Arsip untuk September, 2015

Bang Buyung, Kepemimpinan Lemah dan Kaum Minoritas

Oleh : Tom Saptaatmaja

Tom Saptaatmaja 2

Indonesia kehilangan salah satu putra terbaik yang amat mencintai Tanah Airnya. Kita semua berduka atas meninggalnya Adnan Buyung Nasution (Selanjutnya disebut ABN) di Rumah Sakit Pondok Indah Jakarta pada Rabu, 23 September 2014, pukul 10.15 WIB.

Pendiri Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) ini meninggal karena sakit. Adnan, yang nama lahirnya Adnan Bahrum Nasution dan kerap dipanggil Bang Buyung, lahir di Jakarta, 20 Juli 1934. Sejak muda dia sudah menjadi aktivis dan berkiprah di bidang hukum. ABN juga pernah menjadi anggota Dewan Pertimbangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) Bagian Hukum periode 2007-2009.

Yang menggemparkan, ABN pernah menerbitkan bukunya ”Nasihat untuk SBY ” pada Jumat (25/5/2012). Buku itu berisi nasihat-nasihat untuk Presiden SBY ketika ABN menjadi anggota Wantimpres. Di satu sisi, ABN dinilai tidak etis sekaligus melanggar Pasal 6 ayat (1) UU Wantimpres yang berisi larangan bagi setiap anggota Wantimpres memberitahukan atau menyebarluaskan isi nasihatnya ke publik.

Namun, ABN mengungkapkan bahwa dirinya merasa terpanggil untuk menerbitkannya. Buku itu sebenarnya berisi tentang kegalauan ABN melihat praksis kepemimpinan, baik di pusat atau di daerah yang begitu lemah. Lemahnya kepemimpinan itu dinilai ABN bisa sangat membahayakan keutuhan NKRI. Dalam konteks inilah sebenarnya, nasihat-nasihat dalam buku masih sangat relevan.

Menurut ABN, Indonesia, yang menjadi Tanah Air bagi 250 jutaanakbangsa yangterdiridari beragam suku, bahasa, dan agama, sedang menghadapi cobaan berat. Praktik birokrasinya sedang digerogoti korupsi. Kohesi nasional dan relasi antar sesama warga bangsa kian merenggang.

Pesan para pendiri bangsa agar Indonesia jadi rumah bagi semua, diabaikan. Pancasila dianggap basi. Fundamentalisme agama pun merebak. Kaum minoritas pun merasa tidak aman dan terpinggirkan. Beragam konflik terjadi seperti konflik tanah, perusakan tempati badah dan konflik untuk kepentingan investasi.

Sementara kepemimpinan nasional tampaklemahdalammerespons semua persoalan tersebut. Padahal, bila kita berbicara tentang kepemimpinan, yang satu ini seharusnya mampu memecahkan persoalan atau paling tidak menginspirasi rakyat yang dipimpin untuk menyelesaikan setiap persoalan secara bermartabat. Jangan sampai kepemimpinan justru menjadi bagian dari permasalahan.

Oleh sebab itu, ABN memutuskanuntukmenerbitkanbuku itu agar dapat diambil hikmah dan dijadikan bahan perenungan bagi para pemimpin, baik di pusat dan daerah untuk memperbaiki keadaan. Memang bagi siapa pun yang masih memiliki rasa cinta tanah air, pasti gundah atau galau melihat berbagai permasalahan yang ada.

Namun di antara beragam permasalahan yang membelit bangsa ini, menurut ABN, masalah relasi antara sesama warga bangsa, jelasnya relasi antara sesama umat beragama, adalah yang paling mendesak untuk segera dicarikan jalan keluar. Terkait relasi ini, ABN mengingatkan bahwa terjadinya gesekan atau konflik antar umat beragama sebenarnya muncul karena kita mulai melupakan UUD 1945 dan Pancasila.

Konstitusi dan dasar negara ini hanya menjadi macan kertas, yang spiritnya telah dicampakkan, bahkan oleh para pemimpin dan elite. Padahal sebagaimana digagas para pendiri bangsa ini, UUD 1945 dan Pancasila adalah acuan utama untuk penyelenggaraan hidup berbangsa dan bernegara sesuai karakter kemajemukan bangsa ini. Tapi coba simak, di era euforia otonomi daerah, justru ada cukup banyak regulasi yang secara hakiki bertentangan dengan UUD 1945.

ABN pernah menulis, otonomi daerah pun ditunggangi aneka kepentingan sektarian untuk mengegolkan berbagai perda diskriminatif dan melanggar HAM. Berbagai perundangan di tingkat nasional pun sama saja diskriminatifnya, seperti SKB Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No 8 dan 9 Tahun 2006.

