Peranan Hukum dalam Pembangunan Ekonomi (Bagian I)

Oleh Maqdir Ismail

advokat, konsultan hukum

 

Pengantar redaksi:

Artikel ini terdiri atas 3 bagian tulisan yang dimuat bersambung di GagasanHukum.WordPress.Com. Bagian I, edisi Kamis 23 Oktober 2008. Bagian II, edisi Kamis 30 Oktober 2008. Bagian III, edisi Kamis 6 November 2008.

 

Diskusi dan perdebatan tentang peranan hukum dalam pembangunan ekonomi sudah dilakukan sejak lama.[1] Paling tidak, sejarah sudah mencatat bahwa kegiatan yang berhubungan dengan hukum dan pembangunan sudah dimulai secara nyata sejak akhir tahun 1940-an yang dilakukan dalam pembangunan negara-negara yang baru merdeka. Begitu juga halnya hukum dan pembangunan sebagai salah satu wilayah kajian akademik  mulai sejak akhir tahun 1940-an dan berkembang di akhir 1960-an.

 

Dalam tulisan singkat ini yang akan dibicarakan adalah sejarah singkat dari hukum dan pembangunan; peranan ahli hukum dalam pembangunan;  pembaharuan hukum di Indonesia; peranan hukum dalam masyarakat global, prospek pendidikan tinggi hukum dan penutup.

 

Sejarah Singkat Hukum dan Pembangunan

Hukum dan pembangunan itu adalah terjemahan dari Law and Development, yang mulai berkembang di Amerika Serikat sesudah perang dunia kedua. Jika merunut pada pengertian yang dikembangkan di Amerika khususnya yang berhubungan dengan organisasi United States Agency for Interantional Development (USAID) dan lembaga seperti Ford Foundation atau Rockefeller Foundation, maka perkembangan hukum dan pembangunan dapat dibaca dari upaya lembaga-lembaga ini dalam mempengaruhi dan memperkenalkan kepada negara-negara berkembang dalam melakukan pembangunan ekonomi dan pembangunan infrastruktur.[2]

 

Hal ini dimulai dengan melakukan  pengiriman dan reseach oleh ahli hukum dari Amerika. Bahkan pada tahun 1966 Kongres Amerika mengundangkan “Foreign Asistence Act of 1966” untuk membantu Negara-negara berkembang di Asia, Afrika dan Amerika Latin memperbaharui  dan memperkuat system hukum.[3] Pengiriman para ahli hukum Amerika  ini merupakan bagian yang tak terpisahkan dari agenda bantuan. Hal ini dapat dilihat secara nyata dari besarnya bantuan keuangan yang dianggarkan, dimana untuk Afrika misalnya diperkirakan sebesar US $ 15 juta dan sebesar US $ 5 juta.[4] Biaya yang besar ini dikeluarkan karena ada anggapan bahwa modernisasi hukum pada negara-negara yang baru itu sangat diperlukan dan hukum yang modern itu diperlukan untuk mempromosikan pembangunan ekonomi. Hal ini didasari oleh pemikiran bahwa hukum yang modern itu akan memberi pengaruh pada pembangunan ekonomi, karena hukum yang modern itu memberikan fasilitas dan ruang pada perencanaan ekonomi sebab hukum yang modern itu sebagai sarana yang tepat untuk membangun masyarakat.[5]

 

Rasio dari perlunya hukum yang modern dalam pembangunan karena pada hukum modern mempunyai ciri-ciri antara lain, pertama, aturan diterapkan dengan cara yang tidak berbeda; kedua, perundang-undangan bersifat transaksional; ketiga norma hukum modern bersifat universal; keempat, sistem hukum bersifat hirarkis; kelima, sistem hukum diatur secara birokratis; keenam, sistem hukum bersifat rasional; ketujuh, sistem hukum dijalankan oleh para ahli hukum; kedelapan, sistem hukum bersifat tehnis dan komplek; kesembilan sistem hukum dapat diubah; kesepuluh, sistem ini bersifat politik; dan kesebelas, tugas membuat dan menerapkan undang dilakukan oleh pihak yang berbeda.[6]

 

