Mengkritisi Badan Pengembangan Wilayah Suramadu

Oleh Deni SB Yuherawan

Salah satu fenomena yang menarik untuk dikaji setelah diresmikannya Jembatan Surabaya-Madura (SURAMADU) adalah keberadaan (terutama kewenangan) Badan Pengembangan Wilayah Suramadu (BPWS) yang diatur oleh Peraturan Presiden (Perpres) No. 27 Tahun 2008, yang mulai berlaku pada 7 Mei 2008. Disadari atau tidak, BPWS telah menimbulkan polemik yang cukup tajam antara badan tersebut dengan Pemerintah Kota Surabaya dan Pemerintah Kabupaten Se Madura.

Sebagaimana diberitakan Jawa Pos, Rabu, 22 Juli 2009 dengan judul berita ”MINTA WALIKOTA DAN BUPATI JADI PENGARAH, Usul Revisi Perpres BPWS”. Inti berita adalah persoalan pembagian kewenangan dan minimnya kewenangan para kepala daerah (Walikota Surabaya dan Bupati Se Madura) dengan adanya kewenangan yang dimiliki BPWS. Dalam hal ini, Gubernur Jawa Timur, Soekarwo, memerintahkan jajarannya untuk menginventarisasi pasal-pasal yang dipersoalkan untuk diajukan revisi ke Presiden, yaitu pasal 5 Perpres No. 27 Tahun 2008 yang mengatur susunan dan anggota Dewan Pengarah, serta pasal 12 Perpres No. 27 Tahun 2008 yang mengatur tugas BPWS secara enumeratif. Sampai saat sekarang. masih belum jelas bagaimana hasil revisi atas pasal-pasal yang dipersoalkan tersebut.

Tidak dapat dipungkiri bahwasannya secara visi dan misi, kehadiran BPWS adalah cukup baik untuk melakukan percepatan pembanguan Madura secara keseluruhan, dengan cara terlebih dahulu mempercepat pembangunan dan pengembangan wilayah di sekitar Suramadu. Hal ini nampak pada pertimbangan diterbitkannya Perpres No. 27 Tahun 2008, bahwa dalam rangka optimalisasi pengembangan wilayah Surabaya-Madura sebagai pusat pengembangan perekonomian Jawa Timur, perlu dilakukan langkah-langkah strategis untuk mengelola wilayah Surabaya-Madura secara terkoordinasi, sistematis, terarah dan terpadu. Untuk itu, diperlukan pengaturan secara khsusus, termasuk pembentukan kelembagaan yang mempunyai kewenangan dan tanggungjawab dalam pengembangan wilayah Surabaya-Madura.

Permasalahannya adalah tidaklah cukup bahwa konsiderans Perpres No. 27 Tahun 2008 mampu menjelaskan visi, misi dan tujuan dengan baik, namun lebih kepada apakah aturan-aturan hukumnya (rechtregels) dapat diaplikasikan dan tidak menimbulkan tumpang tindih dengan aturan-aturan hukum yang lain.

Urgensi Percepatan dan Persiapan Sosial
Sebenarnya polemik tentang keberadaan, terutama kewenangan BPWS dapat dihindarkan jika semua pihak yang berkepentingan (stakeholders) sudah mulai mengkaji secara serius Sejas Perpres ini diberlakukan setahun yang lalu, sehingga paling tidak telah dapat dirumuskan strategi pengembangan wilayah Suramadu dengan ‘action plan’ yang tepat untuk mempercepat pembangunan Madura dan mempersiapkan masyarakat Madura untuk dapat berperan serta secara aktif (tidak hanya menjadi penonton).

Propinsi Jawa Timur dengan jumlah penduduk mencapai 36 juta atau 17 persen dari jumlah penduduk di Indonesia, dan yang selama ini mempunyai PDRB nomor dua setelah DKI Jakarta menempatkan propinsi ini sebagai daerah yang penting secara ekonomi dan politik di kawasan Indonesia bagian Timur. Namun demikian, namun demikian tidaklah berarti bahwa pengembangan perekonomian secara kewilayahan telah merata di seluruh wilayah Jawa Timur.

Pengembangan Madura terhadap wilayah lain di propinsi Jawa Timur relatif masih tertinggal. Pulau Madura dengan wilayah lain di Jawa Timur sebagai kesatuan ekonomi, masih terisolasi oleh ketidaktersediaan prasarana dan sarana yang memadai dalam menggerakkan roda perekonomian. Madura merupakan wilayah yang relatif tertinggal dibanding wilayah lain di Propinsi Jawa Timur. Hal ini tercermin dari indikator-indikator pembangunan, yang menunjukkan posisi kabupaten-kabupaten di wilayah Madura berada di bawah kabupaten-kabupaten lainnya di Jawa Timur. Untuk itu, percepatan pembangunan Madura merupakan keharusan untuk segera dapat mensejajarkan diri dengan daerah lain.

Terdapat beberapa pemikiran yang cukup komprehensif untuk membangunan madura, seperti: 1. Blue Prient Pembangunan Madura (yang berisi fokus dan spesialisasi untuk menjadi arahan program dan kegiatan pembangunan masing-masing kabupaten dalam jangka waktu tertentu), 2. Perencanaan Terpadu (yang mengintegrasikan program-program pembangunan yang dapat dikerjakan secara terpadu antar kabupaten se-Madura sehingga diperoleh sinergitas dan keterpaduan program dan hasil yang lebih maksimal), 3. Tata Ruang Madura (harus dibingkai dalam satu SWPT/Satuan Wilayah Pengembangan Terpadu) dengan Gerbangkertasusila menjadi Germakertasusila Plus (Gresik, Madura, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo dan Lamongan, plus Tuban, Bojonegoro, Jombang dan Pasuruan), dan 4. Tidak menutup kemungkinan Madura menjadi Satu Kawasan Pengembangan tersendiri menjadi Kawasan Madura Terpadu (KAMAT), mengingat letak Madura yang strategis sebagai alternatif pengembangan pusat industri dan pelabuhan yang akan menopang Surabaya.