Ditambah dengan maraknya fundamentalisme agama serta aparat hukum atau aparat keamanan yang tidak netral, terjadilah tirani mayoritas atas minoritas. Inilah yang paling mengancam kelangsungan Indonesia hari ini dan di masa depan, sebagaimana dikritisi ABN (Baca tulisannya ”Konstitusionalisme Vs Fundamentalisme ” Kompas , 9 Oktober 2008).

Sejak mendirikan YLBHI pada dekade 1970-an, di tengah ancaman rezim Orba yang otoriter, ABN selalu konsisten dengan prinsipnya agar para pemimpin dan aparat kita di lapangan konsisten berpegang pada konstitusi (UUD 1945 dan Pancasila) untuk menjamin keberlangsungan Indonesia.

ABN teguh mendukung demokrasi yang hendak kita bangun, adalah demokrasi yang melindungi semua hak dasar setiap warga, seperti kebebasan beragama, beribadah dan berekspresi. Menurut ABN, perlindungan dan jaminan terhadap hak dasar minoritas, menjadi indikator utama, apakah demokrasi kita berjalan menurut rel yang benar atau malah sebaliknya.

Tidak heran, jika ABN selalu berdiri di garda depan setiap kali terjadi kasus kekerasan atau serangan terhadap kaum minoritas, seperti dalam kasus Ahmadiyah, Syiah atau umat kristiani. Tanpa mengenal rasa takut, ABN berani bersuara lantang agar rumah Indonesia yang didirikan dengan darah dan nyawa para pendiri bangsa, tidak ambruk atau tamat riwayatnya karena motif-motif sektarian yang mengkhianati konstitusi.

Dengan pesanpesan profetiknya, sesungguhnya ABN hendak menginspirasi kita semua untuk menjaga dan merawat Indonesia sehingga nyaman ditempati siapa pun dan masih punya masa depan. Masalah minoritas-mayoritas memang selalu bisa muncul di tiap negara. Sebuah negara yang plural seperti negeri kita, selalu memiliki etnis atau agama yang mayoritasdiwilayahtertentu, tetapi minoritas di wilayah lainnya.

Dalam negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi seperti prinsip egalitarianisme, skema mayoritas dan minoritas seharusnyamemangsudahtidak ada lagi, karena semua pihak mendapatperlakukanyangsama di depan hukum. Yang mencemaskan, lanjut ABN, jika terjadi penafsiran bahwa menjadi mayoritas berarti memiliki hak untuk mengatur dan mendiskriminasi.

Sementara menjadi minoritas berarti menjadi warga kelas dua yang bisa seenaknya dibatasi, didiskriminasi atau diinjak-injak martabat kemanusiaannya. ABN mengaku prihatin, masih saja ada kelompok mengklaim diri sebagai pihak yang paling tahu soal kebenaran sehingga di beberapa daerah masih terjadi tirani mayoritas atas minoritas.

Padahal, segala bentuk diskriminasi atau kekerasan terhadap minoritas menyalahi prinsip-prinsip dasar HAM universal, seperti Deklarasi HAM Universal HAM PBB yang disahkan 10 Desember 1948. Seperti diketahui, di bidang agama dan kepercayaan, Majelis Umum PBB 25 November 1981 lewat Resolusi No.GA.36/55 juga telah menetapkan sebuah Deklarasi Tentang Penghapusan Semua Bentuk Keintoleransian dan Diskriminasi Berdasarkan Agama atau Kepercayaan.

Jadi tidak seorang pun boleh dijadikan sasaran diskriminasi oleh negara, lembaga, kelompok, atau individu atas dasar agama atau kepercayaan. Apalagi, kalau kita mengklaim beragama, jelas tindak kekerasan atau diskriminasi terhadap sesama, meski minoritas sekalipun, jelas bertentangan dengan kehendak Sang Pencipta maupun ajaran dasar agama- agama besar seperti Islam atau Kristen, yang menginginkan kita semua untuk saling menghormati, termasuk menghormati pilihan bebas sesama dalam memeluk suatu agama. (Sumber : Koran SINDO, Kamis 24 September 2015)

Tentang penulis :
Tom Saptaatmaja, Teolog



ISSN 1979-9373
ISSN GagasanHukum.WordPress.Com

ARSIP

KLIK TERTINGGI

  • Tidak ada

STATISTIK PENGUNJUNG

  • 2.676.700 hits
September 2015
S S R K J S M
 123456
78910111213
14151617181920
21222324252627
282930