Pembunuhan Ekologis Terhadap Hutan

Oleh Goei Tiong Ann Jr

 

Konyolnya, kini hutan kita sesuai dengan Bali Roadmap justru hendak dipersembahkan lagi pada kekuasaan asing, khususnya negara-negara maju sesuai skema Reducing Emissionns from Deforestation and Degradation (REDD).

 

Publik kita, apalagi warga Jatim dipastikan  masih terus mengamati pemberitaan kasus Ryan Si Jagal Jombang dengan antusiasme tinggi.Orang bisa terfokus pada sosok Very Idam Henyansyah  (30), sosok kelahiran Jombang, 1 Februari 1978 itu (Baca Surya dari edisi 25 Juli hingga 4 Agustus 2008). Atau secara lebih khusus kita bisa  berempati pada  para korban Ryan,  termasuk kepedihan yang harus ditanggung para korban.

 

 Kita pasti teriris membaca bagaimana tangisan kakak adik serta ibu kandung dari Ariel Sitanggang, salah satu korban Ryan, yang jenasahnya ditemukan di salah satu sudut rumah Ryan di Desa Maijo, Jatiwates, Kecamatan Tembelang Jombang (Kompas 3 Agustus 2008).

 

Namun bukan bermaksud mengecilkan penderitaan para korban Ryan, khususnya kaum kerabat yang ditinggalkan para korban, sesungguhnya juga telah dan akan ada korban pembunuhan yang dampak dan eskalasinya lebih mengerikan daripada kasus Ryan. Yakni pembunuhan ekologis atau ecosida yang tetap marak di sekitar kita, seperti yang tengah menimpa hutan kita.

 

Meskipun Konferensi Perubahan Iklim di Bali Desember 2007 telah menempatkan kelestarian hutan sebagai salah satu agenda penting, toh kita tahu bagaimana nasib hutan kita yang terus dikorbankan di atas altar ketamakan para pelaku pembalakan liar.

 

Bahkan sebagian anggota tega mengotori dirinya dengan uang dari kasus alih fungsi hutan bakau di Sumatera Selatan dan alih fungsi hutan lindung di Kabupaten Bintan?

 

Sejarah Ecosida Hutan

Kalau kita menengok sejarah, dengan regulasi pula hutan kita justru dibabati dan dieksploitasi secara kejam. Ada ecosida atau pembunuhan ekologis yang begitu biadab terhadap hutan, mentang-mentang hutan tidak bisa berbicara.

 

Rejim Orba adalah pelaku ecosida yang tak bertanggungjawab. Dengan segala produk hukumnya, seperti Undang-Undang Pokok Kehutanan No. 5/1967,  Undang-Undang Pokok Pertambangan No 11/1967, PP No 21/1970, PP No 7/1990 dan SK Menhut 677/Kpts-II/1998, semua merupakan legitimasi untuk HPH (Hak Penggundulan Hutan).

 

Di era reformasi (sejak 1998), justru terjadi euforia di mana-mana sehingga sebagian orang juga merasa punya hak mengeksplotasi hutan yang masih tersisa. Lihat hutan di kawasan pegunungan selatan Jatim yang rusak berat. Menurut data dari Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) menyebutkan laju penghancuran (deforestasi) hutan di Indonesia tahun 2002-2005 merupakan terbesar dan terparah di dunia. Setiap tahun menurut FAO rata-rata 1,871 juta hektare hutan Indonesia hancur atau dua persen dari luas hutan yang tersisa pada tahun 2005, yakni 88,495 juta hektare.

 

Data versi FAO itu kabarnya tidak valid. Berdasarkan periode pemetaan hutan tahun 2000-2005 dari Pusat Perpetaan Departemen Kehutanan, angka deforestasi hutan  Indonesia  turun menjadi 1,18 juta hektare. Valid atau tidak data FAO, menurut Greenpeace, hutan Indonesia yang rusak sudah 60 persen. Itu artinya , laju kerusakan, pembalakan atau deforestasi sungguh luar biasa.

 

Padahal di jaman penjajahan Belanda, tak pernah terjadi perusakan semasif seperti disebutkan di atas. Belanda menganggap semua sumber daya hutan, termasuk lahan liar yang diperoleh dengan perjanjian, berada di bawah wewenangnya.