Bantuan mengembangkan hukum dan pembangunan ekonomi ini, diberikan oleh Amerika Serikat kepada banyak negara. Bahkan di Indonesia pada akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an ketika mulai direncanakan pembangunan nasional oleh pemerintah, “bantuan ahli hukum” atau ahli hukum yang diperbantukan kepada Departemen tertentu atau membantu di kantor hukum tertentu atau ahli hukum tertentu.[7] Kondisi ini sempat menjadi salah satu bahan gosip dikalangan praktisi hukum di Jakarta. Gossip dan kecurigaan terhadap ahli hukum dari Amerika yang merugikan pihak Indonesia ini misalnya dalam penyusuan kontrak awal  antara Pertamina dan perusahaan-perusahaan minyak Amerika, bahkan kontrak antara Pemerintah dengan PT  Freeport[8] yang dianggap sangat merugikan pihak Indonesia dicurigai sebagai bentuk akal-akalan dari para ahli hukum Amerika yang selama ini banyak memberikan bantuan kepada pemerintah Indonesia.[9]

 

Buku John Perkins, Confessions of an Economic Hit Man,[10] bisa menjadi salah satu sumber akurat yang menceritakan betapa “kotornya” maksud dan tujuan  bantuan yang diberikan Amerika terhadap Indonesia. Fakta yang kasat mata dan merugikan pihak Indonesia adalah kontrak listrik swasta yang dibuat antara perusahaan Amerika dan Perusahaan Listrik Negara, yang pernah digugat di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat beberapa tahun lalu.[11]

 

Terlepas dari niat tersembunyi dari Amerika Serikat, yang pasti cukup banyak staf pengajar dari Universitas terkemuka di Indonesia yang diberi bea siswa untuk belajar pada universitas-universitas terkenal di Amerika, begitu juga cukup banyak ahli hukum Indonesia  yang mendapat kesempatan belajar dari para hali hukum Amerika tersebut. Bahkan kehadiran para ahli hukum dari Amerika ini cukup banyak membantu perkembangan praktisi hukum dibidang non litigasi, atau yang biasa dikenal dengan sebutan dibidang corporate.[12]

 

Peranan Ahli Hukum dalam Pembangunan

Peranan ahli hukum dalam pembangunan ekonomi mempunyai kedudukan yang sentral. Keberadaan ahli hukum adalah untuk memberikan perlindungan dari kesalahan dalam penyusunan undang-undang atau peraturan yang dibuat, tidak terbatas pada  kesalahan tehnis, tetapi juga kesalahan filosofis. Keahlian para ahli hukum ini diperlukan terutama pada kegiatan merancangan undang-undang tertentu, seperti undang-undang bidang politik, hak azasi manusia,  perdagangan dan lain-lain.

 

Dalam tradisi Barat peranan ahli hukum itu sangat penting, sebagaimana dikatakan oleh  Wolfgang G. Friedman, dalam tradisi Barat, ahli hukum telah menyumbangkan sesuatu pada perkembangan sistem hukum, dan dengan demikian turut serta dalam mengembangkan masyarakat, terutama sebagai hakim, pembela dan sarjana. Ahli hukum juga memberikan perhatian terhadap perubahan legislatif – sebagai anggota komite perubahan hukum,…..sebagai ahli pada departemen pemerintah, atau sebagai perancang di parlemen”.[13]

 

Seperti juga dicatat oleh Friedman[14] bahwa peranan ahli hukum di Amerika sejak awal kemerdekaan sangat dominan, misalnya 40 orang dari 61 anggota Kongres adalah ahli hukum. Banyak Presiden pada awalnya adalah ahli hukum, dan sebelum menjadi Presiden berpraktik sebagai penasehat hukum, bahkan menurut catatannya pada masa pemerintahan Presiden Clinton 75 % anggota Kabinet adalah ahli hukum yang pernah berpraktik sebagai penasihat hukum.

 

Menurut Friedman, kondisi ini bukan kebetulan tetapi adalah satu keniscayaan, sebab urusan penasihat hukum erat kaitannya dengan urusan pemerintah. Pemerintah membuat dan mengatur hukum dan hukum diketahui oleh penesihat hukum.

 

Hal tersebut agak berbeda dengan keadaan di Indonesia. Kalau kita lakukan survei secara sederhana, peranan ahli hukum selama pemerintahan Orde Baru lebih banyak sebagai pelengkap penderita, Jaksa Agung cukup lama  dan secara bergantian dijabat oleh tentara,[15] Menteri Kehakiman tentara, bahkan Ketua Mahkamah Agung juga pernah dijabat oleh tentara.

