setidaknya menyadarkan kita untuk tetap waspada terhadap upaya absurd desakralisasi MK, sebuah lembaga esensial yang lahir dari rahim reformasi, dan gagasan adanya perluasan kewenangan pengawasan Komisi Yudisial terhadap Hakim Konstitusi. Temuan sangat terbatas yang perlu diverifikasi lebih lanjut tersebut pada prinsipnya tetap menegaskan integritas para Hakim Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi itu sendiri. Mengutip rangkaian pernyataan Mahfud Md., dugaan-dugaan tersebut tidaklah berdasar, omong kosong, fitnah, yang dimunculkan oleh Refly Harun, sebagai makar pemilukada yang sering kalah ketika beperkara di MK.

Logika absurd desakralisasi MK yang dilakukan Refly, yang anehnya berstatus pakar hukum tata negara, bisa jadi merupakan ekspresi kekecewaannya karena sering kalah dalam beperkara, ataupun karena kepeduliannya untuk tetap menjaga sterilitas MK sebagai peradilan yang dipercayainya. Hanya Refly sendiri dan Tuhanlah yang tahu apa yang ada di hatinya. Entah apa pun tujuannya, dampak signifikan yang ditimbulkan dari polemik ini paling tidak sebagai berikut.

Pertama, tercederainya citra MK sebagai salah satu cabang pelaksana kekuasaan kehakiman yang bersih dan berwibawa di mata publik. Paling tidak, akan timbul keraguan publik atas kredibilitas dan integritas MK. Apalagi bila perkara ini secara tidak proporsional dibesar-besarkan media hanya demi kepentingan rating dan komersial semata. Bagi mereka yang terbatas penerimaan informasinya, akan mudah mengatakan, “Tidak ada lagi lembaga peradilan yang bersih di Indonesia, dan tidak ada lagi lembaga peradilan di negeri ini yang dapat dipercaya.” Pernyataan ini tidak tepat, karena kenyataan bernegara saat ini menunjukkan atmosfer perubahan ke arah yang lebih baik. Mahkamah Agung, yang dulunya “suram”, saat ini sedang giat-giatnya berbenah diri. Sedangkan MK hingga saat ini masih tetap memiliki kapasitas, integritas, dan kapabilitas untuk mewujudkan cita negara hukum yang demokratis (democratische rechtsstaat).

Kedua, tercederainya kepercayaan publik terhadap Hakim Konstitusi. Dampak psikologis yang ditimbulkan terhadap para Hakim Konstitusi tentu saja buruk. Paling tidak kinerja mereka akan terbebani dengan citra negatif yang teratribusikan secara langsung karena pemberitaan yang tidak benar. Terlebih lagi kehidupan mereka dan keluarganya tidak lagi sama seperti dulu, meskipun ketenangan diri mereka akan pulih dengan sendirinya. Melalui tulisan ini, tersampaikan rasa percaya serta dukungan moral dan doa kepada sembilan Hakim konstitusi, terutama Ketua Mahkamah Konstitusi Moh. Mahfud Md., yang di mata penulis memiliki integritas moral pribadi sebagai negarawan, sigap, dan tepat bereaksi untuk melindungi Mahkamah Konstitusi. Identitas para Hakim Konstitusi, baik yang lalu maupun sekarang, akan tercatat dengan tinta emas pada lembaran sejarah hukum Nusantara.

Ketiga, mencederai kesempurnaan gerakan reformasi. Reformasi sebagai modus vivendi (kesepakatan luhur) bangsa Indonesia terancam keberlangsungannya. Reformasi merupakan pijakan dasar bagi Amendemen UUD 1945, yang menjadi rahim bagi lahirnya MK, dan agenda nasional pemberantasan korupsi. Dengan cederanya MK sebagai ikon reformasi, cedera pula gerakan reformasi. Kiranya uraian-uraian tentang pencapaian gerakan reformasi di semua lini kehidupan bernegara tidak akan habis dibahas oleh siapa pun. Karenanya, tidak ada titik balik bagi demokrasi dan reformasi di Indonesia.

Citra kesempurnaan MK perlu dipertahankan oleh siapa pun yang peduli kepada demokrasi dan reformasi. Karenanya, salah satu hikmah yang dapat dipetik dari peristiwa ini adalah jangan sembarangan menuduh tanpa bukti permulaan yang valid. Apalagi untuk sebuah lembaga seesensial MK, yang menjadi salah satu harapan bagi 200 juta lebih rakyat Indonesia untuk mewujudkan tujuan negara, sebagaimana tercantum dalam Alinea IV Pembukaan UUD 1945.

Langkah yang diambil untuk memproses dugaan upaya penyuapan sebagaimana ditemukan oleh Tim Investigasi ke Komisi Pemberantasan Korupsi adalah tepat. Langkah yuridis perlu dilakukan untuk, paling tidak, memberi efek jera dan efek deterrent bagi mereka yang sedang dan akan melakukan infiltrasi koruptif terhadap MK. Khusus untuk Refly Harun, guna mewujudkan rasa keadilan, jika Ketua Mahkamah dan para Hakim Konstitusi saja berani mengundurkan diri dari jabatannya, dan bersedia dipancung kepalanya apabila terbukti menerima suap, maka sudah sepantasnyalah sang whistle blower digantung, karena telah melakukan pencemaran nama baik terhadap Hakim Konstitusi dan desakralisasi Mahkamah Konstitusi. (Sumber: Koran Tempo, 14 Desember 2010)

Tentang penulis:
Gunawan Abdullah Tauda, Mahasiswa Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum UGM.



ISSN 1979-9373
ISSN GagasanHukum.WordPress.Com

ARSIP

KLIK TERTINGGI

  • Tidak ada

STATISTIK PENGUNJUNG

  • 2.678.752 hits
Desember 2010
S S R K J S M
 12345
6789101112
13141516171819
20212223242526
2728293031