Dengan beroperasinya Jembatan Suramadu, percepatan pengembangan wilayah Suramadu mau tidak mau harus dilaksanakan secara serius. Jika wilayah Suramadu telah berubah menjadi pusat pertumbuhan (growth pole), diharapkan akan memberikan efek rembesan (multiplier effects) ke seluruh Madura. Pengembangan wilayah Suramadu merupakan titik tolak pengembangan Madura secara keseluruhan.

Werwenang dan Tanggungjawab
Persoalan yang kemudian muncul adalah siapakah pihak yang bertanggungjawab untuk mengembangkan wilayah Suramadu. Dalam persepektif otonomi daerah, yang berwenang dan bertanggungjawab adalah Pemerintah Kabupaten Bangkalan (dapat juga beserta Pemerintah Kabupaten di Madura lainnya) dan Kota Surabaya. Pasal 14 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menentukan bahwa urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah di antaranya (1) perencanaan dan pengendalian pembangunan, (2) perencanaan, pemanfaatan dan pengawasan tata ruang, dan (3) penyediaan sarana dan prasarana umum. Bahkan pada pasal 150 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 ditegaskan, dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah, disusun perencanaan pembangunan sebagai satu kesatuan dengan dalam sistem perencanaan pembangunan nasional. Ketentuan pasal-pasal tersebut menegaskan tentang otonomi dan/atau kewenangan pemerintah daerah untuk merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi pembangunan di daerahnya.

Dalam perpektif pelaksanaan otonomi daerah, untuk pengembangan wilayah Suramadu, perlu diadakan kerjasama antar daerah antara Pemerintah Kabupaten Bangkalan (serta kabupaten lainnya) dengan pemerintah Kota Surabaya. Sebagaimana diamanatkan oleh pasal 196 UU No. 32 Tahun 2004, bahwa pelaksanaan urusan pemerintahan yang mengakibatkan dampak lintas daerah dikelola bersama oleh daerah terkait, untuk itu perlu dibentuk badan kerjasama.

Persoalan utama dari badan kerjasama ini adalah dukungan dana untuk mengembangkan wilayah Suramadu. Untuk itu, Pemerintah Pusat perlu memberikan dukungan dana lebih di luar yang selama ini rutin diberikan serta bantuan teknis lainnya. Selain itu, badan kerjasaama tersebut dapat melakukan pinjaman yang bersumber dari pemerintah, pemerintah daerah lain, lembaga keuangan bank dan bukan bank, dan masyarakat. Juga dapat melakukan pinjaman yang berasal dari penerusan pinjaman hutang luar negeri dari Menteri Keuangan atas nama Pemerintah setelah memperoleh pertimbangan Menteri Dalam Negeri, demikian amanat pasal 169 dan 170 UU No. 32 Tahun 2004.

Hanya saja, dalam pelaksanaannya, mulai perencanaan pembangunan sampai penganggarannya harus dilaksanakan secara terkoordinasi, sistematis, terarah dan terpadu, harus didasarkan pada good corporate governance (tata kelola yang baik) dan bussiness judgement rules (prinsip-prinsip pengelolaan bisnis). Ini sangat baik baik untuk excercise pelaksanaan otonomi daerah dengan badan kerjasamanya.

Dengan diterbitkannya Perpres No. 27 Tahun 2008, Pemerintah telah memilih suatu badan lain (BPWS) untuk mengembangkan wilayah Suramadu, bahkan dengan perluasan wilayah. Menurut pasal 12 huruf (d) Perpres No. 27 Tahun 2008, wilayah pengembangan Suramadu meliputi + 600 HA di wilayah sisi Surabaya, + 600 HA di wilayah sisi Madura, serta + 600 HA di wilayah Madura dalam satu kesatuan dengan wilayah pelabuhan petikemas dengan perumahan dan industri termasuk jalan aksesnya.

Kemunculan BPWS, dalam perspektif otonomi daerah telah menimbulkan tumpang tindih kewenangan, bahkan terjadi pengurangan kewenangan Kabupaten Bangkalan (juga Pemerintah Kabupaten lain di Madura) dan Pemerintah Kota Surabaya. Dapatlah dipahami jika pemerintah kabupaten se Madura dan pemerintah kota Surabaya mempersolkan kewenangan yang dimiliki BPWS tersebut. Sedang dalam perspektif hukum, telah terjadi konflik norma (aturan hukum) antara UU No. 32 tahun 2004 dengan Perpres No. 27 Tahun 2008. Fakta sosial dan fakta yuridis inilah yang harus diselesaikan oleh semua pihak secara bijaksana dengan tujuan percepatan pengembangan Madura untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Madura .

Tentang penulis:
Deni SB Yuherawan SH MS, dosen Fakultas Hukum Universitas Trunojoyo Madura, sedang studi S3 di Universitas Airlangga. Email: deniyuherawan@yahoo.co.id



ISSN 1979-9373
ISSN GagasanHukum.WordPress.Com

ARSIP

KLIK TERTINGGI

  • Tidak ada

STATISTIK PENGUNJUNG

  • 2.676.617 hits
Oktober 2009
S S R K J S M
 1234
567891011
12131415161718
19202122232425
262728293031