 

Semua departemen selalu ada bagian hukum, begitu juga pada hampir semua perusahaan swasta atau BUMN selalu ada bagian hukum, tetapi bagian hukum tampak muram dan tidak mampu mendukung kebutuhan departemen atau perusahaan dalam menangni masalah hukum. Sehingga sekali lagi bagian hukum itu hanya sebagai pemantas, para ahli hukum dikantor-kantor pemerintah atau perusahaan swasta tidak pernah mendapat posisi sebagai pihak yang memberikan pertimbangan akhir.

 

Para ahli hukum di pemerintahan atau di lembaga swasta, sebagian besar hanya pelengkap, terutama dalam melakukan dokumentasi, tidak akan diminta sebagai pemberi pertimbangan akhir dalam pengambilan keputusan.  Bahkan tidak jarang dalam praktik, para ahli hukum itu hanya bertugas  menyusun kalimat dalam membuat perjanjian. Isi perjanjian sudah disetujui dan tidak melibatkan ahli hukum, atau dalam istilah yang biasa digunakan “masalah komersial” sudah selesai, yang belum selesai adalah perjanjian secara tertulis.

 

Tidak ikutsertanya para hali hukum ini, mungkin karena ahli hukum dianggap tidak perlu terlibat, sebab kalau mereka terlibat dalam melakukan negosiasi mereka tidak jarang ketakutan berlebihan, atau mungkin juga karena ahli hukum yang ada dianggap tidak mempunyai kemampuan untuk berunding, karena pengetahuan tehnisnya tentang masalah yang dirundingkan tidak memadai. Atau mungkin juga seperti  kritik yang ditemui dalam  penelitian yang dilakukan oleh Bappenas dengan bantuan World Bank, bahwa sarjana hukum sekarang ini tidak mempunyai kemampuan menulis secara logis dan konsisten suatu opini hukum atau memorandum hukum.[16] Atau mungkin juga keberadaan ahli hukum yang terkesampingkan ini  berhubungan dengan ucapan Bung Karno yang sangat terkenal bahwa “met de juristen kunnen wij geen revolutie maken”, dengan sarjana hukum kita tidak bisa membuat revolusi.[17]

 

Tentang penulis:
Dr H Maqdir Ismail SH LLM, p
enulis dua buku yakni Bank Indonesia: Independensi, Akuntabilitas dan Transparansi (2007); Pengantar Praktik Arbitrase (2007), dosen Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia. Advokat dan konsultan hukum Maqdir Ismail & Partners Jln Bandung 4 Menteng Jakarta Pusat. Telepon (021) 391 1191 Faks (021) 314 7502. Email: maqdir@hotmail.com

 

 

 

 

 


 

 

 

 

 

Dalam tulisan singkat ini yang akan dibicarakan adalah sejarah singkat dari hukum dan pembangunan; peranan ahli hukum dalam pembangunan;  pembaharuan hukum di Indonesia; peranan hukum dalam masyarakat global, prospek pendidikan tinggi hukum dan penutup.

 

Sejarah Singkat Hukum dan Pembangunan

Hukum dan pembangunan itu adalah terjemahan dari Law and Development, yang mulai berkembang di Amerika Serikat sesudah perang dunia kedua. Jika merunut pada pengertian yang dikembangkan di Amerika khususnya yang berhubungan dengan organisasi United States Agency for Interantional Development (USAID) dan lembaga seperti Ford Foundation atau Rockefeller Foundation, maka perkembangan hukum dan pembangunan dapat dibaca dari upaya lembaga-lembaga ini dalam mempengaruhi dan memperkenalkan kepada negara-negara berkembang dalam melakukan pembangunan ekonomi dan pembangunan infrastruktur.[2]

 

Hal ini dimulai dengan melakukan  pengiriman dan reseach oleh ahli hukum dari Amerika. Bahkan pada tahun 1966 Kongres Amerika mengundangkan “Foreign Asistence Act of 1966” untuk membantu Negara-negara berkembang di Asia, Afrika dan Amerika Latin memperbaharui  dan memperkuat system hukum.[3] Pengiriman para ahli hukum Amerika  ini merupakan bagian yang tak terpisahkan dari agenda bantuan. Hal ini dapat dilihat secara nyata dari besarnya bantuan keuangan yang dianggarkan, dimana untuk Afrika misalnya diperkirakan sebesar US $ 15 juta dan sebesar US $ 5 juta.[4] Biaya yang besar ini dikeluarkan karena ada anggapan bahwa modernisasi hukum pada negara-negara yang baru itu sangat diperlukan dan hukum yang modern itu diperlukan untuk mempromosikan pembangunan ekonomi. Hal ini didasari oleh pemikiran bahwa hukum yang modern itu akan memberi pengaruh pada pembangunan ekonomi, karena hukum yang modern itu memberikan fasilitas dan ruang pada perencanaan ekonomi sebab hukum yang modern itu sebagai sarana yang tepat untuk membangun masyarakat.[5]

