Melanggar Asas Non-Retroaktif

Oleh Hufron

Kontroversi penonaktifan Musyafak Rouf sebagai anggota DPRD Surabaya periode 2009-2014 bermula dari protes kuasa hukum Musyafak Rouf yakni Syamsul Ma’arif SH. Musyafak Rouf ditetapkan sebagai anggota DPRD Surabaya pada tanggal 21 Agustus 2009 dan dilantik tanggal 24 Agustus 2009, sebelum Undang Undang No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (disingkat : UU No. 27/2009) diundangkan atau diberlakukan. Sementara itu, ketentuan Pasal 408 menyebutkan bahwa UU No. 27/2009 berlaku sejak tanggal diundangkan yaitu 29 Agustus 2009.

Penonaktifan Musyafak Rouf sedianya akan didasarkan pada ketentuan Pasal 390 ayat (1) huruf (b): “Anggota DPRD kabupaten/kota diberhentikan sementara karena menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana khusus”. Sebagaimana dilansir media massa, Musyafak Rouf berstatus sebagai terdakwa terkait kasus gratifikasi di Pengadilan Negeri Surabaya pada bulan Maret 2009. Maka UU No. 27/2009 tidak bisa diberlakukan surut terhadap kasus Musyafak Rouf. Hal ini dianggap melanggar asas non-retroaktif? Benarkah?

Asas Legalitas dan Asas Non-Retroaktif
Asas non-retroakatif (larangan memberlakukan surut suatu UU), dalam konteks hukum pidana, sesungguhnya merupakan konsekuensi logis dari adanya asas legalitas. Asas legalitas sebagaimana tercantum dalam pasal 1 ayat (1) (kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) menyatakan: “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan”. Asas ini terbagi dalam tiga hal yaitu nulla poena sine lege (tidak ada hukuman tanpa ketentuan undang-undang), nulla poena sine crimine (tidak ada hukuman tanpa kejahatan) dan nullum crimen sine poena legali (tidak ada perbuatan pidana tanpa pidana menurut undang-undang).

Makna yang terkandung dalam asas legalitas adalah suatu tindak pidana atau perbuatan pidana harus dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan dan peraturan perundang undangan ini harus ada sebelum terjadinya perbuatan pidana. Salah satu konsekuensi dari asas legalitas atau ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP adalah larangan memberlakukan surut suatu perundang-undangan pidana (asas non-retroaktif).

Penonaktifaan Musyafak Rouf menjadi anggota DPRD Surabaya berdasarkan UU No 27/2009 – menurut hemat penulis – tidak termasuk pelanggaran asas non-retroakatif. Kenapa? Karena pemberlakuan Pasal 390 ayat (1) huruf (b) UU No. 27/2009 bukan merupakan pemberlakuan surut perbuatan pidana. Disebut retroaktif bila suatu rumusan perbuatan pidana yang terdapat dalam UU No. 27/2009 diberlakukan terhadap perbuatan yang sebelumnya bukan merupakan perbuatan pidana. Contoh konkret dari retro-aktif adalah pemberlakuan UU No. 16 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (diundangkan tgl 4 April 2003) terhadap pelaku Peristiwa Bom Bali tanggal 12 Oktober 2002.

Jika demikian, penonaktifan Musyafak Rouf lebih merupakan penerapan hukum (law application) dari ketentuan 390 ayat (1) huruf (b) UU No. 27/2009 pada peristiwa konkret yaitu adanya anggota DPRD yang berstatus terdakwa dalam tindak pidana khusus/korupsi di PN Surabaya.

Penerapan Hukum
Penerapan hukum lazimnya menggunakan logika silogisme dalam bidang hukum. Logika silogisme tersusun dalam tiga proposisi yaitu premis mayor (aturan hukum), premis minor berupa peristiwa konkret, dan konklusi (putusan hukum). Dalam Konteks penonaktifan Musyafak Rouf, aturan hukum yang dijadikan dasar hukum adalah Pasal 390 ayat (1) huruf (b) UU 27/2009, peristiwa konkret atau khususnya adalah saat ini Musyawak Rouf sebagai anggota DPRD Surabaya berstatus terdakwa dalam kasus tindak pidana korupsi (gratifikasi) . Maka, putusan hukumnya yang ditarik sebagai kesimpulan adalah Musyafak Rouf diberhentikan sementara dari keanggotaan DPRD Surabaya. Memang penerapan hukum seperti di atas terkesan sederhana dan mekanistis. Namun, dalam praktek penerapan hukum dengan model silogisme amat tergantung pada sekurang-kurangnya tiga hal.

