Reality Show Susno

Oleh Djoko Suud

Djoko Suud SukaharSusno Duadji gagal dieksekusi. Gerudukan jaksa dipatahkan polisi dari Polda Jawa Barat. Susno diamankan, terjadi diskusi, dan ujung-ujungnya, Susno kini tidak diketahui keberadaannya. Mantan Kabareskrim, polisi, jaksa itu seperti menyuruh rakyat menonton reality show. “Begini prosesi hukum di negeri yang katanya negara hukum itu.”

Kasus Susno telah melengkapi berbagai tragic-comedy negeri ini. Lucu yang tidak lucu. Lucu tapi dramatis. Kemanusiaan tidak manusiawi dan dimanusia-manusiakan itu saban hari tampil nyata. Ada yang melibatkan emosi rakyat hingga membuatnya mencucurkan airmata, seperti tragedi Tasripin. Ada yang melahirkan umpatan dalam gratifikasi hakim Setyabudi. Dan kasus Susno ini menempatkan rakyat sebagai penonton pasif. Rakyat yang dianggap tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi dalam tontonan itu.

Sederet kejadian itu memang nyata. Ini bukan reality show yang diskenario agar menerbitkan iba, marah, atau decak wah dan wow. Hanya saking jauhnya dari kenyataan, hingga kejadian-kejadian itu mirip sebuah pengadeganan.

Coba simak tragic-comedy beberapa pekan ini. Dari ujung berung, airmata kita dikuras habis oleh Tasripin. Bocah yang masih berumur 12 tahun itu harus tabah menjalani hidup yang tidak seharusnya. Sepeninggal ibunya, ayahnya merantau, bekerja di Kalimantan, maunya untuk memperbaiki ekonomi keluarga.

Tasripin ditinggal di rumah bersama tiga adiknya yang masih kecil-kecil. Anak ini untuk memenuhi kebutuhan dia dan adik-adiknya, bekerja sebagai buruh di sawah. Dari hasil itu mereka berempat makan. Terkadang kalau ada sisa, untuk jajan adik-adiknya. Bagaimana dengan sekolahnya?

Tasripin tidak sekolah lagi. Tidak ada waktu dan biaya untuk itu. Juga dua adik di bawahnya. Tinggal yang bontot dimasukkan pada pendidikan anak usia dini, yang sekolahnya lebih banyak bermain, dan biayanya murah untuk sekolah ini di daerah.

Ketika penderitaan bocah ini terangkat ke media, Koramil, Korem, dan Kodim daerah ini tanggap. Para tentara itu langsung turun memberi bantuan. Rumah yang reyot diperbaiki, Tasripin diinapkan di hotel, dan bantuan dari berbagai pihak mulai mengalir. Tak terkecuali dari Presiden SBY. Dari wajah-wajah yang tulus itu, yang dibantu dan yang membantu, sedu dan doa rakyat membanjir.

Namun belum kering airmata kita merenungkan nasib Tasripin, dari Jawa Barat datang kabar yang membuat kita emosional. Tidak lagi sendu dan trenyuh, tapi kali ini dengan kegeraman. Mengumpat-umpat. Itu terkait gratifikasi hakim Setyabudi.

Tidak hanya uang yang tertangkap tangan sebagai syarat untuk ‘memelintir’ perkara, tetapi juga seks. Sang hakim dituding meminta disuap perempuan. Rutin, lagi. Itu diungkap Toto Hutagalung, salahsatu tersangka korupsi Bansos Pemkot Bandung ini.

Jika nanti tudingan itu bisa dibuktikan, betapa bejatnya ‘wakil Tuhan’ di negeri ini. Dia tidak sekadar jauh dari atribut itu, tetapi sudah terbalik. Dia jadi ‘wakil setan’ yang mengadili ‘para setan’. Kalau sudah begitu, jangan dibayangkan betapa kian rusaknya penegakan hukum di negara ini. Sebab sudah nyata bejat.

Di tengah kejadian-kejadian itu, kini tampil Susno Duadji. Mantan Kapolda Jabar dan Kabareskrim itu sudah dijatuhi vonis, tapi enggan masuk penjara. Kejaksaan yang melakukan eksekusi paksa gagal membawanya. Malah kini tidak ada yang tahu dimana Susno berada.

Nah, karena kejadian-kejadian nyata itu ternyata reality show, maka rasanya enak kalau peristiwa itu didekati dari dunia kesenian. Dunia kesenian itu indah. Tidak punya beban moralitas. Penuh cerita dan ending. Ria jika menang, sedih kalau kalah. Itu karena kemenangan-kekalahan tidak berjalan linier. Tersedia air mata dan kegeraman sebagai simbol kegembiraan atau kedukaan.

Kesenian itu kreativitas. Kelahiran hingga kematian bisa didaur ulang. Dikemas dalam sajian multi tafsir. Diberi bumbu-bumbu metafora. Tak salah jika hidup dan mati bisa dibuat sesuka-suka. Sekali berarti sudah itu mati, seperti puisi Khairil Anwar, tidak berlaku dalam dunia adegan.

Aktor adalah pengadegan. Pemeran. Meng-casting diri dalam takdir skenario. Tidak boleh berselingkuh keluar jalur. Kreativitas terbatasi. Kebebasan terpasung. Sebab ekspresi hanya pendukung untuk memperkuat pemeranan melalui gestur, diksi atau aksentuasi mimik dan kata. Itu kata Stanislavski.

Adakah jika dunia adegan itu diseret ke ranah Susno Duadji, apakah kali ini dia hanya sebagai aktor? Dicasting sutradara untuk melakonkan perannya. Kelak jika waktunya tiba, lampu tonil mati, Susno akan tampil asli sambil membawa Century atau Antasari?

Wah ternyata rumit ya, jika penampakan realis menjadi reality show. (Sumber: detikNews.Com, 26 April 2013)

Tentang penulis:
Djoko Suud Sukahar, budayawan di Jakarta



ISSN 1979-9373
ISSN GagasanHukum.WordPress.Com

ARSIP

KLIK TERTINGGI

  • Tidak ada

STATISTIK PENGUNJUNG

  • 2.676.803 hits
April 2013
S S R K J S M
1234567
891011121314
15161718192021
22232425262728
2930