 

Rasio dari perlunya hukum yang modern dalam pembangunan karena pada hukum modern mempunyai ciri-ciri antara lain, pertama, aturan diterapkan dengan cara yang tidak berbeda; kedua, perundang-undangan bersifat transaksional; ketiga norma hukum modern bersifat universal; keempat, sistem hukum bersifat hirarkis; kelima, sistem hukum diatur secara birokratis; keenam, sistem hukum bersifat rasional; ketujuh, sistem hukum dijalankan oleh para ahli hukum; kedelapan, sistem hukum bersifat tehnis dan komplek; kesembilan sistem hukum dapat diubah; kesepuluh, sistem ini bersifat politik; dan kesebelas, tugas membuat dan menerapkan undang dilakukan oleh pihak yang berbeda.[6]

 

Bantuan mengembangkan hukum dan pembangunan ekonomi ini, diberikan oleh Amerika Serikat kepada banyak negara. Bahkan di Indonesia pada akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an ketika mulai direncanakan pembangunan nasional oleh pemerintah, “bantuan ahli hukum” atau ahli hukum yang diperbantukan kepada Departemen tertentu atau membantu di kantor hukum tertentu atau ahli hukum tertentu.[7] Kondisi ini sempat menjadi salah satu bahan gosip dikalangan praktisi hukum di Jakarta. Gossip dan kecurigaan terhadap ahli hukum dari Amerika yang merugikan pihak Indonesia ini misalnya dalam penyusuan kontrak awal  antara Pertamina dan perusahaan-perusahaan minyak Amerika, bahkan kontrak antara Pemerintah dengan PT  Freeport[8] yang dianggap sangat merugikan pihak Indonesia dicurigai sebagai bentuk akal-akalan dari para ahli hukum Amerika yang selama ini banyak memberikan bantuan kepada pemerintah Indonesia.[9]

 

Buku John Perkins, Confessions of an Economic Hit Man,[10] bisa menjadi salah satu sumber akurat yang menceritakan betapa “kotornya” maksud dan tujuan  bantuan yang diberikan Amerika terhadap Indonesia. Fakta yang kasat mata dan merugikan pihak Indonesia adalah kontrak listrik swasta yang dibuat antara perusahaan Amerika dan Perusahaan Listrik Negara, yang pernah digugat di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat beberapa tahun lalu.[11]

 

Terlepas dari niat tersembunyi dari Amerika Serikat, yang pasti cukup banyak staf pengajar dari Universitas terkemuka di Indonesia yang diberi bea siswa untuk belajar pada universitas-universitas terkenal di Amerika, begitu juga cukup banyak ahli hukum Indonesia  yang mendapat kesempatan belajar dari para hali hukum Amerika tersebut. Bahkan kehadiran para ahli hukum dari Amerika ini cukup banyak membantu perkembangan praktisi hukum dibidang non litigasi, atau yang biasa dikenal dengan sebutan dibidang corporate.[12]

 

Peranan Ahli Hukum dalam Pembangunan

Peranan ahli hukum dalam pembangunan ekonomi mempunyai kedudukan yang sentral. Keberadaan ahli hukum adalah untuk memberikan perlindungan dari kesalahan dalam penyusunan undang-undang atau peraturan yang dibuat, tidak terbatas pada  kesalahan tehnis, tetapi juga kesalahan filosofis. Keahlian para ahli hukum ini diperlukan terutama pada kegiatan merancangan undang-undang tertentu, seperti undang-undang bidang politik, hak azasi manusia,  perdagangan dan lain-lain.

