Krisis Air Bersih

Oleh Toto Subandriyo

Toto SubandriyoSETIAP hari Senin pada pekan pertama bulan Oktober warga dunia selalu memperingati Hari Habitat Sedunia (World Habitat Day) yang ditetapkan PBB sejak 1985 untuk untuk merefleksikan kembali tentang permukiman manusia sebagai hak dasar. Selain itu, juga bertujuan mengingatkan warga dunia untuk bertanggung jawab terhadap masa depan habitat manusia yang sangat memprihatinkan.

Belum lama ini, PBB melaporkan jumlah penduduk dunia yang bermukim di perkotaan 3,3 miliar jiwa. Populasi perkotaan naik 50 persen, dengan perincian reklasifikasi perdesaan menjadi area perkotaan (25 persen) dan karena urbanisasi (25%).

Setiap detik ada penambahan dua penduduk perkotaan. Pertambahan jumlah penduduk perkotaan tercepat terjadi di Asia dan Afrika. Pada 2030, PBB memprediksi jumlah penduduk perkotaan dua benua itu dua kali lipat angka 2000. Sekitar 95 persen pertumbuhan penduduk kota pada dekade-dekade mendatang akan terjadi pada negara-negara berkembang seperti Indonesia.

Pesatnya pertumbuhan penduduk kota tersebut membawa konsekuensi makin beratnya beban negara dalam menyediakan berbagai kebutuhan sosial dasar penduduk seperti air bersih dan sanitasi. Banyak negara utamanya di negara-negara berkembang tidak mampu menyediakan kebutuhan hidup paling hakiki tersebut.

Saat ini, terdapat 827,6 juta pemukim di areal kumuh (slums) tanpa air minum dan sanitasi memadai sehingga banyak penyakit seperti kolera, malaria, dan diare. Maka, penting masyarakat internasional memusatkan perhatian terhadap kelestarian sumber daya alam dan melindungi lingkungan perkotaan dari dampak pertumbuhan penduduk perkotaan yang sangat cepat, industrialisasi, serta perubahan iklim.

Air sebagai kebutuhan yang tak tergantikan (nonsubstitution good). Dari sudut pandang ekonomi, dikenal istilah paradok air mutiara (water-diamond paradox). Air yang begitu esensial bagi kehidupan manusia dinilai sangat murah, sedangkan mutiara yang hanya sebatas perhiasan dinilai sangat mahal.

Saat ini, air di planet Bumi secara kuantitas maupun kualitas sangat mencemaskan. Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) telah mengingatkan tahun 2025 akan ada 1,8 miliar penduduk di daerah langka air secara absolut.

Bumi makin limbung karena manusia tak henti-hentinya merusak alam. Pemanasan global dan industri memperparah kondisinya. PBB memprediksi bila kondisi seperti ini terus berlanjut, tahun 2030 dunia mengalami krisis air bersih. Dalam kongres Water Summit di Budapest, Hungaria, tahun lalu, Sekjen PBB, Ban Ki-Moon, mengingatkan manusia tidak boros dalam menggunakan sumber air. Dia juga mengimbau semua pihak bekerja sama untuk mencari solusi berkelanjutan.

Saat ini, kebanyakan kota besar Indonesia selalu kedodoran dalam memenuhi kebutuhan penduduk akan air bersih dan sanitasi. Pemerintah DKI Jakarta baru mampu memasok sekitar 62 persen dari kebutuhan air bersih masyarakat. Pelayanannya pun belum sesuai dengan standar minimal.

Untuk mengatasi hal itu, pemerintah kota di Indonesia dapat mencontoh berbagai pendekatan kota di berbagai negara seperti Acra (Ghana), Alexandria (Mesir), Belo Horizonte (Brasil), Granada (Nikaragua), Lima (Peru), dan Zaragoza (Spanyol). Antara lain dengan meningkatkan akses kepada sistem suplai air, meningkatkan akses ke fasilitas sanitasi, pengajuan proposal untuk warga miskin (pro-poor water proposals), partisipasi sosial masyarakat, manajemen permintaan, minimalisasi kehilangan, serta meningkatkan kesadaran melalui pendidikan.