Pertama, kelengkapan dan kejelasan aturan hukum. Jika aturan hukumnya tersedia, lengkap dan jelas, akan memudahkan kita untuk menerapkannya pada kasus konkret. Sebaliknya, jika aturan hukumnya tidak lengkap dan tidak jelas, maka dibutuhkan interpretasi hukum yang relevan. Bahkan jika hukumnya tidak tersedia atau tidak lengkap, maka dilakukan penemuan atau penciptaan hukum.

Kedua, kejelasan fakta hukum. Jika fakta yang kemudian dikonstatir menjadi fakta hukum jelas dan gamblang, hal ini mempermudah dalam menganalisa, apakah kasus konkret ini memenuhi rumusan unsur yang terdapat dalam aturan hukum tersebut.

Ketiga, pertimbangan hukum/analisa dalam mencarikan keseimpulan. Jika aturan hukumnya jelas, kasus atau fakta hukum jelas, maka hal ini mempermudah dalam memberikan pertimbangan/analisa untuk sampai pada kesimpulan (putusan hukum).

Dalam kasus penonaktaktifan Musyafak Rouf sebagai anggota DPRD Surabaya – menurut hemat penulis – fakta hukumnya jelas, yaitu sejak bulan Maret sampai sekarang status Musyafak Rouf sebagai terdakwa kasus gratifikasi di PN Surabaya. Aturan hukum sebagai dasar penonaktifan juga jelas. Akan tetapi pengaturan tentang bagaimana tata-cara atau mekanisme pemberhentian sementara, memang tidak lengkap. Atau dengan kata lain bahwa dasar hukum berikut fakta hukum sangat jelas dan gamblang. Tinggal bagaimana mekanisme pemberhentiannya?

Tentu kita mesti merujuk ketentuan Pasal 390 ayat (5) yang berbunyi “ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberhentian sementara diatur dengan peraturan DPRD Kabupaten/Kota tentang Tata Tertib”.

Peraturan tentang Tata Tertib DPRD kabupaten/kota ditetapkan oleh DPRD kabupaten/kota dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan, dan berlaku di lingkungan internal DPRD kabupaten/kota. Materi muatan Tata tertib DPRD kabupaten/kota paling sedikit memuat ketentuan tentang: (a). pengucapan sumpah/janji; (b). penetapan pimpinan; (c). pemberhentian dan penggantian pimpinan; (d). jenis dan penyelenggaraan rapat; (e). pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang lembaga, serta hak dan kewajiban anggota; (f). pembentukan, susunan, serta tugas dan wewenang alat kelengkapan; (g). penggantian antarwaktu anggota; (h). Pembuatan dan pengambilan keputusan; (i). pelaksanaan konsultasi antara DPRD kabupaten/kota dan pemerintah daerah kabupaten/kota; (j). penerimaan pengaduan dan penyaluran aspirasi masyarakat; (k). pengaturan protokoler; dan (l). pelaksanaan tugas kelompok pakar/ahli.

Sebenarnya, DPRD Kota Surabaya dengan sedikit keberanian, kreasi dan kreatifitasnya, dengan berpedoman pada berbagai peraturan perundang-undangan yang relevan dapat menetapkan Peraturan Tata Tertib tentang Pemberhentian Sementara Anggota DPRD Kota Surabaya. Apa perlu menunggu dikeluarkan Peraturan Pelaksanaan (PP) dari UU No. 27/2009? Tentu tidak harus. Karena delegasi wewenang dari UU No. 27/2009 kepada DPRD untuk membuat Tata Tertib, termasuk di dalamnya Tata Tertib Pemberhentian Sementara Anggota DPRD karena berstatus terdakwa – sangat jelas dan tegas.

Penerapan ketentuan Pasal 390 ayat (1) UU 27/2009, berlaku juga terhadap anggota DPRD di seluruh kab/kota di Indonesia. Artinya, jika pada saat mulai diberlakukan UU No. 27/2009 (29 Agustus 2009), ada anggota DPRD Kab/Kota di Indonesia yang berstatus terdakwa dalam tindak pidana umum dengan ancam pidana penjara 5 tahun/lebih, atau menjadi terdakwa dalam tindak pidana khusus, maka terhadapnya dikenakan pemberhentian sementara atau non-aktif.

Tentang penulis:
Hufron SH MH, dosen, Praktisi Hukum di Surabaya & Kandidat Doktor Ilmu Hukum Univ. Brawijaya Malang. Kontak person: 081-2352-9300. Email : hufronsby@yahoo.com



ISSN 1979-9373
ISSN GagasanHukum.WordPress.Com

ARSIP

KLIK TERTINGGI

  • Tidak ada

STATISTIK PENGUNJUNG

  • 2.678.985 hits
Oktober 2009
S S R K J S M
 1234
567891011
12131415161718
19202122232425
262728293031