Soeharto Corporatism v Mahathir Incorporatism

issnOleh Zainuddin Maliki

Sakitnya Soeharto berhikmah pada penampakan solidaritas yang kuat di kalangan pendiri ASEAN. Setelah Lee Kwan Yew, mantan PM Singapura, menyusul hari berikutnya mantan PM Malaysia Mahathir Mohamad. Terasa begitu kuat ikatan mereka. Bahkan, pertemuan Mahathir dengan “daripada” Soeharto itu ditandai tangisan. Suasana pertemuan dua sahabat lama tersebut digambarkan sebagai mengharukan (JP, 15/1).

Seperti Lee, Soeharto dengan Mahathir memang bersahabat lama. Namun, akhir perjalanan kepemimpinan mereka berbeda. Mahathir turun melalui prosedur demokrasi konvensional, sedangkan Soeharto mengakhiri kepemimpinan melalui prosedur demokrasi inkonvensional -yaitu karena tekanan people power.

Banyak Faktor
Akhir perjalanan kedua pemimpin negara anggota ASEAN itu berbeda. Banyak faktor yang menyebabkan kekuasaan mereka berakhir tidak sama. Hal yang pasti, keduanya memiliki perbedaan strategi yang dipakai ketika mengawal pembangunan di negara masing-masing.

Setidak-tidaknya, Soeharto yang militer itu lebih dikenal sebagai penguasa yang menerapkan strategi the state corporatism, sebagaimana dikonsep Philippe Schmitter (1974). Sementara itu, Mahathir yang sipil bergelar akademis doktor tersebut menerapkan the state-business incorporatism, yang kemudian dikenal dengan semangat Malaysia incorporated.

Konsep Malaysia incorporated bukan khas Mahathir. Konsep itu diadaptasi dari Japan incorporated. Istilah yang muncul pada 1960-an di Jepang tersebut dimaksudkan untuk menghadapi persaingan yang tidak sehat karena dominasi pengusaha dukungan negara (Ping, 1985). Istilah incorporatism tersebut dipakai Mahathir untuk memperbaiki relasi antara pemerintah dengan sektor swasta, dengan menempatkan pemerintah sebagai pelayan yang baik bagi pertumbuhan dunia usaha yang bergerak di sektor swasta.

Konsep itu, tampaknya, berhasil mengendurkan ketegangan hubungan antardua aktor ekonomi-politik negeri tersebut akibat over regulasi yang diterapkan dalam kebijakan ekonomi Malaysia pada 1970-an.

Malaysia incorporated merupakan sebuah konsep yang diartikan bahwa Malaysia harus dilihat sebagai sebuah company, yang pemilik sekaligus pekerjanya adalah pemerintah dan sektor swasta.

Dalam sebuah company, pemilik dan pekerja diharapkan bisa bekerja sama, saling bahu-membahu meraih keuntungan dan keberhasilan. Hanya melalui keberhasilan company, pemilik dan pekerja akan memperoleh kesejahteraan yang berkelanjutan.

Dengan demikian, keberhasilan mereka ditentukan seberapa baik upaya membangun kerja sama antara pemerintah dengan sektor swasta. Anggaran belanja yang dikeluarkan pemerintah, termasuk belanja untuk pegawai, diperoleh dari pajak dan keuntungan perusahaan serta bisnis sektor swasta.

Karena itu, makin besar keuntungan yang diraih sektor swasta, semakin besar pajak dan revenue yang diperoleh pemerintah (Jomo, 2003). Memang, konsep incorporatism itu bukannya tidak mengundang kritik. Seorang guru besar universitas negeri terkemuka di Kuala Lumpur, Sufean Hussin, sewaktu berkunjung ke Universitas Muhammadiyah Surabaya beberapa pekan lalu menyatakan, konsep corporate itu memicu orang bernafsu untuk “menjual Malaysia”.

