Pelaksanaan Asas Fonctionare The Faite Dalam Sistem Pemerintahan di Indonesia

Oleh Herdiansyah Hamzah

Sebagaimana yang kita ketahui, bahwa di dalam menjalankan dan melaksanakan pemerintahan (bestuur), badan atau Pejabat Tata Usaha Negara memiliki kewenangan dalam mengeluarkan suatu produk hukum, baik produk hukum dalam bentuk peraturan perundang-undangan (regelling), maupun produk hukum dalam bentuk keputusan yang juga lazim disebut dengan beschikking. Tulisan singkat ini sedikit akan membahas mengenai keputusan, yang merupakan salah satu kewenangan mutlak yang dimiliki oleh aparatur Pemerintah. Keputusan Pemerintah tersebut, secara umum sering diistilahkan juga sebagai keputusan Tata Usaha Negara.

Keputusan Tata Usaha Negara merupakan produk hukum yang menjadi fungsi pokok aparatur Pemerintah di dalam menjalankan kewajibannya demi mencapai tujuan Negara. Keputusan Tata Usaha Negara sendiri seuai Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 jo. Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, dapat diartian sebaga penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, final, yang menimbulkan akibat hukum bagi Seseorang atau Badan Hukum Perdata. Van Wijk-Konijnenbelt memberikan arti hukum Tata Usaha Negara (bestuurrecht) sebagai hukum yang disatu pihak mengatur mengenai keikutsertaan pemerintah secara aktif dalam pergaulan masyarakat, dipihak lain mengatur perlindungan terhadap anggota masyarakat akibat keikutsertaan pemerintah dalam mengatur masyarakat tersebut .

Keputusan Tata Usaha Negara sendiri merupakan keputusan yang dikeluarkan oleh Pejabat Tata Usaha Negara, sesuai dengan fungsi dan wewenangnya masing-masing. Pejabat disini merujuk kepada pegawai pemerintahan yang memegang suatu jabatan tertentu dan penting dalam bidang pemerintahan. Pengertian Pejabat Tata Usaha Negara dalam Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang peradilan Tata Usaha Negara menyatakan bahwa, “Pejabat Tata Usaha Negara adalah Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Lebih lanjut Menurut penjelasan Pasal 1 angka 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara menyatakan bahwa yang dimakud “urusan pemerintah” ialah kegiatan yang bersifat eksekutif dan yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan” ialah semua peraturan yang bersifat mengikat secara umum dikeluarkan oleh Badan Perwakilan Rakyat bersama Pemerintah baik ditingkat pusat maupun di tingkat daerah, serta semua Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah yang juga bersifat mengikat secara umum.

Syarat Sahnya Keputusan

Kesalahan dalam pembuatan suatu keputusan Tata Usaha Negara, merupakan hal yang dapat terjadi kapan saja. Namun untuk membatasi adanya kesalahan dalam pembuatan keputusan Tata Usaha Negara sebagai produk hukum, maka setiap upaya pembuatan keputusan tersebut, harus memenuhi 2 (dua) syarat utama lahirnya produk hukum, yaitu :

1. Syarat materil atau mencakup isi dan substansi produk hukum; dan

2. Syarat formil yang menyangkut bentuk dari produk hukum.

Secara umum, syarat materil memiliki 3 (tiga) syarat penting yang harus terpenuhi di dalam pembuatan suatu produk hukum, yaitu :

1. Harus dibuat oleh pejabat Tata Usaha Negara;

2. Dalam proses pembuatannya, tidak mengalami cacat atau kekurangan yuridis; dan

3. Tujuan dikeluarkannya keputusan Tata Usaha Negara tersebut, harus sama dengan peraturan yang mendasarinya.

Sedangkan syarat formil juga memiliki 3 (tiga) syarat penting yang harus terpenuhi dalam pembuatan produk hukum, yaitu :

1. Bentuk keputusan Tata Usaha Negara, harus sama dengan keputusan yang mendasari;

2. Proses pembuatan Tata Usaha Negara, harus sesuai dengan proses yang dikehendaki oleh peraturan dasar; dan

3. Semuan persyaratan khusus dalam peraturan dasar, harus terwujud dalam keputusan Tata Usaha Negara.

Jika syarat dan ketentuan di atas, dapat dijalankan dengan baik, maka tentu saja hal tersebut dapat meminimalisir kesalahan dari Aparatur Pemerintah di dalam mengeluarkan suatu keputusan Tata Usaha Negara.

