HAM dan Perlindungan Kaum Minoritas

Oleh Aman Durahman

Perwakilan bangsa-bangsa di dunia bertemu pada 10 Desember 1948 untuk menyepakati Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia (DUHAM).

Untuk selanjutnya, hari itu diperingati sebagai hari Hak Asasi Manusia sedunia.

Dari sejarahnya, DUHAM lahir dari kesadaran umat manusia akan hak atas kebebasan, harkat, dan martabat setiap manusia. Apa pun ras, agama, jenis kelamin, maupun pandangan pribadinya, setiap orang mempunyai hak atas kebebasan, harkat, dan mar¬tabat.

Hingga saat ini masalah HAM di Indonesia masih dalam kondisi yang menyedihkan. Negeri ini masih sering diwarnai pelanggaran HAM secara telanjang. Salah satu pelanggaran yang paling krusial dan menyayat hati adalah rapuhnya perlindungan terhadap kaum minoritas di Indonesia. Hingga kini peme¬rintah belum mampu menegakkan Konstitusi UUD 1945, BAB XA tentang Hak Asasi Manusia. Khususnya Pasal 28 E Ayat (1): Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memiliki pekerjaan, memilih kewarganaegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali. Juga Ayat (2): Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikir¬an dan sikap sesuai de¬ngan hati nuraninya.

Eksistensi UU No 5/1969 mengenai agama resmi dan tidak resmi serta tim PAKEM merupakan batu sandungan bagi penegakan HAM di negeri ini. Mestinya ada kesadaran nasional bahwa urusan agama menjadi urusan individu yang tidak bisa dicampuri negara.

Sungguh ironis jika instansi pemerintah sering kali dipaksa oleh pihak tertentu untuk memutuskan apakah telah terjadi penodaan terhadap keyakinan agama tertentu. Bagaimana mungkin pengadilan sekuler bisa memutuskan masalah keagamaan? Di sisi lain, Pengadilan Agama sendiri tidak memiliki yurisdiksi untuk mengadili kasus penodaan agama, karena domainnya hanya masalah hukum keluarga semata. Jadi, logika hukum kita meng¬atakan, tidak ada sebuah peng¬adilan pun di negeri ini yang dapat mengadili iman atau keyakinan kelompok minoritas keagamaan.

Sungguh menyedihkan ketika pada saat ini kelompok minoritas tidak bisa terlindu¬ngi Pasal 29 UUD 1945 yang nyata-nyata menjamin kebebasan beragama. Bahkan, RUU tentang Kerukunan Umat Beragama yang sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional 2010-2014 acuan materinya kurang koheren dan cenderung kontradiktif. Naskah RUU KUB sangat academics exercises sehingga bisa menimbulkan masalah di lapangan..

Berbagai peraturan daerah silih berganti muncul yang esensinya membatasi aktivitas kaum minoritas. Pemerintah pusat dan daerah terkesan masih tunduk pada aspirasi kelompok mayoritas, tetapi mengabaikan hak-hak minoritas. Bahkan, DPR RI telah mengesahkan undang-undang yang mendiskreditkan budaya beberapa kelompok masyarakat. Juga, mereka mengingkari keragaman yang menjadi esensi kehidupan bernegara.

Pemerintah tidak hanya melakukan pembiaran terhadap praktik-praktik diskriminasi, melainkan juga acap kali terlibat sebagai pelaku diskriminasi itu sendiri. Seperti contohnya, menangkap begitu saja orang-orang yang dianggap menyimpang dalam hal keyakinan beragama. Paradigma atau definisi menyimpang (sesat) hanya berdasar pada pendapat kelompok mayoritas. Sementara itu, argumentasi dan aspirasi kelompok minoritas diacuhkan alias tidak mendapat perhatian sama sekali.

“Excluded Permanent Minority”

Proses demokratisasi di Indonesia juga belum mampu memperbaiki kualitas HAM. Menurut pakar demokratisasi Jack Lively, dalam bukunya yang berjudul Democrazy, persoalan krusial yang dihadapi dalam proses demokratisasi di negara berkembang adalah persoalan minoritas.