 

Mereka yang mau membuka lahan untuk pemukiman atau sawah harus membayar pada pemerintah sesuai Hukum Agraria atau Domeinverklaring Agrarische Wet 1870 (AW 1870).  Hukum itu dinilai merusak harmoni penduduk asli, hutan dan Sang Pencipta.  Meski demikian pada tahun 1788,  Dirk Van Hogendorp, Residen Jepara sudah  menulis dalam catatan hariannya soal mulai terjadinya degradasi hutan alam di Indonesia.

 

Jangan Serahkan Asing

Konyolnya, kini hutan kita sesuai dengan Bali Roadmap justru hendak dipersembahkan lagi pada kekuasaan asing, khususnya negara-negara maju sesuai skema Reducing Emissionns from Deforestation and Degradation (REDD). Seperti diketahui, hutan memiliki kemampuan serap terhadap karbon, penyebab emisi gas rumah kaca yang mendongkrak suhu bumi (global warming) sehingga mengakibatkan  terjadinya perubahan iklim. Per hektare hutan mampu menyerap 50 ton metrik karbon.

 

Bila ditotal luas hutan yang diteliti adalah 4.500 hektare, berarti per tahun hutan-hutan itu menyerap 900 ribu ton karbon. Kementerian  Lingkungan Hidup kita ngotot mendapat 370 juta dollar AS dari negara-enagara maju. Pasalnya, hutan dalam kondisi baik di seluruh Indonesia dalam data KLH masih seluas  37 juta hektare. Skema itu dikritik aktivis lingkungan, hanya akan membuat warga di sekitar hutan kian teralienasi dengan hutannya.

 

Tapi pemerintah terus saja membuat kebijakan yang condong mengorbankan hutan kita. PP 2/2008 tentang penyewaan hutan lindung pada investor tambang hingga kini masih ditentang aktivis lingkungan. PP2/2008 dinilai mengobral hutan lindung.

 

 Bayangkan tarif yang dikenakan bergantung pada jenis pendapatan negara bukan pajak. Kisarannya sekitar Rp 1,2 juta-Rp 3 juta per hektare per tahun. Itu setara dengan Rp 300 per meter persegi per tahun. Walhi Jatim memperingatkan jika PP 2/2008 diterapkan, maka 11 juta warga yang tinggal di dalam atau sekitar kawasan hutan lindung bisa dikorbankan.

 

Itu baru manusia, belum terhitung flora fauna serta mahluk-mahluk lain yang terancam keberadaannya. Dalam hutan lindung seluas 1000 hektare rata-rata menampung 125 spesies mamalia, 100 spesies reptil, 400 jenis burung dan 150 jenis kupu-kupu. Semua itu bisa musnah, kalau ada tambang beroperasi di dalam hutan lindung.

 

Kita tahu, fungsi hutan lindung jelas amat signifikan. Dalam UU Pokok Kehutanan No 41/1999 Bab 1 pasal 8 disebutkan hutan lindung adalah kawasan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah. Itu belum lagi kalau kita bicara hutan sebagai paru-paru dunia, karena hutanlah yang paling banyak menghasilkan oksigen untuk nafas hidup kita.

 

Jadi  kalau PP No 2/2008 sungguh diterapkan maka bukan hanya ecosida atau pembunuhan ekologis saja, tapi makan lama manusia juga bisa kekurangan oksigen.

 

Hutan memiliki environmental right yang harus kita bela, mengingat  hutan tidak bisa membela dirinya sendiri, sebagaimana para korban Ryan  tidak bisa membela dirinya di saat-saat terakhir hidup mereka. Media punya peran besar membantu menyebarkan kesadaran ekologis agar segala bentuk pembunuhan ekologis bisa dihentikan. (Sumber: Surya, 8 Agustus 2008).

 

Tentang penulis:

Goei Tiong Ann Jr, rohaniwan dan Aktivis Lingkungan



ISSN 1979-9373
ISSN GagasanHukum.WordPress.Com

ARSIP

KLIK TERTINGGI

  • Tidak ada

STATISTIK PENGUNJUNG

  • 2.676.706 hits
Agustus 2008
S S R K J S M
 123
45678910
11121314151617
18192021222324
25262728293031