Menurut mantan dekan di Malaya University itu, masalahnya, keuntungan corporate tidak jatuh ke tangan rakyat, tapi ke sejumput elite dan pengusaha saja. Namun, di balik kelemahan itu, tetap ada yang menarik. Dengan konsep tersebut, Mahathir berhasil mengembangkan pemerintahan efisien. Aparatur birokrasi mereka terpacu untuk bisa memberikan pelayanan yang terbaik bagi prospek dan kemajuan dunia bisnis.

Aparatur pemerintah kian menyadari, dengan pelayanan publik yang memuaskan yang mereka berikan kepada sektor swasta, akhirnya yang menikmati adalah mereka sendiri.

Lebih dari itu, hal tersebut juga berdampak pada kemajuan serta kesejahteraan seluruh anak negeri. Dengan demikian, Malaysia incorporated yang didefinisikan sebagai konsep membangun kerja sama yang baik antara pemerintah dengan sektor swasta diyakini berujung pada pemberian kontribusi yang besar bagi kemajuan seluruh anak bangsa. Setidak-tidaknya, konsep corporate-nya Dr M, demikian sebutan Mahathir, tidak mengakhiri jabatan melalui prosedur demokrasi inkonvensional.

Bagaimana dengan corporatism negara yang dipilih Soeharto? Persis yang dikonsep Schmitter, korporatisme negara diterapkan Soeharto dengan melakukan pembentukan sistem perwakilan kepentingan ke dalam kelompok-kelompok clientalist atau loyalis negara. Mereka diberi hak monopoli di bawah pengendalian negara.

Soeharto menggunakan the state represive apparatus (RSA), dalam hal ini polisi, militer, dan institusi hukum, yang antara lain melahirkan Babinsa dan Kopkamtib. Di samping itu, menggunakan the ideological state apparatus (ISA) yang melahirkan konsep Eka Prastya Pancakarsa dan penunggalan asas Pancasila.

Memang, Soeharto memiliki dasar klaim untuk mengembangkan the state corporatism seperti itu. Situasi ekonomi politik pada awal masa Orde Baru sangat kacau. Sementara itu, massa menuntut agar pemerintah memperbaiki keadaan ekonomi secepat mungkin.

Soeharto dengan cekatan melangkah dengan melakukan “negaranisasi”. Hampir seluruh sektor dan level masyarakat disubordinasikan kepada negara. Mengikuti saran think tank-nya, yang dikawal Ali Murtopo saat itu, Soeharto membangun the state repressive apparatus dan the ideological state apparatus untuk mengawal the deepening development, pembangunan cepat bermodal tinggi.

Soeharto berhasil -setidak-tidaknya Indonesia pernah dicatat sebagai negara berswasembada beras dengan income per kapita di atas seribu USD. Indonesia dimasukkan kategori negara dengan masyarakat berkelas menengah, ditandai pertumbuhan ekonomi yang tinggi.

Sayang, dalam perkembangan seperti itu, Soeharto tidak mengubah strategi. Konsep korporatisme negara tetap dijalankan, bahkan makin hari makin ketat. Perlakuan the state repressive apparatus kian kasar, sehingga melahirkan kekerasan negara seperti di Tanjung Priok, Lampung, Haor Koneng, Komando Jihad, dan orang juga tak lupa pada kasus Sampang.

Pada akhir kekuasaannya, Soeharto kehilangan kepekaan politik. Dia menerima begitu saja informasi ABS dari Harmoko bahwa rakyat masih menghendaki Soeharto. Padahal, yang terjadi di lapangan, masyarakat sudah sampai pada titik jenuh atas praktik korporatisme negara yang melahirkan kekerasan, penyeragaman ideologi, monoloyalitas, serta penunggalan asas dengan segala macam dampaknya. (Sumber: Jawa Pos, 17 Januari 2008).

Tentang penulis:
Zainuddin Maliki, rektor Universitas Muhammadiyah Surabaya




ISSN 1979-9373
ISSN GagasanHukum.WordPress.Com

ARSIP

KLIK TERTINGGI

  • Tidak ada

STATISTIK PENGUNJUNG

  • 2.676.700 hits
April 2008
S S R K J S M
 123456
78910111213
14151617181920
21222324252627
282930