Kelompok minoritas menjadi apa yang disebutnya excluded permanent minority karena proses pengambilan keputusan selalu menenggelamkan mereka. Padahal, pro¬ses pengambilan keputusan demokratis adalah mayoritas suara, bahkan dengan simple majority sekalipun akan sah menjadi sebuah keputusan. Masalahnya adalah: apakah semua sendi kehidupan bernegara harus didegradasi dengan mengabaikan batasan konstitusi? Ataupun dengan memberi tafsir baru atas konstitusi, meski melanggar kontrak bersama sebagai satu bangsa ?

Inilah dilema proses demokrasi yang sangat memilukan kaum minoritas. Konstitusi di negeri ini begitu mudahnya dibelokkan tafsirnya. Jika batas terakhir bernama konstitusi masih bisa dibelokkan dan mungkin diabaikan, lalu apalagi batas terakhir yang bisa menjadi pertahanan kebersamaan sebuah bangsa yang sangat plural seperti Indonesia?

Jika tingkat pengambilan keputusan adalah hal-hal yang bersifat ranah publik, maka prosedur mayoritas wajar di¬terapkan. Tetapi jika prosedur itu diterapkan untuk memberi makna lain terhadap kehidup¬an berbangsa dan tafsir baru atas ideologi, maka yang terlanggar adalah konstitusi dan pada gilirannya melenyapkan perasaan bersama sebagai satu bangsa.

Rapuhnya perlindungan terhadap kaum minoritas bisa dilihat dari seringnya terjadi kasus perusakan rumah ibadah. Ironisnya, justru pada masa rezim Orde Baru model pelarangan beribadah tidak dikenal modusnya, tetapi sekarang ini pelarangan itu semakin sering menghiasi perjalanan berbangsa di Indonesia. Juga, masih se¬ringnya pelanggaran HAM dalam bentuk pelarangan melaksanakan peribadatan.

Celakanya, kalau dulu hal itu merupakan spontanitas dan terbatas, kini menjadi termobilisasi dengan bantuan organisasi kemasyarakatan yang tidak pernah dilarang pemerintah, meski jelas-jelas telah merusak kebersamaan.

Modus pelanggaran kebebasan beragama pun menjadi semakin bertambah parah dan menunjukkan semakin tidak tolerannya masyarakat di negeri ini. Kasus yang lebih menyedihkan lagi adalah respons pemerintah daerah yang takut menegakkan hukum.

Bahkan pada tingkat bawah, sering kali aparat pemerintahan justru memberi peluang dan memberi angin bagi tindakan anarkistis. Belum lagi jika kita menimbang hadirnya peraturan daerah yang hanya mengatur sebagian (besar) anggota masyarakatnya dalam kategori perda ber¬nuansa dominan agama tertentu. Menurut catatan ANBTI (Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika), perda jenis tersebut sudah mendekati angka 250 buah dalam berbagai bentuk. Realitas politik seperti di atas adalah pencederaan terhadap kebersamaan sebagai satu bangsa.

Tidak bisa dimungkiri lagi, kini keberagaman dan plura¬lisme di Indonesia justru menjadi semacam realitas yang memilukan bagi kaum minoritas. Jika dulu, ketika menghadapi musuh bersama, penjajahan dan kolonialisme, kebe¬ragaman menjadi kekuatan pemersatu, maka tampaknya bagi sekelompok masyarakat keberagaman bukan lagi ke¬kuatan pemersatu, tetapi menjadi ancaman. Menjadi lebih ironis, karena kemudian masalah ini tidaklah dipandang sebagai masalah serius oleh pemerintah, sehingga penanganan dan penyelesaian kasus ini bersifat eksesif, berat sebelah, dan mudah dilupakan begitu saja. Haruskah kualitas keindonesiaan menjadi semakin rapuh karena pe¬ngelola negara ini kurang mampu menegakkan HAM dan tidak bisa menjalankan konstitusi selurus-lurusnya? (Sumber: Sinar Harapan, 9 Desember 2010)

Tentang penulis:
Aman Durahman, pemerhati masalah HAM dan toleransi beragama.



ISSN 1979-9373
ISSN GagasanHukum.WordPress.Com

ARSIP

STATISTIK PENGUNJUNG

  • 2.679.219 hits
Desember 2010
S S R K J S M
 12345
6789101112
13141516171819
20212223242526
2728293031