Makna Kekurangan Yuridis

Sebagaimana yang disebutkan sebelumnya bahwa salah satu syarat materil absahnya suatu produk hukum Tata Usaha Negara, adalah tidak terjadinya proses yang cacat yuridis dalam pembuatannya. Apakah makna cacat atau kekurangan yuridis tersebut?. Secara teori, suatu tindakan aparatur Pemerintah dianggap memiliki cacat atau kekurangan yuridis, jika memenuhi salah satu unsur di bawah ini :

1. Adanya unsur paksaan (dwang)

2. Adanya unsur kekhilafan (dwalling); dan

3. Adanya unsur penipuan (bedrog)

Persamaan pokok dari ketiga unsur di atas adalah bahwa didalam prakteknya, terjadi perbedaan atau ketidaksesuaian pendapat antara kehendak dan kenyataan. Untuk lebih jelasnya, ada baiknya kita melihat perbandingan dari ketiga unsur cacat atau kekurangan yuridis suatu produk hukum, di bawah ini :

a. Paksaan (dwang), disebabkan oleh adanya perbedaan antara kehendak dan kenyataan akibat adanya unsur luar (eksternal) yang patut diduga tidak mungkin dihindari oleh sipembuat keputusan Tata Usaha Negara. Dengan demikian, suatu produk hukum tidak dapat dihindari demi mencapai ketertiban Negara. Dan tentu saja hal tersebut menjadi tanggung jawab dan kewenangan Pemerintah dalam mengambil keputusan yang menjadi produk hukum tertentu terhadap suatu keadaan tertentu pula. Dengan kata lain, bahwa Paksaan tersebut menjadi kehendak yang disengaja untuk menangani keadaan tertentu.

b. Kekhilafan (dwalling), disebabkan oleh adanya perbedaan antara kehendak dan kenyataan, namun tidaklah disengaja. Perbedaan kekhilafan dengan paksaan, terletak dari sifat yang melekat dikeduanya, yakni paksaan adalah suatu sifat yang terjadi dengan disengaja, sedangkan kekhilafan merupakan sifat yang tidak disengaja sama sekali. Kekhilafan sendiri memiliki 2 (dua) kategori, yaitu :

1. Kekhilafan yang sungguh-sungguh (eigenlijke dwalling); dan

2. Kekhilafan yang tidak sungguh-sungguh (uneigenlijke dwalling)

c. Penipuan (bedrog) disebabkan oleh adanya perbedaan antara kehendak dan kenyataan akibat adanya tipu muslihat secara sengaja, sehingga pembuat keputusan, membuat keputusan yang dikehendaki atau yang diinginkan oleh sipenipu.

Asas Fontionare The Faite

Keputusan yang diambil oleh Pejabat Tata Usaha Negara, merupakan keputusan yang penting dalam upaya menjalankan roda Pemerintahan. Namun demikian, kesalahan dalam mengeluarkan atau membuat keputusan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara kerap kali terjadi. Akan tetapi, meski dianggap tidak absah, keputusan tersebut masih memiliki kekuatan hukum, atau yang sering diistilahkan dengan “Asas fonctionare the faite”, yang diambil dari bahasa latin. Asas fonctionare the faite tidaklah digunakan secara serampangan dan asal-asalan. Namun harus ditempatkan sesuai dengan situasi dan kondisi yang menghendakinya.

Secara teori, terdapat 2 (dua) syarat penting dalam penggunaan asas fonctionare the faite, yakni :

1. Ketidakabsahan keputusan Tata Usaha Negara tersebut dianggap kabur atau multi tafsir; dan

2. Akibat dari keputusan Tata Usaha Negara tersebut, bermanfaat bagi kepentingan umum.

Dengan demikian, maka posisi Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara di dalam menggunakan Asas fonctionare the faite, dapat dibatasi sehingg penyalahgunaan kewenangan dalam membuat keputusan, dapat dihindari.

Tentang penulis:
Herdiansyah Hamzah SH, dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Samarinda, Kontak person: 085242880100. Email: herdiansyah_hamzah@yahoo.com



ISSN 1979-9373
ISSN GagasanHukum.WordPress.Com

ARSIP

KLIK TERTINGGI

  • Tidak ada

STATISTIK PENGUNJUNG

  • 2.678.610 hits
November 2010
S S R K J S M
1234567
891011121314
15161718192021
22232425262728
2930