 

Dalam tradisi Barat peranan ahli hukum itu sangat penting, sebagaimana dikatakan oleh  Wolfgang G. Friedman, dalam tradisi Barat, ahli hukum telah menyumbangkan sesuatu pada perkembangan sistem hukum, dan dengan demikian turut serta dalam mengembangkan masyarakat, terutama sebagai hakim, pembela dan sarjana. Ahli hukum juga memberikan perhatian terhadap perubahan legislatif – sebagai anggota komite perubahan hukum,…..sebagai ahli pada departemen pemerintah, atau sebagai perancang di parlemen”.[13]

 

Seperti juga dicatat oleh Friedman[14] bahwa peranan ahli hukum di Amerika sejak awal kemerdekaan sangat dominan, misalnya 40 orang dari 61 anggota Kongres adalah ahli hukum. Banyak Presiden pada awalnya adalah ahli hukum, dan sebelum menjadi Presiden berpraktik sebagai penasehat hukum, bahkan menurut catatannya pada masa pemerintahan Presiden Clinton 75 % anggota Kabinet adalah ahli hukum yang pernah berpraktik sebagai penasihat hukum.

 

Menurut Friedman, kondisi ini bukan kebetulan tetapi adalah satu keniscayaan, sebab urusan penasihat hukum erat kaitannya dengan urusan pemerintah. Pemerintah membuat dan mengatur hukum dan hukum diketahui oleh penesihat hukum.

 

 

Hal tersebut agak berbeda dengan keadaan di Indonesia. Kalau kita lakukan survei secara sederhana, peranan ahli hukum selama pemerintahan Orde Baru lebih banyak sebagai pelengkap penderita, Jaksa Agung cukup lama  dan secara bergantian dijabat oleh tentara,[15] Menteri Kehakiman tentara, bahkan Ketua Mahkamah Agung juga pernah dijabat oleh tentara.

 

Semua departemen selalu ada bagian hukum, begitu juga pada hampir semua perusahaan swasta atau BUMN selalu ada bagian hukum, tetapi bagian hukum tampak muram dan tidak mampu mendukung kebutuhan departemen atau perusahaan dalam menangni masalah hukum. Sehingga sekali lagi bagian hukum itu hanya sebagai pemantas, para ahli hukum dikantor-kantor pemerintah atau perusahaan swasta tidak pernah mendapat posisi sebagai pihak yang memberikan pertimbangan akhir.

 

Para ahli hukum di pemerintahan atau di lembaga swasta, sebagian besar hanya pelengkap, terutama dalam melakukan dokumentasi, tidak akan diminta sebagai pemberi pertimbangan akhir dalam pengambilan keputusan.  Bahkan tidak jarang dalam praktik, para ahli hukum itu hanya bertugas  menyusun kalimat dalam membuat perjanjian. Isi perjanjian sudah disetujui dan tidak melibatkan ahli hukum, atau dalam istilah yang biasa digunakan “masalah komersial” sudah selesai, yang belum selesai adalah perjanjian secara tertulis.

 

Tidak ikutsertanya para hali hukum ini, mungkin karena ahli hukum dianggap tidak perlu terlibat, sebab kalau mereka terlibat dalam melakukan negosiasi mereka tidak jarang ketakutan berlebihan, atau mungkin juga karena ahli hukum yang ada dianggap tidak mempunyai kemampuan untuk berunding, karena pengetahuan tehnisnya tentang masalah yang dirundingkan tidak memadai. Atau mungkin juga seperti  kritik yang ditemui dalam  penelitian yang dilakukan oleh Bappenas dengan bantuan World Bank, bahwa sarjana hukum sekarang ini tidak mempunyai kemampuan menulis secara logis dan konsisten suatu opini hukum atau memorandum hukum.[16] Atau mungkin juga keberadaan ahli hukum yang terkesampingkan ini  berhubungan dengan ucapan Bung Karno yang sangat terkenal bahwa “met de juristen kunnen wij geen revolutie maken”, dengan sarjana hukum kita tidak bisa membuat revolusi.[17]

 

Tentang penulis:

Dr H Maqdir Ismail SH LLM, penulis dua buku yakni Bank Indonesia: Independensi, Akuntabilitas dan Transparansi (2007); Pengantar Praktik Arbitrase (2007), dosen Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia. Advokat dan konsultan hukum Maqdir Ismail & Partners Jln Bandung 4 Menteng Jakarta Pusat. Telepon (021) 391 1191 Faks (031) 314 7502. Email: maqdir@hotmail.com

 

 

 

 


 

[1] T. Mulya Lubis dan Richard M. Buxbaum: 1986, Pengantar, dalam T. Mulya Lubis dan Richard M. Buxbaum, Peranan Hukum dalam Perekonomian di Negara Berkembang, Yayasan Obor Indonesia, h. ix.

[2] Lan Cao: 1997,  Book Review Law and Economic Development: A New Bargaining ? Texas International Law Journal, Vo. 32, h. 546.