Pilot proyek di Alexandria, Mesir, memfokuskan pada perbaikan infrastruktur dasar air minum, saluran drainase, dan mengimplementasikan manajemen air perkotaan yang terintegrasi, di antaranya menggunakan peralatan penghemat air, memanfaatkan sumber air alternatif untuk pengamanan kualitas air minum dengan memanfaatkan air tanah buat irigasi areal hijau.

Hujan

Upaya lain meminimisasi kehilangan air dari jaringan pipa dengan memperbaiki dan memasang instalasi pengukur meter air baru. Secara reguler selalu dilakukan monitoring terhadap produksi air, pengiriman ke lain wilayah, monitoring permintaan, dan kehilangan air.

Permasalahan air di perkotaan diatasi juga dengan memanen hujan (rain harvesting). Anne Frank and Pedro Guerra Schools di Belo Horizonte, Brasil, memfokuskan pada penyimpanan dan penggunaan air hujan untuk irigasi kebun, demplot komoditas pertanian, serta menyiram halaman sekolah. Demonstrasi ini sangat potensial menjadi ajang pendidikan para siswa menyangkut berbagai isu tentang air (konsumsi, pemanfaatan, penghematan, serta kualitas air).

Memanen air hujan juga dilakukan di kebun produksi yang bisa melibatkan para petani dewasa berpenghasilan rendah. Efisiensi dapat dilakukan di taman wisata seperti dilakukan di Lagoa do Nado Park, Belo Horizonte, Brasil. Cara ini sangat efektif memberi pembelajaran publik karena pengunjung taman sangat banyak.

Pemerintah Kota Lima, Peru, menekankan pemanfaatan limbah cair untuk mengairi areal hijau di perkotaan melibatkan warga sehingga secara tidak langsung dapat meningkatkan kepedulian dalam melindungi lingkungan. Apalagi jika dilakukan di kota-kota yang nota bene memunyai curah hujan sangat minim.

Saat ini masyarakat masih memandang air sebagai sumber daya alam yang tidak terbatas dan bersifat given dari alam. Paradigma ini bukan saja membuat pola hidup sangat boros air, tetapi juga tidak harmonis dengan alam yang telah secara arif menyediakan sumber air. Jika tingkat degradasi hutan terus berlanjut, diperkirakan tahun 2015, yang tinggal beberapa bulan lagi, Pulau Jawa mengalami defisit air 134,1 miliar meter kubik per tahun.

Gerakan hemat air yang pernah dikampanyekan pemerintah perlu digalakkan kembali. Ini dapat dimulai dari hal-hal paling kecil, misalnya memanfaatkan ulang air buangan untuk menyiram tanaman (gardening) atau mengguyur toilet (flushing) sampai pada kegiatan ekonomi yang sangat banyak membutuhkan air di sektor pertanian. Kampanye more crop per drop perlu dimasyarakatkan kepada petani dengan lebih serius melalui teknologi budi daya system of rice intensification (SRI).

Penghijauan lahan secara komprehensif dan berkelanjutan bisa dijalankan juga. Budaya “muda menanam, tua memanen” perlu digalakkan pada anak usia dini. Penetapan Desember sebagai “bulan menanam” perlu dijadikan gerakan nasional berkelanjutan, bukan hanya seremonial. Upaya ini telah dilakukan Korea Selatan sejak 1949 dengan menetapkan 5 April sebagai Hari Menanam Nasional. Hasilnya, kerusakan lingkungan akibat Perang Korea dapat dipulihkan dengan cepat.

Kota yang lebih manusiawi menjadi impian semua. Urbanisasi yang tak terkendali akan menjadi batu sandungan dalam mewujudkannya. Tanpa sarana infrastruktur kota yang memadai, untuk air bersih dan sanitasi, wajah kota jauh dari manusiawi. Dia akan selalu bergelut dengan berbagai problematika sosial yang berdampak pada rendahnya kualitas hidup warga. (Sumber: Koran Jakarta, 6 Oktober 2014)

Tentang penulis:
Toto Subandriyo, Penulis Ketua Forum Pengelolaan Hutan Bersama Masayarakat Kab Tegal



ISSN 1979-9373
ISSN GagasanHukum.WordPress.Com

ARSIP

KLIK TERTINGGI

  • Tidak ada

STATISTIK PENGUNJUNG

  • 2.676.763 hits
Oktober 2014
S S R K J S M
 12345
6789101112
13141516171819
20212223242526
2728293031