[3] Erman Rajagukguk: 2003, Hukum Ekonomi Indonesia : memperkuat Perastuan Nasional, Mendorong Pertumbuhan Ekonomi dan Memperluas Kesejahteraan Sosial, Paper disampaikan dalam Seminar dan Lokakarya Pembangunan Hukum Nasional ke VIII, diselenggarakan Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Depasar 14-18 Juli 2003, h. 1.

[4] Lan Cao : 1997, Op. Cit,  h 547.

[5] Ibid, h 550.

[6] Marc Galantar, Modernisasi Sistem Hukum dalam Myron Weiner, Modernisasi : Dinamika Peretumbuhan, Voice of America Forum Lecturer, h. 102 – 104.

[7] Bryant G. Garth : 2005, Preliminary Paper for Globalization and Its Discontents, h 13-14., diakses dari http://www.law.nyu.edu/weilerj/spring05/globalization/Bryant_Garth.pdf

[8] Kontrak pertama dengan PT Freeport untuk 30 tahun ditandatangani sekitar tahun 1967, sebagai kontrak PMA pertama pemerintah Suharto, setelah disahkannya UU investasi asing yang baru (UU No.1/1967).  Sebelum masanya habis maka Freeport minta perpanjangan yang diberikan setelah ada review dan disetujui beberapa perbaikan dalam pasal-pasalnya yang lebih menguntungkan Pemerintah RI, walaupun (anehnya) yang akhir ini disangkal oleh Ginanjar Kartasasmita, yang pada waktu review itu menjadi menteri ESDM (lihat berita di harian Koran Tempo, 3 Maret 2006, hal. A7).  

[9]Menurut Bryant G. Garth PT. Freeport Indonesia ini adalah klien pertama dari ABNR Law Firm, lihat Bryant G. Garth, Op. cit, h. 16.

[10] John Perkins :  2004, Confessions of an Economic Hit Man, Berrett-Koehler Publisher, Inc., San Francisco, khususnya bab 3 – bab 8.

[11] Lihat Fauzie Hasibuan, S.H., MH., dkk: 2002, Hutang Di Balik Listrik Swasta, Menggugat Kontrak PLN – Paiton 1, Jakarta Fauzie & Partners.

[12] Menurut Bryant G. Garth, Frank Morgan adalah salah seorang lawyer Amerika yang dating ke Jakarta pada tahun 1970 dan mulai megembangkan bidang corporate setelah bersama Prof. Mochtar Kusumaatmadja mendirikan MKK, lihat Bryant G. Garth, Op. cit, h 16.

[13] Wolfgang G. Friedman: 1986, Peranan Hukum dan Fungsi Ahli Hukum di Negara Berkembang, dalam T. Mulya Lubis dan Richard M. Buxbaum, Peranan Hukum dalam Perekonomian di Negara Berkembang, Yayasan Obor Indonesia, h. 4.

[14] Lawrence H. Friedman: 2001, Hukum Amerika Sebuah Pengantar, terjemahan Wishnu Basuki, PT. Tatanusa, bab 13, h. 327 -360.

[15] Sejak zaman Kabinet Dwikora sampai dengan Kabinet Pembangunan V , yang menjadi Jaksa Agung adalah Brigjen. Sutardhio; Letjen. Sugih Arto; Letjen. Ali Said; Letjen. Ismail Saleh; Mayjen. Hari Suharto, dan Laksamana Muda Sukarton Marmosudjono ( Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Jaksa_Agung_Republik_Indonesia. ) diakses Agustus 2006; Lihat juga Drs.C.S.T. Kansil,S.H.,:1988, Kabinet dan Departemen di Indonesia, IND.HILL.Co, h, 125 – 170.

[16] Firoz Gaffar dan Ifdhal Kasim (Penyunting): 2002, Reformasi Hukum di Indonesia, Cetakan ke 5, CYBERconsult, h. 51.

[17] J.E. Sahetapy: 2003, Reformasi Hukum : Quo Vadis ?, diakses dari http://www.komisihukum.go.id

 

 

 

 

 

 



ISSN 1979-9373
ISSN GagasanHukum.WordPress.Com

ARSIP

KLIK TERTINGGI

  • Tidak ada

STATISTIK PENGUNJUNG

  • 2.678.891 hits
Oktober 2008
S S R K J S M
 12345
6789101112
13141516171819
20212223242526
2728293031